REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Wisnu Al Amin*
Animo aksi 112 yang baru saja digelar tidaklah surut. Itu merupakan aksi lanjutan dari aksi-aksi sebelumnya yang juga digelar oleh umat Islam. Rentetan aksi umat Islam dimulai dari aksi akbar di kota-kota besar, selanjutnya dipusatkan di ibu kota menjadi aksi 411, dan dilanjutkan dengan aksi 212 hingga 112.
Kalau kita perhatikan, aksi yang dilakukan oleh umat Islam merupakan respons atas kejadian yang bermula dinistakannya agama Islam. Namun demikian, kalau kita tinjau lebih dalam bahwa penistaan agama Islam itu merupakan pintu pembuka bagi umat Islam untuk merespons banyak hal atas keadaan-keadaan yang berimplikasi kepada umat Islam.
Fenomena sosial akhir-akhir ini yang menampilkan umat Islam, gubernur DKI Jakarta, dan pemerintah pusat sebagai aktor-aktor utama menjadi isu seksi di tengah perbincangan masyarakat. Tulisan ini akan mengerangkai atau menangkap suasana sosial umat Islam saat ini dengan tinjauan struktural konflik. Pisau analisa yang akan digunakan adalah perspektif konflik sosial. Adapun, tidak menutup kemungkinan fenomena ini dapat ditinjau dengan pisau analisa lain.
Sistem sosial Indonesia memiliki struktur yang kompleks. Talcott Parsons melihat sistem sosial sebagai struktur yang terdiri dari (1) Sistem keakraban; (2) Stratifikasi sosial; (3) Teritorial dan tekanan; dan (4) Agama dan integrasi nilai (Wirawan, 2015:53).
Dari dimensi keagamaan, Indonesia mengakui beberapa agama sebagai agama legal-formal. Agama-agama itu adalah Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu. Di saat bersamaan, Indonesia tidak mengakui paham tanpa agama (atheis).
Indonesia telah membuat seperangkat nilai dan norma untuk mengharmoniskan agama-agama yang berbeda. Motifnya adalah agar berdampingan dan menutup keran konflik dalam bernegara. Sayangnya, berjalannya struktur sosial tidak menegasikan potensi konflik. Potensi itu akan meledak apabila ada pemicunya.
Max Weber dalam fenomena konflik menekankan pada dua pendekatan. Pertama, arena politik sebagai pertentangan perebutan kekuasaan. Kedua, benturan gagasan dan cita-cita sebagai usaha untuk memperoleh dominasinya atas pandangan ideologinya. Kedua pendekatan ini akan dapat membingkai fenomena umat Islam akhir-akhir ini.
Penistaan agama dan posisi pemimpin menjadi sorotan utama. Pemimpin apabila dibawa ke dalam ruang negara maka dapat dipastikan akan masuk ke dalam arena politik. Momentum yang dihadapi oleh umat Islam adalah akan diselenggarakannya pemilihan kepala daerah serentak.
Pada saat yang sama, orang yang menistakan agama Islam tersebut menjadi bagian dari pihak yang akan memperebutkan kekuasaan pemimpin DKI Jakarta. Potret peristiwa ini akan mengantarkan umat Islam tidak hanya masuk ke permasalahan penistaan agama, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu menyangkut kepentingan umat Islam.
Kemudian, dalam kacamata lain adalah adanya benturan agama. Benturan agama ini persoalan tentang gagasan dan ide. Umat Islam memiliki cara pandang dunia sendiri yang berbeda dengan agama lain. Sehingga, ada hal-hal yang berseberangan dengan agama maupun ideologi lain.
Pada kondisi pemerintahan saat ini, hadir isu mengenai “bangkitnya komunisme/PKI”. Isu ini secara otomatis akan menggiring umat Islam kepada reaksi tertentu. Lebih lanjut, kita coba perhatikan bagaimana hubungan pemerintah dengan umat Islam ketika aksi di ibu kota mulai digencarkan.
Dalam pandangan konflik, konflik itu terjadi karena antara pihak berkuasa (dominant segment) dengan kalangan lemah (subordinate segment) tidak terjadi komunikasi yang saling menghargai terlebih bila pihak yang berkuasa mengacaukan hubungan pihak segmen subordinasi.
Umat Islam di Indonesia merupakan kalangan dominan secara kuantitas. Sayangnya, dalam interaksi sosial yang kita saksikan pada beberapa penyelenggaraan aksi-aksi sebelum 112 tampaknya umat Islam menjadi kalangan yang lemah secara kepentingan. Adanya penghambatan untuk menyalurkan kepentingannya serta ada intimidasi kepadanya.
Akibatnya, kita dapat menyaksikan bagaimana umat Islam menjadi sampai kepada kesadaran kolektifnya. Kesadaran kolektif ini dalam pandangan konflik sosial apabila terjadi pada kalangan yang tersubordinasi maka akan menuntun kepada perlawanan.
Aksi-aksi yang diselenggarakan oleh umat Islam adalah bentuk perlawanan dari kondisi subordinasi. Bentuk lainnya adalah gerakan ekonomi (koperasi syariah 212) sebagai perlawanan terhadap sistem ekonomi yang selama ini mendominasi. Perlawanan umat Islam itu semakin memuncak ketika “simbol kolektif” agama Islam, ulama (ketua MUI), dipojokkan oleh orang yang sama ketika sebelumnya menistakan agama Islam.
Rangkaian peristiwa aksi umat Islam secara gradual menandai bahwa kebangkitan umat Islam akhir-akhir ini tidak lepas dari adanya pergeseran konflik laten menjadi konflik manifes dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Konflik sosial yang terjadi membawa perubahan signifikan kepada umat Islam.
Sebelumnya umat Islam di Indonesia sukar mewujudkan gerakan kolektif. Sedangkan sekarang kondisi umat Islam seperti terpanggil otomatis oleh kesadaran kolektif untuk memperjuangkan kepentingannya.
Gerakan seperti ini yang sejatinya dirindukan oleh umat Islam. Namun, sejauh mana umat Islam di Indonesia akan terus meningkatkan kebangkitannya di tengah momentum konflik sosial? Apakah pasca pilkada serentak akan ada konflik sosial lanjutan yang akan memicu umat Islam?
Wisnu Al Amin, Mahasiswa Fisipol UGM dan Aktivis Jamaah Shalahuddin UGM