Kamis 21 Apr 2016 08:34 WIB

Jiwa Pembebas dan Kepeloporan Kartini, Bagaimana Ia Tumbuh?

Red: M Akbar
Google ikut peringati Hari Kartini
Foto: Google
Google ikut peringati Hari Kartini

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Andi Sitti Maryam, M.Si.

(Ibu Rumah Tangga, Alumni ITB, Penggiat Komunitas Sekolah Ibu dan Sahabat Putri)

Saya ingin sekali berkenalan dengan seorang ‘gadis modern’, yang berani, yang dapat berdiri sendiri, yang menarik hati saya sepenuhnya, yang menempuh jalan hidupnya dengan langkah cepat, tegap, riang dan gembira, penuh semangat, dan keasyikan.

Gadis yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dan kebahagiaan dirinya sendiri, tetapi berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan sesama. Hati saya menyala-nyala karena semangat yang menggelora akan zaman baru. Ya, bisa dikatakan saya, dalam pikiran dan perasaan, melampaui zaman Hindia Belanda ini...(Surat Kartini kepada Nn EH Zeehandelaar, tanggal 25 Mei 1899)

Cita-cita dan semangat Kartini tampak jelas dalam semua surat yang ditulis untuk sahabat-sahabatnya dalam sebuah buku kumpulan surat Kartini berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Cita-cita itu bukan hanya soal keinginan-keinginan tentang dirinya sendiri, tetapi juga cita-citanya tentang masyarakat yang maju dan bermartabat.

Ia berkeinginan menjadi guru dan membuat sekolah khusus perempuan meski untuk itu ia harus berhadapan dengan adat dan orang-orang yang tidak mendukung idenya. Dalam suratnya kepada Marie pada awal tahun 1900, Kartini menulis, "Kami akan menggoncangnya, Ibu sayang, dengan segala kekuatan walaupun yang akan runtuh hanya satu butir batu saja, maka kami akan merasa bahwa hidup kami tidak sia-sia."

Hal yang luar biasa bagi seorang gadis di masa itu, bahkan meskipun ia hidup pada masa 100 tahun sesudahnya. Pikiran dan perasaannya melampaui zaman Hindia Belanda kala itu, ketika kondisi kebanyakan masyarakat pada waktu itu, terutama kaum perempuannya, hidup sekadar menerima saja pada apa yang menimpa dirinya. Melaksanakan apa saja yang menjadi adat dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Hidup terjajah bukan saja secara fisik, tapi juga mental.

"Pada usia 12 tahun saya harus tinggal di rumah, saya harus masuk kotak, terkurung di rumah, terasing dari dunia luar. Saya harus memasuki penjara saya. Empat tahun yang berlangsung sangat lama itu saya habiskan di antara empat dinding tebal, tanpa pernah melihat apapun dari dunia luar."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement