Sabtu 04 Apr 2015 04:00 WIB

Mencegah Kembalinya Rezim Otoriter

Arif Supriyono
Foto: dok pribadi
Arif Supriyono

Oleh: Arif Supriyono

Wartawan Republika

Alam demokrasi dan dunia yang berperadaban sangatlah menghargai perbedaan pendapat. Kebebasan berekspresi atau mengeluarkan pendapat --tentu saja dengan batasan yang telah disepakati bersama-- menjadi salah satu perlambang kehidupan di masyarakat berperdaban.

Di sebagian negara lain, bahkan kebebasan mengeluarkan pendapat itu berjalan demikian leluasa dan nyaris tanpa sensor. Apa pun bisa disuarakan tanpa perlu rasa takut akan mendapat ancaman atau teror dari pihak lain. Pemerintah pun akan melindungi kebebasan warganya untuk mengeluarkan pendapat.

Terlalu sering kita mendengar di seberang sana, seseorang atau lembaga yang menistakan Islam, namun tak ada tindakan berarti dari pemerintahnya. Kalaupun ada reaksi, atau balasan berlebihan, biasanya datang dari masyarakat dan itu pun sama sekali tak dibenarkan.

Keadaan yang menuju ke arah itu juga terjadi di Indonesia. Atmosfer kebebasan berpendapat kian mendapat tempat luas di masyarakat. Dukungan perkembangan teknologi juga menjadi salah satu wahana yang mempercepat hasrat masyarakat untuk ikut menyatakan pendapat, sekalipun itu terbatas dan lebih banyak terjadi di dunia maya.

Anehnya, saat iklim kebebasan berpendapat kian mendapat tempat di negeri ini dan pemberedelan terhadap pers pun tak lagi terjadi, pemerintah justru memberangus beberapa situs Islam. Sebanyak 19 situs yang sempat kena blokir adalah: arrahmah.com, voa-islam.com, ghur4ba.blogspot.com, panjimas.com, thoriquna.com, dakwatuna.com, kafilahmujahid.com, an-najah.net, muslimdaily.net, hidayatullah.com, salam-online.com, aqlislamiccenter.com, kiblat.net, dakwahmedia.com, muqawamah.com, lasdipo.com, gemaislam.com, eramuslim.com, serta daulahislam.com.

Kabar itu bak petir yang menyambar dan menggelegar di siang bolong. Dalih yang dijadikan rujukan Kemkominfo untuk memblokir situs-situs itu ialah surat dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui bernomor No 149/K.BNPT/3/2015 tentang Situs/Website Radikal.

Dalam surat itu BNPT memang meminta Kemkominfo agar memblokir situs-situs tersebut. Lebih aneh lagi, tanpa pertimbangan apa pun, Kemkominfo langsung saja mengeksekusi pesanan dari BNPT tersebut.

Tindakan gegabah untuk meminta pemblokiran tersebut tentu tak bisa diterima begitu saja. Sebagai bangsa beradab, mestinya BNPT atau pemerintah lebih dulu menyampaikan pemberitahuan kepada khalayak luas tentang beberapa hal yang terlarang untuk dipancarluaskan.

Larangan itu harus diumumkan sedemikian rupa dan jangka waktunya pun tak boleh hanya sesaat. Dari sini masyarakat akan paham, informasi tentang apa saja yang sekiranya tak boleh beredar dan menyebar luas di media elektronik, cetak, atau dunia maya.

Jika setelah sosialisasi adanya larangan tertentu tersebut berjalan --dalam satu rentang waktu-- maka menjadi kewajiban pemerintah dan masyarakat untuk ikut memantau isi beberapa situs yang ada. Apabila ditemukan adanya situs yang melanggar ketentuan tersebut, pemerintah sebaiknya menempuh jalan untuk memberikan peringatan terlebih dulu.

Bila mana muatan atau isi dari situs tersebut dianggap memenuhi unsur atau kriteria yang terlarang tadi, maka sebaiknya dilakukan perintah untuk melakukan pencabutan isi atau materi yang melanggar tadi. Kalau di kelak kemudian pengelola situs itu melakukan pelanggaran yang kurang-lebih serupa, barulah pemblokiran itu bisa dilakukan.

Ini artinya ada mekanisme yang perlu ditempuh untuk sebuah pemblokiran situs berita. Hal seperti itulah yang lazim berlaku di sebuah negara yang demokratis.

Akan lebih baik lagi kalau masa atau lamanya pemblokiran juga disertakan. Untuk jenis-jenis pelanggaran tertentu yang masuk kriteria sangat berbahaya, bisa saja pemblokiran dilakukan tanpa batas. Sedangkan untuk kategori pelanggaran sedang atau ringan, mungkin pemblokiran bisa berlaku hanya untuk masa yang relatif lebih terbatas.

Larangan dari pemerintah atau BNPT untuk menyebarluaskan ide tertentu, harus diumumkan terbuka serta bisa diketahui masyarakat luas. Bisa saja itu berupa larangan untuk mengkafirkan sesama pemeluk agama, menyebarkan paham komunis, bergabung atau mendukung gerakan organisasi yang dianggap menjadi musuh bersama (Alqaidah atau Negara Islam Irak dan Suriah/ISIS, dan lain-lain), paham yang menistakan agama yang telah ada, dan sebagainya.

Tanpa adanya sosialisasi seperti itu, pemblokiran yang dilakukan pemerintah tak beda dengan tindakan sewenang-wenang. Apalagi, bila pemerintah tak menjelaskan sebelumnya. Karena itu, isu yang berkembang kemudian adalah tudingan, bahwa pemblokiran itu terkait dengan keberadaan situs-situs tersebut yang anti-Syiah, lantaran mendukung ISIS, dan karena kebanyakan situs tersebut mengritik serta mengecam Presiden Joko Widodo.

Poin terakhir itu, jika benar adanya, bisa menjadi pukulan telak bagi Jokowi. Kita pasti masih ingat bagaimana kritik keras dialamatkan pada Presiden Susilo Bambanng Yudhoyono kala itu. Bahkan seekor kerbau yang dibawa demo saat memprotes pemerintah pun sempat diberi label atau nama SBY untuk menggambarkan kegeraman masyarakat terhadap kebijakan SBY. Namun, sejauh itu tak ada tindakan represif yang dilakukan pemerintah.

Andai kata ada kritik atau kecaman yang dilakukan pengelola situs-situs itu terhadap pemerintahan Jokowi, saya kira masih dalam batas atau koridor yang wajar. Toh itu disampaikan secara terhormat dan beradab karena tersaji dalam bentuk tulisan.

Karena pemblokiran itu sempat terjadi, walau hampir semua situs itu kini bisa kembali dinikmati masyarakat, pemerintah harus memulihkan status semua situs tersebut. Tak boleh lagi ada tindakan seperti ini.

Pemblokiran yang terjadi beberapa hari lalu itu mencerminkan pola pengelolaan pemerintah dengan gaya otoriter. Pemberangusan pers adalah indikasi penting yang memperlihatkan eksistensi rezim otoriter.

Kita harus sepakat untuk menutup pintu rapat-rapat terhadap kemungkinan munculnya kembali rezim otoriter di negeri ini. Semua elemen masyarakat perlu bergandengan tangan dan bersatu padu untuk menghadapinya jika kelak muncul kembali rezim otoriter di negara kita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement