Senin 14 Jan 2013 10:51 WIB

'Ngangkang Style'

Seorang wanita naik sepeda motor dengan posisi duduk mengangkang di Lhokseumawe, Aceh,Senin (7/1).
Foto: AP/Rahmat Yahya
Seorang wanita naik sepeda motor dengan posisi duduk mengangkang di Lhokseumawe, Aceh,Senin (7/1).

Lhokseumawe merupakan salah satu kota di provinsi Aceh. Selain sebagai metropolitan, kota ini juga memiliki dunia pariwisata yang menarik, seperti Pantai Ujong Blang, Pulau Seumadu, Krueng Cunda, Pantai Meraksa, Pantai Rancong, dsb.

Namun, baru-baru ini pemerintah kota sontak kembali mengejutkan dan menghebohkan dengan keluarnya surat edaran imbauan terhadap larangan “Ngangkang Style” (bahasa Aceh: Duek Phang). Imbaun tersebut ditanggapi pro-kontra oleh masyarakat. Akankah berjalan maksimal niat tulus Suaidi Yahya sang Walikota ini?

Sebagai salah satu warga Lhokseumawe-Aceh yang saat ini sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta, turut bangga dengan himbauan yang dikeluarkan oleh pemerintah Kota Lhokseumawe terhadap “Ngangkang style”. Surat edaran yang ditanda tangani Walikota, Ketua DPRK, Pemangku Majelis Adat Aceh (MAA) dan Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) resmi diedarkan pada senin (7/1/2013) meskipun ditanggapi pro-kontra oleh berbagai kalangan.

Hingga saat ini, imbauan tersebut menjadi perbincangan hangat di seluruh media massa baik cetak maupun elektronik, lokal maupun nasional. Imbauan ini juga ditanggapi dengan beragam analisis dan argumentatif.

Di antara argumen andalan pihak kontra yaitu akan mempersempit peluang keselamatan pengendara kendaraan bermotor. Selain itu, juga disebut sebagai objek diskriminatif terhadap perempuan.

Penulis ingin menanggapi dua hal ini: Pertama, Mempersempit peluang keselamatan pengendara bermotor. Beragam analisis juga mengatakan, bahwa penyebab marak terjadinya kecelakaan lalu lintas -khususnya pengendara bermotor- disebabkan oleh tidak duduk “Ngangkang Style”. Padahal menurut hemat penulis, alasan utama terjadi kecelakan pengendara sepeda motor adalah ketidak hati-hatian pengendara, sekaligus kecepatan dan jarak tempuh di atas rata-rata. Sehingga membuat konsentrasi pengendara kabur.

Perlu diingat adalah, motor dirancang sebagai kendaraan perjalanan jarak dekat. Dengan demikian, tidak menjadi alasan duduk “Ngangkang” akan berakibat pada keselamatan pengendara sepeda motor. Karena motor dirancang untuk perjalanan jarak dekat bukan jarak jauh.

Yang kedua, diskriminatif terhadap kaum perempuan. Menurut penulis, alasan ini merupakan alasan klasik yang selalu menjadi buah bibir masyarakat bila keluar sebuah kebijakan yang “sedikit” menyentuh kaum hawa. Padahal, duduk “Ngangkang” akan menjaga “Muruah” kaum hawa itu sendiri.  

Sebenarnya hal ini menegaskan bahwa, jika kita memboncengi perempuan maka kendarailah sepeda motor dengan penuh kelembutan. Karena yang kita boncengi itu adalah makhluk Tuhan yang paling lembut di dunia. Sehingga tidak menjadi alasan untuk mendiskreditkan kaum hawa.

Namun demikian, apapun alasan yang dilontarkan, Aceh adalah daerah istimewa. Aceh daerah yang memberlakukan syariat Islam. Aceh memiliki adat istiadat yang berbeda dengan daerah lainnya. Apa yang dilakukan itu dijamin UU, baik UUD 1945 maupun UU Pemerintahan Aceh (UUPA) dan semua itu tertuang dalam MOU Helsinky (Damai RI-GAM) tahun 2005.

Oleh karena itu, semangat Kota Lhokseumawe untuk menerapkan syariat Islam -salah satunya dengan cara pelarangangan “Ngangkang Style”- perlu mendapat dukungan dari semua pihak, baik pihak yang “merasa” diuntungkan maupun dirugikan. Kita berharap, penerapan syariat Islam di Aceh tidak boleh diganggu oleh pihak manapun. Sehingga Aceh akan terus semangat dalam menerapkan hukum Islam secara kaffah.

Semangat Pak Suaidi Yahya (Walikota) dalam menerapkan syariat Islam di kota yang dipimpinnya, layak diacungkan jempol. Lanjutkan Pak Wal! 

Adnan

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Penulis buku serta beberapa opini yang pernah beberapa kali diterbitkan di koran.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement