Kamis 09 Jun 2011 15:11 WIB

Dolly Ditutup, Prostitusi Menghilang?

Pekerja seks komersil (PSK) terjaring razia
Foto: Antara
Pekerja seks komersil (PSK) terjaring razia

Isu penutupan Dolly, lokalisasi pelacuran di Surabaya, Jawa Timur, mencuat. Konon, isu itu berkaitan dengan kasus penyebaran HIV/AIDS di Surabaya (berita di ANTeve, 4/11-2010; TVOne 23/10-2010; Harian Jurnal Nasional “Penyebaran HIV/AIDS Meningkat, Dolly Bakal Ditutup”, 30/3-2010).

Permasalahannya, sekalipun Dolly ditutup, praktek pelacuran toh masih berkibar. Tidak lagi terlokalisasi, melainkan sporadis menyebar ke tempat-tempat lain, seperti penginapan (murah ataupun mahal), hunian (umum maupun pribadi), taman, hutan, pantai, dan lain sebagainya.

Bisa jadi, warga Kota Surabaya menilai Dolly sebagai ikon tempat pelacuran (lokalisasi). Sehingga, jika ikon itu ditiadakan, maka pelacuran bisa dengan sendirinya hilang. Apakah sesederhana itu?

Tulisan ini tidak bermaksud serta-merta membela pekerja seks komersial (PSK). Tapi mestinya ada kerja pendampingan agar pelacuran tidak makin menjamur atau bahkan memasuki ranah paling pribadi warga kota.

Yayasan Kerti Praja Denpasar, Bali. Setiap Jumat menjemput beberapa PSK untuk diperiksakan kesehatan seksualnya ke klinik. Meski parahnya, ketua yayasan tersebut, Prof Dr DN Wirawan, dicap sebagai ‘pelindung pelacur’.

Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Jawa Timur No.5 tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Timur, pasal 3 ayat 3 huruf c; Perda Kota Probolinggo No.9 tahun 2005 tentang Pencegahan dan Penanggulangan AIDS, pasal 4 ayat 3 huruf c; dan Perda Kab Malang No.14 tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS pasal 10 ayat (1) dan (2). Ketiganya menyebutkan, kewajiban pemakaian kondom bagi para pelaku hubungan seksual beresiko tinggi. Kewajiban pemakaian kondom. tok! Apakah saat pelakunya "bermain", ada petugas kontrolnya? Sehingga perda itu benar-benar berjalan efektif?

Dua kerja riil di atas, toh patut diapresiasi. Bukan pada tolok ukur keberhasilan menekan penularan infeksi menular seksual HIV/AIDS. Tapi karena ada kerja yang sudah dilakukan.

Seandainya Surabaya tidak lagi punya Dolly, apakah itu serta-merta kota itu berpredikat "bebas PSK"?. Entahlah. Ya, bisa jadi beberapa pihak akan langsung sujud syukur saat tahu Pemerintah Kota Surabaya mengesahkan penutupan Lokalisasi Dolly. Tapi bukankah bisa jadi juga ada pihak lain yang sudah menyiapkan strategi antisipasi pasca penutupan Dolly? Atau, ternyata persiapan itu sudah disiapkan dan dilakukan jauh hari sebelum Dolly akhirnya benar-benar ditutup?

Poin utamanya boleh jadi terletak pada adanya hubungan simbiosis-mutualisme antara PSK dengan para penggunanya. Apakah itu masuk dalam ranah moral? Ataukah itu masuk dalam ranah kebiasaan? Atau, sudah terbentuk bagian budaya beberapa warga kotanya?

Mestinya, dalam hal ini tidak ada penyudutan gender atas siapa yang mesti bertanggung jawab. Karena, memang ada faktor yang menyebabkan munculnya praktek pelacuran. Tak hanya di Surabaya, melainkan semua tempat memiliki potensi yang sama atas adanya praktek ini. Dan, semua pihak mestinya juga merasa bertanggung jawab pada kondisi tersebut.

Bisakah kita ikut merasa, PSK juga manusia? Salah satunya, mereka memiliki rasa, cinta, misalnya? Mereka mendamba pasangan hidup. Ingin hidup bahagia bersama keluarganya. Bisa jadi, banyak di antara mereka juga punya anak, tanggungan hidup. Ingin juga merasakan kenikmatan beramal salih dan beribadah. Ingin disapa, dihormati, bersenda gurau, sebagaimana keluarga pada umumnya.

Siapa yang tidak ingin merasa hidup nikmat; punya rumah tinggal, punya keluarga, tidak kekurangan biaya hidup sehari-hari? Apakah para PSK itu memang menginginkan hidup sebagai pelacur? Cita-cita adiluhung, ketimbang jadi koruptor, misalnya? Toh, PSK itu tidak mencuri uang rakyat. Dan, kalau pun mereka terjangkit penyakit menular seksual, menularkan ke banyak pengguna jasanya, apakah itu peran tunggal mereka yang berprofesi unik itu?

Soal Rencana Penutupan Dolly

Pemkot Surabaya berkomitmen menutup Dolly dalam waktu dua tahun ke depan sejak 2011. Uniknya, salah satu partai politik yang mengusung isu dakwah Islam di Surabaya menyatakan keberatannya. Alasannya, dampak negatifnya akan lebih dahsyat. Praktik prostitusi justru marak dan tak terdeteksi. Di sini, harus ada mekanisme deteksi agar tidak terjadi praktek prostitusi terselubung.

Parpol itupun memberikan tawaran solusi. Pemerintah Kota Surabaya kudu mengajak masyarakat secara luas untuk aktif mengkampanyekan Gerakan Anti Prostitusi melalui perangkat Rukun Tetangga (RT). Pertanyaannya, apakah kampanye itu akan mendapat sambutan positif di warga Kota Surabaya? Mungkin patut juga di uji-cobakan. Apakah usulan salah satu parpol itu mendapat dukungan dari parpol lainnya? Apakah akan ada sinergi kerja positif antar-parpol untuk mengusung satu isu "Anti Prostitusi" di Surabaya? Apakah kampanye "Anti Prositusi" juga didukung oleh perangkat-perangkat lain setingkat pemerintah kota, selain legislatif?

Pemkot Surabaya harus tetap mengacu dan komitmen melaksanakan Perda nomor 7 tahun 1999 tentang larangan menggunakan bangunan (rumah, kantor, atau hunian) untuk kegiatan asusila (prostitusi). Apabila Perda tersebut tak dijalankan dengan baik, maka tak salah jika ada pihak yang menganggap Pemkot melegalkan prostitusi. Sebagai contohnya, masih banyak Rumah Hiburan Umum (RHU) yang ditengarai juga dimanfaatkan untuk praktik prostitusi.

Sekali lagi, soal penutupan Dolly, hendaknya tidak dilakukan secara terburu-buru. Ya, seandainya dua tahun itu target yang ingin diraih oleh Pemkot Surabaya untuk menutup Dolly, berarti kampanye "Anti Prostitusi" itu kudu lebih disegerakan ke warga kota mulai saat ini. Harapannya, warga kota sudah siap saat Pemerintah Kota Surabaya benar-benar menutup Dolly di dua tahun mendatang. Sebagai bagian dari warga kota, saya ikut mendukung ide Pemerintah Kota Surabaya yang beritikad baik untuk menghilangkan prostitusi di wilayahnya. Sekaligus menghimbau, agar kita semua, warga Kota Surabaya, mendukung secara aktif kampanye "Anti Prostitusi". Bukan cuma demi kota tercinta, tapi demi kita dan generasi kita di masa mendatang.

Hermawan Diasmanto

Panjang Jiwo 8/25, RT 01/03 Tenggilis Mejoyo, Surabaya

 

 

 

_____________________________________________

Kirimkan artikel Anda ke: kirimanpembaca@rol.republika.co.id. Artikel disertai identitas jelas penulis. Redaksi berhak tidak menayangkan kiriman tulisan berdasarkan penilaian redaksi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement