
Oleh: Buya Anwar Abbas*)
Bila hujan deras turun, hutan yang lebat akan mampu menahan terjadinya banjir. Sebab, kawasan hutan memiliki beberapa fungsi yang dapat mengurangi risiko banjir.
Pertama, hutan yang lebat dapat menyerap dan menahan air hujan sehingga mengurangi aliran air permukaan. Jumlah debit air yang mengalir ke sungai pun dapat berkurang sehingga mengantisipasi terjadinya banjir.
Kedua, hutan yang lebat juga dapat mengurangi erosi tanah dan longsor. Bila hujan deras terjadi, air yang mengalir ke sungai pun tidak terlalu mengandung banyak lumpur.
Lebih mendetail lagi, hutan yang lebat dapat menahan air hujan melalui beberapa cara. Pertama, intersepsi yakni ketika air hujan yang turun ditahan oleh daun dan cabang dari pepohonan. Kedua, infiltrasi yaitu ketika air hujan diserap oleh pepohonan ke dalam tanah. Ketiga, perkolasi hutan yang dapat mengatur proses aliran air ke dalam tanah sehingga pergerakan air yang ada tidak langsung mengarah ke dataran rendah. Alhasil, semua itu secara efektif bisa mengurangi risiko banjir.
Berbeda halnya jika hutan ditebang hingga menjadi gundul. Tidak ada lagi pohon yang akan berfungsi menyerap dan menahan air. Hujan yang deras pun akan langsung mengalirkan air ke sungai sehingga menyebabkan banjir.
Terlebih lagi jika tanah dari hutan yang gundul kian mengeras. Kemampuannya menyerap dan menahan air hujan akan semakin berkurang. Akibatnya, air tidak lagi terserap ke dalam tanah sehingga langsung mengalir ke sungai dan memicu luapan.
Hutan yang gundul dapat menyebabkan erosi tanah. Bahaya terjadi ketika hujan deras yang mampu memicu tanah longsor.
Bagaimana jika kawasan hutan lebat diganti dengan perkebunan kelapa sawit? Pohon kelapa sawit mungkin dapat menyerap dan menahan air hujan, tetapi tidak banyak.
Sebab, pohon kelapa sawit memiliki struktur anatomi yang berbeda dengan pohon-pohon yang umumnya mudah dijumpai di hutan lebat. Ukuran jaringan xilem (pengangkut air) yang dimiliki pohon kelapa sawit lebih kecil dibandingkan yang ada pada pohon-pohon lain.
View this post on Instagram
Di samping itu, pohon kelapa sawit juga memiliki lapisan lilin pada permukaan batangnya. Kemampuannya untuk menyerap air hujan pun menjadi relatif rendah dibanding dengan pohon-pohon lainnya. Jika hujan turun dengan deras, terjadilah banjir.
Umumnya pohon sawit hanya menyerap sekitar 20-30 liter air per hari. Sementara itu, pohon-pohon lainnya bisa menyerap sekitar 100-200 liter air per hari.
Dengan demikian, mengganti kawasan hutan yang lebat dengan perkebunan kelapa sawit amat jelas berisiko bagi terjadinya banjir. Kemampuan kebun kelapa sawit dalam menyerap dan menahan air jauh lebih rendah dari pada hutan yang lebat.
Begitu juga terkait dengan struktur tanah yang terbentuk. Di perkebunan kelapa sawit, struktur tanahnya lebih padat dan kurang poros sehingga lambat meresap air. Akibatnya, air cenderung menggenang sehingga mendorong terjadinya banjir.
Pada hutan yang lebat, tanahnya lebih gembur dan poros sehingga air cepat meresap dan tidak menggenang. Hal itu jelas akan mengurangi risiko banjir.
Jika ingin membuat perkebunan kelapa sawit dan sekaligus meminimalkan risiko terjadinya banjir, pemerintah jangan hanya mendengar suara pengusaha. Dengarkan juga saran dari para ahli lingkungan hidup, tata ruang dan para ilmuwan agar masyarakat terhindar dari bencana dan malapeta.
Supaya hal-hal sepertu yang terjadi sekarang ini di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat dapat dihindari.
*) Dr H Anwar Abbas MM MAg atau yang akrab disapa Buya Anwar Abbas merupakan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Dosen tetap Prodi Perbankan Syariah FEB UIN Syarif Hidayatullah ini juga adalah Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang UMKM, Pemberdayaan Masyarakat, dan Lingkungan Hidup.