
Oleh : Barid Hardiyanto*
REPUBLIKA.CO.ID, Privileg telah menjadi kata yang populer dalam perbincangan sosial kita. Sering kali ia muncul sebagai tudingan atau bentuk kesadaran diri—tentang bagaimana sebagian orang menikmati kenyamanan dan kemudahan karena faktor-faktor yang tidak mereka perjuangkan sendiri: asal keluarga, pendidikan, atau latar sosial ekonomi. Istilah ini menyoroti ketimpangan yang tumbuh subur. Tetapi jarang sekali kita berbicara tentang hal sebaliknya—tentang bentuk privileg yang seharusnya dimiliki oleh mereka yang tidak punya apa-apa: kaum miskin.
Mungkin istilah “privileg bagi orang miskin” terdengar kontraintuitif. Namun, pentingnya gagasan ini didasari oleh fakta bahwa kemiskinan di masa kecil memberikan dampak separuh dari keseluruhan ketidaksetaraan kesempatan seseorang dalam hidup dan pendidikan (Perez-Mayo, 2019). Bantuan kepada orang miskin karena itu bukanlah sekadar belas kasihan, melainkan koreksi atas ketimpangan struktural. Jika masyarakat meyakini bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama, maka orang miskin semestinya memiliki hak istimewa tertentu agar kesetaraan sosial bukan mitos, tetapi realitas yang diperjuangkan.
Ketimpangan sosial di Indonesia telah menjadi fenomena yang sulit dibantah. Gini ratio yang bertahan di kisaran 0,38–0,40 menunjukkan distribusi kekayaan yang pincang. Di kota-kota besar, jurang antara yang kaya dan miskin tampak kasat mata.
Dalam situasi semacam ini, klaim bahwa semua orang memiliki kesempatan yang sama terdengar normatif. Seorang anak dari keluarga miskin memulai hidupnya bukan dari garis start yang sama, tetapi dari titik yang jauh tertinggal. Ketimpangan ini diperparah dalam akses pendidikan; seperti dikemukakan oleh Baum et al. (2025), distribusi kampus berkualitas sangat timpang secara geografis sehingga mobilitas sosial bagi kelompok miskin semakin sulit untuk diwujudkan.
Jika kesetaraan diartikan sebagai memberikan kesempatan yang sama untuk semua orang, maka sistem kita justru menciptakan ketidaksetaraan baru. Maka yang dibutuhkan bukan equal opportunity, melainkan equitable opportunity (Perez-Mayo, 2019)—kesempatan yang disesuaikan dengan keterbatasan dan kebutuhan masing-masing.
Privileg yang Dianggap Tabu
Ketika berbicara tentang “privileg bagi orang miskin”, banyak yang menolak dengan alasan keadilan. Mereka berpendapat bahwa semua warga negara harus diperlakukan sama. Namun pandangan ini mengabaikan prinsip dasar keadilan: keadilan bukan berarti memperlakukan semua orang sama, melainkan memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi hak dan kebutuhannya.
Dalam filsafat politik, gagasan ini bukan hal baru. John Rawls (1971) dalam A Theory of Justice menjelaskan “difference principle” (prinsip perbedaan): ketidaksamaan sosial-ekonomi hanya sah jika perbedaan itu dirancang untuk menguntungkan mereka yang paling kurang beruntung dalam masyarakat. Prinsip ini meletakkan landasan moral untuk kebijakan afirmasi dan privilese positif bagi kaum miskin.
Ekmekci (2015) bahkan memperluas pemikiran Rawls ke bidang kesehatan, menegaskan bahwa perlakuan istimewa terhadap kelompok miskin bukanlah diskriminasi, melainkan upaya mengejar keadilan sosial dan bentuk kompensasi atas “lotre alami” (natural lottery) yang mereka hadapi sejak lahir.
Privileg bagi orang miskin seharusnya hadir dalam berbagai ranahPada ranah pendidikan, Anthony Jack (2019) meneliti pengalaman siswa miskin di kampus elite. Ia menyimpulkan bahwa beasiswa serta kemudahan akses masuk saja tidak cukup; harus ada keberpihakan pada kebutuhan sosial dan mental mereka agar bisa sukses dan berdaya di lingkungan yang asing bagi mereka.
Di ranah kesehatan, negara harus memastikan layanan bermutu bisa diakses semua warga tanpa diskriminasi finansial. Menurut Ruja et al. (2024), desain program pendukung harus menekankan kemudahan akses kelompok rentan pada layanan dasar, memastikan bahwa setiap orang berhak atas perawatan bermartabat di saat ia paling rentan.
Sementara di ranah ekonomi, World Bank (2013) menemukan bahwa tanpa intervensi fiskal yang tepat, ketimpangan hanya akan melebar. Perlindungan sosial seperti subsidi, transfer tunai, dan akses kredit mikro menjadi krusial. Namun, ini harus melampaui sekadar bantuan karitatif. Dalam konteks negara agraris, Reforma Agraria menjadi bentuk privileg yang fundamental. Ini bukan sekadar pembagian sertifikat tanah, melainkan jaminan akses produktif atas lahan, modal, dan teknologi bagi petani gurem sebagai koreksi atas ketimpangan kepemilikan aset yang telah mengakar.
Lebih jauh lagi, gagasan progresif seperti Affirmative Basic Income (ABI)—atau Pendapatan Dasar Afirmatif—patut dipertimbangkan. Konsep ABI adalah skema pendapatan dasar yang spesifik menyasar kelompok miskin dan rentan sebagai alternatif dari bansos konvensional. Tujuannya adalah meningkatkan daya beli secara berkelanjutan sebagai modal untuk meningkatkan kesejahteraan, yang bisa didanai dari alokasi ulang dana publik agar kemiskinan tidak lagi diwariskan lintas generasi (Hardiyanto, 2025)
Tanggung Jawab Kolektif
Keberpihakan saja tidak cukup tanpa perubahan cara pandang masyarakat terhadap kemiskinan. Terlalu sering, narasi kemiskinan ditulis dalam kerangka moral: miskin berarti gagal atau malas. Padahal, riset mendalam Jack (2019) membuktikan bahwa banyak orang miskin justru bekerja lebih keras daripada yang kaya, tetapi hidupnya tetap tidak berubah karena terjebak dalam perangkap struktural.
Privileg bagi orang miskin tidak berarti meniadakan tanggung jawab individu, melainkan mengoreksi struktur sosial yang timpang akibat sistem sosial-lingkungan. Ketika seseorang lahir dalam kemiskinan, ia memikul beban struktural yang bukan hasil pilihannya. Maka tugas negara adalah menciptakan sistem kompensasi yang adil.
Di sinilah pentingnya membangun empati sosial yang berbasis kesadaran, bukan rasa kasihan. Empati menuntut kita untuk melihat kemiskinan sebagai konsekuensi sosial yang bisa diubah, bukan sekadar nasib yang harus diterima.
Menghadirkan privileg positif bagi orang miskin adalah bentuk tanggung jawab kolektif. Ia menuntut keberanian politik dari para pengambil keputusan, juga kebesaran hati dari kelas menengah dan atas yang harus rela berkorban demi tatanan yang lebih adil. Menurut Rawls (1971), memperjuangkan privilese untuk miskin merupakan bentuk tanggung jawab bersama yang digariskan dalam prinsip keadilan sosial.
Keadilan sosial, sebagaimana termaktub dalam sila kelima Pancasila, tidak mungkin terwujud tanpa mengakui bahwa sebagian warga negara membutuhkan lebih banyak bantuan dibanding yang lain. Memberikan privileg kepada orang miskin sejatinya bukan bentuk ketidakadilan, melainkan cara paling adil untuk menegakkan keadilan itu sendiri.
Dalam akhir refleksi ini, kita harus berani memutar balik logika umum: yang seharusnya kita anggap normal bukanlah keberpihakan pada yang kaya, melainkan perlindungan istimewa bagi yang miskin. Di situlah makna sejati dari sebuah negara yang beradab—yang tidak menutup mata terhadap ketimpangan, tetapi dengan sadar memberi tempat istimewa bagi mereka yang selama ini tersingkir. Sebab adil itu bukan memperlakukan semua orang sama, melainkan memastikan tidak ada yang tertinggal di belakang.
*) Penulis adalah Peneliti Senior Lembaga Penelitian Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH), Dewan Pengurus Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Dosen UNU dan UIN Prof Saifuddin Zuhri Purwokerto