Sabtu 01 Nov 2025 15:38 WIB

4 Fondasi Penopang Bangunan Rumah Besar Indonesia

Indonesia ditopang dengan kearifan lokal yang mengakar.

Prajurit TNI melakukan aksi terjung payung pada peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia di Jakarta, Ahad (17/8/2025). Pertunjukan udara tersebut menampilkan atraksi dari pesawat The Jupiters atau Jupiter Aerobic Team (JAT) TNI AU bersama pesawat tempur lainnya seperti F-16 Fighting Falcon, T-50i Golden Eagle hingga Hawk. Dalam arraksi tersebut, pesawat tempur jenis F-16 membentuk formasi angka 80 serta sejumlah helikopter membentangkan bendera Merah Putih di langit Jakarta.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Prajurit TNI melakukan aksi terjung payung pada peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia di Jakarta, Ahad (17/8/2025). Pertunjukan udara tersebut menampilkan atraksi dari pesawat The Jupiters atau Jupiter Aerobic Team (JAT) TNI AU bersama pesawat tempur lainnya seperti F-16 Fighting Falcon, T-50i Golden Eagle hingga Hawk. Dalam arraksi tersebut, pesawat tempur jenis F-16 membentuk formasi angka 80 serta sejumlah helikopter membentangkan bendera Merah Putih di langit Jakarta.

Oleh : KH Mukti Ali Qusyairi, alumni Pesantren Lirboyo

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA- Sumpah pemuda mengingatkan kembali memori kolektif masa lalu, sebuah nusantara yang terintegrasi: satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa.

Indonesia dapat berdiri kokoh dan survival hingga saat ini dan masa depan, lantaran memiliki pondasi bangunan yang sangat dalam menghunjam ke dasar bumi, solid, dan tangguh.

Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Baca Juga

Setidaknya ada empat fondasi yang menopang bangunan epistemologis Indonesia, yaitu legasi Nusantara, Muslim moderat, nasionalisme dalam merajut ideologi-ideologi dunia, dan pengalaman berbangsa dan bernegara dalam ketersambungan epistemologis.

Legasi Nusantara

Di antara ciri eksistensi peradaban adalah adanya budaya literasi, tulis dan baca, terdapat peninggalan naskah atau kitab.

Diketahui bahwa Nusantara merupakan peradaban yang cukup kaya dengan peninggalan naskah kuno, juga artefak, prasasti, candi dan sejenisnya. Kekayaan khazanah klasik Nusantara yang sudah menjadi bagian dari wejangan, doktrin, prinsip hidup bagi penduduknya berabad-abad dan ribuan tahun lamanya.

Substansinya sudah menjelma dalam laku hidup dan prinsip hidup masyarakat Nusantara baik kehidupan individu, golongan, maupun berbangsa dan bernegara.

Kitab Arjuna Wiwaha yang ditulis pada abad ke-11 sekitar tahun 1019-1042 M., pada masa Prabu Air Langga menguasai Jawa Timur, yang mengisahkan Arjuna yang lulus ujian dan godaan tujuh bidadari yang sangat cantik. Ini naskah sastra Nusantara kuno.

Dalam membaca karya sastra, kita tidak boleh memahaminya dengan apa adanya, harfiah. Melainkan kita harus membacanya dengan satu pendekatan kesusastraan seperti semiotika, analogi, majaz, atau menggunakan heurmeneutika agar dapat menangkap makna dan maksud tersembunyi di balik teks.

Menurut pemahaman saya, bahwa Arjuna dalam kisah itu dapat dimaknai sebagai sasmito seorang calon pemimpin bangsa yang bisa menjadi pemimpin bagi rakyat atau bangsanya jika lulus dari ujian dan godaan para bidadari sebagai simbol hawa nafsu.

Artinya bahwa calon pemimpin dan tentu saja pastinya juga pemimpin harus beretika dan berintegritas tinggi, tak tergoda oleh iming-iming yang merangsang hawa nafsu dan ketamakan. Hanya pemimpin yang berintegritas kuat lah yang dapat memimpin dan memajukan bangsanya.

photo
Komunitas Pegon merawat manuskrip naskah kuno di Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis (15/4/2021). Sebanyak 50 manuskrip kuno yang berhasil dikumpulkan dari beberapa pondok pesantren dan tokoh kyai itu digunakan sebagai dokumentasi untuk mencari jejak intelektual tentang kebangsaan, sosial masyarakat dan menelusuri kembali tentang ciri khas Islam Nusantara yang toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan. - (Antara/Budi Candra Setya)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement