
Oleh : Hari Eko Purwanto, M. I. Kom, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP – Universitas Muhammadiyah Jakarta, Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret
REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa minggu terakhir, media sosial Indonesia kembali bergemuruh. Bukan karena kebijakan fiskal baru atau isu pajak rakyat kecil, melainkan karena satu potongan video sederhana: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tampak berjalan cepat dengan ekspresi serius, membawa map kuning, diiringi potongan musik rap dengan tulisan besar: “Purbaya vs Everybody”.
Dalam hitungan jam, video itu meledak di TikTok dan Instagram. Berdasarkan insight data dari Socialblade dan TalkWalker (Oktober 2025), unggahan serupa di berbagai akun telah ditonton lebih dari 3,7 juta kali, dengan lebih dari 50 ribu komentar dan puluhan versi remix.
Tagar #PurbayaVsEverybody sempat muncul di daftar tren X (Twitter) Indonesia selama dua hari berturut-turut. Menariknya, lebih dari 60% komentar bersifat humoris, bukan provokatif. Warganet lebih banyak bercanda, membuat meme, atau menautkannya dengan isu ekonomi, ketimbang menyerang secara personal.
Sekilas ini hanya hiburan, tapi kalau dibaca lebih dalam, fenomena ini adalah cermin perubahan besar dalam komunikasi publik Indonesia. Dulu, komunikasi pejabat publik berlangsung dari podium, lewat konferensi pers, atau disampaikan lewat kanal resmi. Kini, pesan publik tidak lagi dimonopoli oleh institusi, ia hidup dan bertransformasi di tangan warganet.
“Purbaya vs Everybody” bukan hanya soal satu sosok yang viral, tapi tentang bagaimana publik kini mengambil alih panggung komunikasi. Warganet tidak lagi sekadar pendengar, tapi juga editor, produser, sekaligus pengamat tajam. Mereka membingkai ulang pesan, menambahkan konteks, bahkan menciptakan makna baru yang sering kali lebih hidup daripada versi resmi. Dalam sekejap, komunikasi formal berubah jadi budaya populer.
Yang menarik, publik Indonesia memiliki mindset khas dalam merespons isu publik: cepat, emosional, tapi juga kreatif. Kita ini bangsa yang tidak suka konfrontasi langsung, tapi mahir menyindir dengan humor.
Maka ketika muncul ekspresi khas dari tokoh publik entah itu gaya berjalan, nada bicara, atau gestur tubuh, publik segera menafsirkan dengan gaya mereka baik plesetan, meme, atau video remix. Di balik tawa itu, ada ekspresi sosial yang lebih dalam yaitu cara rakyat menegur, mengingatkan, atau sekadar menertawakan ketegangan politik yang kaku.
Namun di sisi lain, fenomena ini juga memperlihatkan tantangan baru bagi para pejabat dan lembaga publik. Di era viral, kecepatan mengalahkan hierarki. Sebelum jubir bicara, publik sudah menafsirkan.
Sebelum klarifikasi keluar, meme sudah beredar. Bagi pejabat publik, keterlambatan merespons bisa mengubah persepsi, bahkan merusak kredibilitas. Tapi di sisi lain, respons yang tergesa-gesa tanpa empati juga bisa memantik reaksi balik. Di sinilah pentingnya sense of timing dan sensitivitas komunikasi publik.
Ruang digital kini menjadi arena komunikasi publik yang paling demokratis, semua orang bisa bicara, semua orang bisa menafsirkan. Publik tak lagi pasif menunggu penjelasan, mereka memproduksi realitas versinya sendiri.
Maka, lembaga publik perlu menyadari bahwa setiap pesan yang disampaikan hari ini tidak berhenti di ruang kantor, tapi akan dibedah, dipelintir, dan diparodikan di ruang digital esok hari.
Bagi dunia komunikasi, ini bukan ancaman, tapi ini laboratorium sosial yang luar biasa. Pendekatan baru seperti netnografi dan analisis wacana digital kini menjadi penting. Bagaimana sebuah potongan video berdurasi 10 detik bisa mengubah opini publik lebih cepat daripada konferensi pers berdurasi sejam, adalah pertanyaan besar yang layak diteliti oleh para akademisi, terutama kita di bidang komunikasi publik.
Dan akhirnya, “Purbaya vs Everybody” sebetulnya bukan tentang seorang menteri yang sedang viral. Ini tentang kita, tentang bagaimana publik Indonesia hari ini merespons kekuasaan dengan cara yang khas: satir, jenaka, tapi tetap tajam. Tentang bagaimana komunikasi publik tidak lagi berjalan satu arah, tetapi tumbuh di tengah dialog sosial yang spontan dan tak bisa dikontrol sepenuhnya.
Fenomena ini semestinya menjadi cermin, bukan sekadar tontonan. Bahwa publik kini lebih peka, lebih cepat, dan lebih kritis terhadap cara pejabat berbicara maupun bersikap. Bahwa komunikasi publik bukan lagi soal menyampaikan pesan, tetapi soal membangun kepercayaan dan kedekatan.
Para pejabat publik perlu memahami, publik tidak menuntut kesempurnaan, mereka hanya ingin kejujuran. Mereka tidak anti kritik, tapi sensitif terhadap kesan sombong dan jarak sosial. Dalam era digital ini, kerendahan hati jauh lebih kuat resonansinya daripada pidato panjang.
Komunikasi publik bukan lagi milik mereka yang duduk di podium, tapi milik semua yang menatap layar. Dan di era ketika semua orang bisa berbicara, yang didengar bukan lagi yang paling keras, melainkan yang paling tulus. Karena sesungguhnya, di balik tumpukan meme dan tawa digital itu, publik sedang menyampaikan pesan sederhana: bahwa mereka ingin didengar, bukan sekadar diberi tahu.