
Oleh : Muhamad Iqbal Haqiqi Maramis, Mahasiswa Magister Sains Ekonomi Islam Universitas Airlangga
REPUBLIKA.CO.ID, Sudah lebih dari tiga dekade, ekonomi syariah hadir dan berkembang dari diskursus akademik menjadi praktik kelembagaan. Ia dianggap antitesis atas kapitalisme dan sosialisme, berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis serta ijtihad para ulama. Di Indonesia, momentumnya diawali dengan Bank Muamalat (1991), lalu diikuti asuransi, multifinance, pasar modal syariah, dan lembaga sosial pengelola zakat, infak, sedekah, dan wakaf.
Pembentukan Dewan Syariah Nasional menjadi pengawal kepatuhan produk dan jasa. Popularitasnya makin menguat didorong basis penduduk muslim yang besar dan potensi filantropi Islam bernilai ratusan triliun. Di sisi lain kampanye gaya hidup halal memperluas adopsi di masyarakat.
Di kancah global, ekonomi syariah pun ikut bergairah ditandai dengan total spending konsumsi produk halal yang kian meningkat dari tahun ke tahun.Setidaknya mencapai US$ 2,4 triliun pada tahun 2024. Seolah menangkap peluang, pemerintah pun mencanangkan target Indonesia sebagai produsen produk halal global. Pasca inilah, istilah industri halal pun mengudara.
Dari sisi regulasi, ekosistem dibangun berkala, dimulai UU 21/2008 mematri perbankan syariah, disusul UU 33/2014 (JPH) yang mengatur jaminan produk halal. Kemudian Perpres 28/2020 melahirkan KNEKS sebagai orkestrator kebijakan lintas K/L dan menyusun MEKSI sebagai peta jalan.
Kerangka ini dilengkapi UU P2SK yang memperkuat arsitektur sektor keuangan. Peran senyap Wapres KH. Ma’ruf Amin krusial dalam mendorong penguatan kelembagaan, termasuk inisiatif Global Halal Hub dan pembentukan KDEKS di daerah sehingga jadi warisan institusional yang menjadi fondasi ekonomi syariah Indonesia.
Kini, setelah setahun Prabowo–Gibran, pertanyaannya sederhana: apakah fondasi yang sudah dibangun berubah menjadi dampak atau masih berhenti pada label dan rencana?
Meski tak masuk dalam Asta Cita Presiden Prabowo, Ekonomi Syairah di bawah kepemimpinannya menginsiasi beberapa capaian kebijakan yang patut ditunggu kelanjutannya. Dalam kerangka kelembagaan, ada wacana mengenai perubahan status KNEKS menjadi Badan Ekonomi Syariah yang memiliki kewenangan yang setara dengan kementerian.
Tentu wacana itu menjadi kabar baik, sebab selama ini KNEKS yang berstatus sebagai komite tak memiliki kewenangan konkret selain memberikan usulan dan rekomendasi atas apa yang ditemukan secara empiris. Hasil rekomendasinya terlihat apabila Kementerian terkait mau untuk mengeksekusinya. Hal itu menjadi menjadi batasan tersendiri bagi KNEKS yang selama ini dianggap sebagai rumah besar bagi ekonomi syariah.
