Selasa 21 Oct 2025 10:50 WIB

Transformasi Ongkos Haji: Momentum untuk Kementerian Baru 

Momentum kelembagaan baru adalah modal politik yang berharga.

Petugas membantu jamaah melakukan pelunasan biaya haji d Bekasi, Jawa Barat, Jumat (21/2/2025).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Petugas membantu jamaah melakukan pelunasan biaya haji d Bekasi, Jawa Barat, Jumat (21/2/2025).

Oleh: Teuku Surya Darma, Mahasiswa Program Doktor School of Social Sciences di Universiti Sains Malaysia, Penang, Malaysia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan kewenangan penyelenggaraan Haji dari Kementerian Agama kepada Kementerian Haji dan Umrah membuka peluang besar untuk menghadirkan transformasi penyelenggaraan haji Indonesia. Transformasi yang diharapkan di antaranya adalah agar ongkos haji bisa dikelola lebih murah, lebih transparan, dan lebih berpihak kepada jamaah.

Harapan ini berangkat dari fakta terbaru. Untuk tahun 2025, pemerintah menetapkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) reguler sebesar Rp 89,41 juta per jamaah, dengan jamaah membayar Rp 55,43 juta dan sisanya ditopang nilai manfaat dana haji. Angka ini menurun dibanding tahun 2024 yang mencapai Rp 93,41 juta. Penurunan sekitar Rp 4 juta ini membuktikan bahwa negosiasi dan efisiensi memang bisa berkontribusi nyata. Artinya, ruang untuk transformasi lebih jauh masih terbuka.

Salah satu kunci transformasi adalah mengubah acuan mata uang pembayaran. Selama ini, kontrak layanan di Arab Saudi banyak dihitung dengan Dolar AS, padahal transaksi riil menggunakan Riyal Saudi. Skema Rupiah → Dolar AS → Riyal menambah beban jamaah karena biaya konversi ganda dan fluktuasi kurs. Kementerian Haji dan Umrah harus menegosiasikan agar pembayaran akomodasi, transportasi, dan katering dilakukan langsung dengan Riyal Saudi. Dengan jumlah jamaah Indonesia terbesar di dunia, posisi tawar ini cukup kuat untuk diwujudkan.

Transformasi berikutnya menyasar efisiensi tata kelola dana haji. Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) harus memastikan hasil investasi betul-betul kembali kepada jamaah. Kementerian perlu mendorong audit independen, memperkuat transparansi kontrak, serta mempercepat digitalisasi sistem pengadaan. Dengan langkah ini, kontrak hotel, katering, dan transportasi bisa lebih kompetitif sekaligus bebas dari praktik rente.

Tak kalah penting, transformasi juga menyangkut stabilisasi nilai tukar Rupiah terhadap Riyal. Selama ini, pelemahan Rupiah langsung menambah beban ongkos haji. Untuk itu, Kementerian baru perlu menggandeng Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan untuk merancang mekanisme currency swap Rupiah–Riyal atau menggunakan instrumen hedging syariah. Dengan begitu, volatilitas mata uang tidak otomatis ditanggung jamaah.

Momentum kelembagaan baru adalah modal politik yang berharga. Publik akan segera mengukur apakah transformasi ini sekadar perubahan nama, atau benar-benar melahirkan perubahan substansi. Jika dalam dua musim haji ke depan biaya bisa ditekan lebih signifikan, Kementerian Haji dan Umrah akan mencatat prestasi besar sekaligus membangun kepercayaan publik.

Pada akhirnya, transformasi ongkos haji adalah soal keberpihakan negara kepada rakyat. Dengan menata ulang mata uang pembayaran, memperkuat efisiensi dana haji, dan menjaga kestabilan kurs, ongkos haji yang lebih murah bukan sekadar janji, melainkan agenda realistis yang bisa diwujudkan.

Kementerian Haji dan Umrah kini memegang kunci. Transformasi ongkos haji adalah ujian pertamanya. Bila berhasil, kementerian baru ini tidak hanya lahir sebagai institusi administratif, tetapi juga simbol nyata keberanian negara dalam melindungi kepentingan jamaah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement