Jumat 17 Oct 2025 14:30 WIB

Potensi Multifinance Sebagai 'Raksasa' Penggerak Ekonomi

Multifinance merupakan ‘silent giant’ yang ikut menggerakan ekonomi

Aktivitas ekonomi yang mulai pulih telah berimbas pada meningkatnya penyaluran pembiayaan oleh perusahaan multifinance. Upaya itu dilakukan dengan memanfaatkan platform digital milik perusahaan insurtech.
Foto: istimewa
Aktivitas ekonomi yang mulai pulih telah berimbas pada meningkatnya penyaluran pembiayaan oleh perusahaan multifinance. Upaya itu dilakukan dengan memanfaatkan platform digital milik perusahaan insurtech.

Oleh : Isti Yuli Ismawati, Praktisi Manajemen Risiko di Lembaga Keuangan/ Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertumbuhan pembiayaan industri multifinance tercatat melambat sepanjang 2025. Pada pekan kedua Oktober 2025 silam, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproyeksikan, piutang pembiayaan multifinance memang masih akan tumbuh positif hingga akhir tahun ini.

Tapi kenaikannya lebih moderat dibandingkan proyeksi awal. Per Juli 2025, piutang pembiayaan tercatat Rp502,95 triliun dengan pertumbuhan hanya 1,79% secara tahunan. Kondisi ini mencerminkan perlambatan signifikan dari target awal OJK sebesar 8-10%. Namun, dukungan pembiayaan modal kerja dan pelonggaran regulasi, seperti POJK No. 46/2024, tetap menjadi pendorong utama optimisme pertumbuhan industri multifinance.

Baca Juga

Selama lima tahun terakhir, industri multifinance Indonesia memang tak ubahnya pesawat yang terbang menembus badai—dihantam ketidakpastian ekonomi global, tekanan regulasi, dan dinamika pasar yang fluktuatif. Masa pandemi Covid-19 menjadi ujian berat. Kebijakan kontrasiklikal seperti restrukturisasi kredit harus diterapkan meskipun tidak lazim dalam praktik multifinance. Selama periode tersebut, NPF (Non-Performing Financing) melonjak, penyaluran pembiayaan melemah, dan profitabilitas anjlok.

Pascapandemi, tantangan tidak serta merta berakhir, hanya berubah bentuk. Kenaikan suku bunga global menambah beban biaya dana sementara inflasi dan pelemahan nilai tukar rupiah memperparah tekanan pada margin. Paradigma industri mulai bergeser dari mengejar volume ke pentingnya kualitas portofolio. Tanpa tata kelola risiko yang memadai, perusahaan rentan terjebak dalam "doomloop leasing"—situasi ketika ekspansi pembiayaan baru justru dilakukan untuk menutupi lubang likuiditas, namun menghasilkan kredit yang lebih berisiko (Boot & Marinč, 2021).

Istilah doomloop leasing diadopsi dari perbankan. Doomloop adalah bentuk ekspansi pembiayaan baru yang agresif namun riskan. Sebuah strategi yang justru berpotensi memperburuk keadaan dalam siklus yang destruktif (Rajan, 2019).

Tak ayal, tata kelola yang kokoh dan berintegritas kini menjadi prasyarat kelangsungan hidup industri. OJK pun semakin ketat mengawasi, menaikkan ketentuan modal minimum, memperkuat mandat tata kelola risiko, dan menuntut kepatuhan ketat terhadap perlindungan data konsumen.

Tindakan tegas OJK sepanjang 2018, dengan membekukan operasi belasan perusahaan multifinance dan mencabut izin lima di antaranya, bukan sekadar statistik. Itu adalah alarm keras yang menyatakan bahwa industri yang abai terhadap kepatuhan dan good governance akan "game over". Ini adalah regulasi yang nyata dan tidak kenal kompromi.

Di balik semua tantangan ini, kontribusi multifinance bagi perekonomian nasional tetap signifikan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa sektor jasa intermediasi keuangan, termasuk multifinance, menyumbang Rp 601,7 triliun atau setara 2,72% Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2024.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement