
Oleh : Prof Dr Imam Subchi, MA, dosen S3 Sejarah Peradaban Islam dan Wakil Rektor II UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Perbincangan mengenai penayangan negatif seputar kehidupan di pesantren menyentak perhatian publik. Lembaga pendidikan tempat bernaung para santri disebut sebagai simbol pengerukan kekayaan sepihak, yang menguntungkan kelompok guru di dalamnya. Sungguh suatu tuduhan tidak berdasar.
Pendidikan menjadi suatu narasi yang kompleks. Saat para orang tua ingin agar anaknya memahami ilmu agama secara mendalam, maka pesantren menjadi jawabannya.
Di dalamnya para santri diajarkan untuk hidup sederhana dilingkupi ekspresi keislaman yang khas, yang salah satunya adalah menghormati para guru.
Tuduhan bahwa pesantren menjadi sarang feodalistik dimana para guru senantiasa memperkaya diri dari sumbangan dan keringat santrinya secara cuma-cuma adalah anggapan yang keliru.
Ini adalah penilaian dangkal yang tidak diiringi penglihatan yang luas. Bahkan, ini belum mendekati riset sebagai elemen untuk mencari pembuktian suatu anggapan.
Jasa besar
Pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan yang peka zaman. Dari rahimnya banyak lahir para Bapak Bangsa seperti R Ng Ronggowarsito, sastrawan Jawa kenamaan Abad 19, Nurcholish Madjid hingga Abdurrahman Wahid yang sempat menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4 sekaligus Bapak Pluralisme.
Ketiganya adalah pendar kecil dari jutaan cahaya gemilang lulusan pesantren yang mewarnai negeri ini dengan pikiran dan karya nyata.
Cak Nur misalnya, sebelum menjelma sebagai pemikir kawakan, ia menuntut ilmu di Pondok Pesantren Darul 'Ulum, Rejoso, Jombang dan Pesantren Modern Darussalam Gontor, Ponorogo. Berkat prestasinya di berbagai bidang, Cak Nur mendapat kesempatan belajar di Universitas Chicago di Amerika Serikat.
Cak Nur, adalah santri yang ditempa oleh kiai selaku pengasuh pondok pesantren. Tanpa peranan para kiai tersebut, mustahil Cak Nur berwujud menjadi seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia.
