Rabu 15 Oct 2025 17:40 WIB

Khidmah Pesantren dan Martabat Kiai yang Dilecehkan Media

Permintaan maaf dari pihak Trans7 patut diapresiasi, tetapi tentu belum cukup.

Massa dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta dan sejumlah alumni pondok pesantren saat Aksi Bela Ulama dan Pesantren di depan gedung Transmedia, Jakarta, Rabu (15/10/2025). Dalam aksinya mereka menuntut pihak Trans7 untuk bertanggung jawab atas tayangan program Xpose Uncensored pada tanggal 13 Oktober di stasiun televisi Trans7 yang dianggap melecehkan tradisi pondok pesantren, santri, dan para kiai.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Massa dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta dan sejumlah alumni pondok pesantren saat Aksi Bela Ulama dan Pesantren di depan gedung Transmedia, Jakarta, Rabu (15/10/2025). Dalam aksinya mereka menuntut pihak Trans7 untuk bertanggung jawab atas tayangan program Xpose Uncensored pada tanggal 13 Oktober di stasiun televisi Trans7 yang dianggap melecehkan tradisi pondok pesantren, santri, dan para kiai.

Oleh H ADIB FUAD; Santri Mathaliul Falah, Kajen Pati/Wakil Syuriyah PWNU Papua Selatan

REPUBLIKA.CO.ID, Tayangan program Xpose Uncensored di Trans7 yang menyoroti kehidupan Pondok Pesantren Lirboyo menimbulkan gelombang reaksi dari masyarakat luas. Banyak pihak menilai liputan tersebut sarat dengan narasi yang tendensius, melecehkan martabat , serta menggiring opini negatif terhadap tradisi luhur pesantren.

Baca Juga

Sebagai seorang santri dan bagian dari keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU), saya turut merasakan luka yang mendalam dari tayangan tersebut. Framing negatif terhadap pesantren bukan sekadar persoalan kesalahan teknis jurnalistik. Ia menyentuh ranah yang jauh lebih dalam—ranah nilai, adab, dan spiritualitas.

Dalam tradisi pesantren, penghormatan santri kepada kiai, termasuk ngesot atau memberi amplop, bukanlah bentuk eksploitasi seperti yang digambarkan, melainkan wujud ta’dzim (penghormatan) dan pengabdian yang berakar pada nilai spiritualitas tinggi. Tradisi ini merupakan bagian dari sistem etika keilmuan Islam yang menjunjung tinggi adab sebelum ilmu.

Ketika media memotret tradisi luhur ini dengan kacamata sinis dan bahasa yang merendahkan, sesungguhnya yang diserang bukan hanya para , tetapi juga nilai-nilai dasar yang membentuk karakter bangsa.

Pesantren selama ini telah menjadi benteng moral, tempat persemaian akhlak, serta pilar penting dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ironisnya, peristiwa ini terjadi hanya beberapa hari menjelang Hari Santri Nasional, 22 Oktober—momen di mana bangsa Indonesia semestinya memberi penghormatan kepada peran besar para dan santri dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan moral bangsa.

Alih-alih menjadi ruang refleksi atas jasa dan ketulusan para ulama dalam mensyiarkan Islam, publik justru disuguhi tayangan yang menodai kemuliaan mereka. Semoga momentum ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, bahwa ketulusan dan keikhlasan para dalam membimbing umat tidak layak dipertukarkan dengan sensasi atau rating semata.

Permintaan maaf dari pihak Trans7 patut diapresiasi, tetapi tentu belum cukup. Luka moral yang timbul akibat tayangan tersebut memerlukan bentuk pertanggungjawaban yang lebih nyata. Dalam konteks ini, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program itu, memastikan agar pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) tidak terulang lagi.

photo
Umat Islam mengikuti istighotsah dan doa bersama awal tahun 1447 Hijriah di Kota Kediri, Jawa Timur, Kamis (26/6/2025). - (ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement