Oleh: Nabil Syuja Faozan*)
Pemerataan kualitas sarana dan prasarana pendidikan masih menjadi hal yang perlu diperhatikan. Untuk menunjang pendidikan yang baik dan berkeadilan, dukungan dari berbagai pihak amat diperlukan.
Mengutip Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (2024), ada pelbagai permasalahan sistem pendidikan. Misalnya, kurikulum yang terus berganti serta sarana-prasarana yang belum memadai dan merata. Itu semua masih menjadi persoalan yang tidak kunjung mendapatkan penyelesaian, padahal sangat berpengaruh pada kualitas pendidikan.
Menyikapi hal itu, pemerintah melakukan berbagai langkah. Di antaranya adalah revitalisasi sekolah yang dilakukan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI. Program tersebut hadir sebagai sebentuk solusi dalam menjawab masalah pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan sarana dan prasarana yang belum merata dan memadai.
Revitalisasi sekolah dianggap efektif di tengah adanya ketimpangan pendidikan. Dengan itu, harapannya akses pendidikan dapat kian memadai dan lebih mudah dijangkau.
Khususnya bagi daerah-daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), program itu menimbulkan harapan. Sekolah-sekolah di sana diharapkan dapat lebih berkembang dan menyusul ketertinggalan dengan daerah-daerah lain yang memiliki kondisi geografis, sosial, dan ekonomi yang lebih "beruntung."
Program Revitalisasi Sekolah memiliki target sebanyak 13.834 sekolah. Saat ini, cakupannya sudah mencapai sekitar 11.179 unit sekolah.
Perinciannya menurut data dari Kemendikdasmen RI adalah sebagai berikut: sebanyak 1.260 PAUD, 3.903 SD, 3.974 SMP, dan 2.042 SMA. Persentasenya ialah: sekolah negeri sebesar 75,8 persen dan sekolah swasta 24,2 persen.
Upaya revitalisasi bukan hanya angan-angan, tetapi sudah menjadi wujud konkret pemerintah dalam mewujudkan dan memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar sarana pendidikan bagi setiap siswa.
Dampak revitalisasi pada kesehatan mental
Berdasarkan survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) pada 2022, jumlah remaja di Indonesia mencapai sekitar 15,5 juta. Dari total tersebut, kira-kira sepertiga (34,9 persen) remaja menunjukkan gejala gangguan mental dalam 12 bulan terakhir, tetapi tidak memerlukan diagnosis gangguan mental. Sementara itu, sebanyak 2,45 juta remaja (5,5 persen) terdiagnosis gangguan mental. Rata-rata usia remaja adalah 13,5 tahun dan 96,4 persen bersekolah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada tahun ajaran 2021/2022 banyak ruang kelas sekolah yang mengalami kerusakan. Hal itu terjadi pada seluruh jenjang pendidikan, mulai dari SD, SMP, hingga SMA/SMK.
Ruang kelas yang mengalami peningkatan kerusakan tertinggi berada pada jenjang SD. Tercatat, ada sebesar 60,60 persen ruang kelas SD dalam kondisi rusak ringan atau sedang dalam tahun ajaran 2021/2022. Angka tersebut lebih tinggi 3,47 persen dibandingkan dengan kondisi setahun sebelumnya, yang sebesar 57,13 persen.
Berkurangnya ketersedian sarana dan prasarana yang memadai pada sekolah dapat berdampak negatif bagi mental guru dan siswa. Hal itu dapat menjadikan pembelajaran tidak efektif. Alhasil, siswa berpotensi mengalami ketertinggalan dalam pembelajaran, sulit mengasah potensi diri, dan proses belajar mengajar akan terhambat, terlebih bila lingkungannya tidak mendukung (Aurellia, 2024).
Tidak hanya itu, dalam kondisi ideal, fasilitas sekolah yang memadai dianggap dapat memengaruhi prestasi akademik dan pembelajaran siswa. Siswa akan lebih mudah fokus apabila fasilitas kelasnya nyaman. Mereka pun lebih semangat menghadiri kegiatan belajar sehingga kecil kemungkinann untuk jatuh sakit saat pembelajaran.
Kualitas tersebut dapat diraih apabila ruang kelas atau fasilitas yang dimiliki oleh sekolah mencapai taraf ideal dan efektif. Sekurang-kurangnya, kelas memiliki ventilasi yang baik, pencahayaan yang memadai, serta bersih (Sitelogiq.com, 2020).
Program revitalisasi sekolah dinilai tidak hanya terfokus pada pembangunan dan penyediaan akses. Ini pun memiliki nilai kebermanfaatan yang ikut membersamainya.
Melalui program ini, pemerintah mewujudkan langkah konkret bukan hanya tentang menyediakan akses, tetapi juga memberikan bukti, ada aktivitas positif yang lebih produktif dan berkelanjutan.
Misalnya, ketersediaan tempat aktivitas fisik dan ruang terbuka hijau. Ini dapat menjadi pelepas penat bagi para peserta didik di tengah aktivitas belajarnya.
Lingkungan hijau yang asri dapat memberikan efek menenangkan bagi siswa. Taman sekolah atau area dengan pepohonan rindang menjadi tempat yang ideal untuk bersantai sejenak dan melepaskan ketegangan. Kehadiran ruang hijau terbukti secara ilmiah mampu mengurangi tingkat stres, meningkatkan suasana hati, dan memperbaiki kesehatan mental siswa (Suryati, 2025).
Ruang kelas yang nyaman dan memadai dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh para peserta didik dan pengajar. Mereka dapat semakin nyaman akan senang dalam menjalani aktivitas belajar.
Ruang yang ramah dan inklusif dapat secara signifikan memengaruhi rasa memiliki dan keamanan siswa. Merancang area umum yang mendorong interaksi sosial dan area tenang untuk bersantai atau mengerjakan tugas individu dapat memenuhi beragam kebutuhan dan preferensi (Wideman-van der Laan, 2025).
Perpustakaan pun menjadi fondasi utama untuk meningkatkan minat literasi di kalangan siswa dan sebagai akses pelarian efektif untuk melepas kepenatan. Suasana hening dan damai di perpustakaan membantu meredakan stres serta memberikan ruang menenangkan pikiran yang lelah. Bagi sebagian orang, berkunjung ke perpustakaan adalah terapi emosional yang membuat hati lebih tenang dan damai (Annisa, 2025).
Berdasarkan uraian tersebut, revitalisasi sarana prasarana sekolah memiliki dampak positif terhadap kesehatan mental siswa, guru dan juga tenaga kependidikan. Revitalisasi sekolah diharapkan mampu menjadi hawa segar dan nilai positif baru bagi arah pendidikan di Indonesia.
Karena itu, monitoring dan evaluasi perlu terus dilakukan sebagai bentuk kepedulian kita terhadap program revitalisasi sekolah yang sedang dilaksanakan pemerintah. Dengan pemenuhan sarana pendidikan yang memadai, daya akses masyarakat akan pendidikan yang bermutu pun semakin tinggi.
Dengan demikian, afirmasi ekosistem kehidupan bangsa dan negara Indonesia yang semakin positif pun mampu kita raih. Ke depan, dengan penyelenggaraan pendidikan bermutu bagi semua, generasi muda akan semakin mampu menjadi motor penggerak pembangunan yang memajukan negara Indonesia tercinta. Semoga.
*) Nabil Syuja Faozan adalah mahasiswa profesi dokter pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.