Ahad 21 Sep 2025 09:21 WIB

Revitalisasi Asuransi Syariah Melalui Semangat Warga Jaga Warga

Tafakul bukanlah sekadar produk keuangan, tapi sebuah akad mulia saling menolong.

Ilustrasi Asuransi Syariah
Foto: Republika/ Wihdan
Ilustrasi Asuransi Syariah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yosita Nur Wirdayanti

Di tengah dinamika sosial masyarakat Indonesia, sebuah frasa sarat makna menggema kuat di ruang digital: “warga jaga warga”. Lahir dari solidaritas kolektif saat menghadapi krisis, tagar ini adalah cerminan otentik dari DNA bangsa kita—semangat gotong royong. Ia adalah pengingat bahwa beban seberat apa pun akan ringan jika dipikul bersama. Namun, ironisnya, semangat komunal yang hidup subur di ranah sosial ini seolah belum menemukan padanannya di sektor keuangan formal.

Padahal, jauh di dalam prinsip ekonomi syariah, terdapat konsep yang merupakan saudara kembar dari “warga jaga warga”, yaitu takaful atau asuransi syariah. Takaful bukanlah sekadar produk keuangan, melainkan sebuah akad mulia untuk saling menolong dan menanggung risiko di antara sesama peserta (ta’awun). Dalam skema ini, peserta bukanlah objek pasif, melainkan subjek aktif yang bergotong-royong dalam dana kolektif (dana tabarru’) untuk melindungi satu sama lain dari kemalangan.

Dari perspektif ekonomi syariah, resonansi antara semangat “warga jaga warga” dan esensi asuransi syariah merupakan sebuah momentum strategis. Ini adalah panggilan untuk merevitalisasi asuransi syariah, mengembalikannya ke konsep idealnya sebagai sebuah gerakan sosial berbasis ekonomi yang kokoh, bukan sekadar alternatif produk konvensional. Inilah saatnya membingkai ulang asuransi syariah sebagai manifestasi gotong royong di era digital.

Potret Industri: Tumbuh, Namun Belum Mengakar

Industri keuangan syariah nasional memang menunjukkan pertumbuhan yang patut diapresiasi. KNEKS mencatat total aset keuangan syariah telah mencapai lebih dari Rp10.700 triliun (termasuk kapitalisasi saham syariah) per Juni 2024. Namun, saat kita menelisik lebih dalam ke sektor asuransi syariah, gambaran yang muncul lebih kompleks. 

Meskipun angka pertumbuhan asuransi syariah (5% YoY) lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan asuransi nasional (3.3% YoY). Namun,  pangsa pasar (market share) asuransi syariah terhadap industri asuransi nasional masih jauh dari potensi demografi mayoritas Muslim di Indonesia. Total asset asuransi syariah Per Juni sebesar Rp47.54 Triliun, hanya 4,1% dari total aset asuransi nasional.

Market share ini lebih rendah jika dibandingkan market share perbankan yang mencapai 7,4 persen. Pertanyaannya, apakah pertumbuhan angka ini telah diiringi dengan pendalaman makna di tengah masyarakat? Jawabannya, belum sepenuhnya. Asuransi syariah masih berjuang untuk mengakar kuat, terhambat oleh sejumlah kendala fundamental.

Tantangan utama yang dihadapi industri ini bersifat multifaset. Pertama, disparitas antara tingkat literasi dan tingkat inklusi keuangan syariah.

Dari hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) OJK 2025, kita melihat sebuah fenomena baru yang menantang. Tingkat literasi keuangan syariah menunjukkan kemajuan signifikan, mencapai 43,42 persen. Namun, kabar baik ini dibayangi oleh tingkat inklusi yang masih sangat rendah di angka 13,41 persen.

Artinya, hampir dua pertiga dari masyarakat yang sudah paham konsep keuangan syariah ternyata memilih untuk tidak menggunakan produknya. Masalahnya telah bergeser: dari "tidak tahu maka tidak pakai", menjadi "sudah tahu, tetapi tetap tidak pakai. Disparitas ini mengindikasikan bahwa kendala utama bukan lagi pada ranah edukasi semata, melainkan telah masuk ke hal yang lebih substantial: proposisi nilai, aksesibilitas, dan daya saing produk.

Kedua, inovasi produk yang belum menjawab ekspektasi. Sejalan dengan poin pertama, konsumen yang teredukasi menuntut lebih dari sekadar produk "syariahisasi". Mereka menginginkan solusi yang inovatif, fleksibel, dan relevan dengan gaya hidup modern, mulai dari proteksi untuk pekerja gig economy hingga perlindungan bagi aset digital.

Ketiga, keterlambatan adopsi teknologi yang menciptakan friksi. Di saat layanan keuangan konvensional menawarkan kemudahan dalam genggaman, banyak layanan asuransi syariah masih terkendala proses manual. Pengalaman pengguna (user experience) yang kurang mulus, mulai dari pendaftaran hingga proses klaim, menjadi penghalang besar yang membuat calon peserta yang sudah paham akhirnya mundur.

Industri asuransi konvensional telah melesat dengan insurtech, sementara Takaful-tech di Indonesia masih di tahap awal. Kita belum optimal memanfaatkan kekuatan digital untuk memangkas biaya, menyederhanakan proses, dan pada akhirnya, menawarkan produk yang lebih terjangkau dan mudah diakses.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement