Selasa 09 Sep 2025 11:37 WIB

Konsolidasi Fiskal di Tengah Laju Utang: Mengurai Strategi Tak Lazim Menkeu Purbaya

Rekam jejak Purbaya yang sebetulnya tidak bisa dianggap remeh.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan keterangan pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (8/9/2025).
Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan keterangan pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (8/9/2025).

Oleh : Dr Kuncoro Hadi, RIFA, CLOT; Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Al Azhar Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penunjukan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan ke-31 Indonesia telah memicu sebuah paradoks di tengah arena ekonomi nasional. Pada hari pelantikannya, 8 September 2025, pasar merespons dengan gejolak yang signifikan, ditandai dengan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 1,28 persen. 

Reaksi ini, yang mencerminkan ketidakpastian investor terhadap bendahara negara yang baru, berbanding terbalik dengan latar belakang Purbaya yang ternyata telah terlibat secara mendalam dalam perumusan kebijakan fiskal selama lebih dari satu dekade. Paradoks ini menegaskan bahwa kredibilitas di mata pasar tidak hanya dibangun dari rekam jejak, tetapi juga dari persepsi dan sinyal komunikasi yang jelas di tengah ketidakpastian.   

Skeptisisme pasar tersebut secara langsung menantang rekam jejak Purbaya yang sebetulnya tidak bisa dianggap remeh. Ia adalah seorang akademisi lulusan Teknik Elektro ITB dan meraih gelar Master serta Doktor dari Purdue University. Karier profesionalnya merentang dari ekonom senior di Danareksa hingga Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dari tahun 2020 hingga 2025. Namun, ekonom senior Indef, Fadhil Hasan, mengkritik bahwa Purbaya "belum memiliki pengalaman secara langsung mengelola fiskal dan ekonomi secara keseluruhan," dan menyebutnya "bukan pilihan terbaik". 

Menanggapi keraguan ini, Purbaya dengan lugas menyatakan, “Kalau Anda bilang saya tidak punya pengalaman, itu salah besar. Tahun 2008 saya bantu Pak SBY. Saya orang kepercayaannya,” tegasnya, seraya menambahkan bahwa ia juga membantu Presiden Joko Widodo sejak tahun 2015. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Purbaya tidak asing dengan arsitektur kebijakan fiskal, meski perannya lebih sering di belakang layar sebagai seorang konseptor.   

Dalam menghadapi tantangan konsolidasi fiskal, Purbaya meluncurkan strategi yang berani dan taktis: menolak pungutan pajak baru. Ia memilih untuk menempatkan taruhan besar pada akselerasi pertumbuhan ekonomi, bukan pada penambahan beban masyarakat. Target ambisiusnya, yang didorong oleh Presiden Prabowo, adalah mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 8% dalam 2 hingga 3 tahun ke depan. Strategi ini krusial di tengah kondisi utang pemerintah yang terus melaju. Per Juli 2025, total utang pemerintah tercatat mencapai Rp 8.113 triliun, naik dari Rp 7.730 triliun pada tahun 2024. Proyeksi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 juga menunjukkan penarikan utang baru sebesar Rp 781,9 triliun, meningkat signifikan dari outlook 2025 yang sebesar Rp 715,5 triliun. Purbaya optimistis bahwa "dengan sistem yang ada pun, kalau pertumbuhannya bagus, anggap tax to GDP ratio-nya konstan, income-nya kencang juga". Ini menyiratkan bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yang masif, penerimaan negara akan meningkat secara organik, tanpa perlu intervensi pajak baru.   

Di sisi lain, Purbaya juga menekankan pentingnya pengelolaan utang yang hati-hati dan efektivitas belanja negara. Rancangan APBN 2026 menetapkan rasio utang terhadap PDB sebesar 39,96 persen, jauh di bawah ambang batas aman 60 persen yang diamanatkan Undang-Undang Keuangan Negara. 

Strategi pengelolaan utang ini berfokus pada pendalaman pasar keuangan domestik untuk mengurangi ketergantungan pada pembiayaan eksternal yang rentan terhadap fluktuasi global. Namun, kunci keberhasilan strategi ini juga terletak pada efisiensi belanja. Purbaya mengakui bahwa “masih ada pengelolaan keuangan yang belum optimal” dan berjanji akan memperbaikinya. Reprioritisasi belanja menjadi vital, mengarahkan anggaran ke program-program yang memiliki daya ungkit fiskal dan penciptaan lapangan kerja, seperti perbaikan irigasi dan jalan lingkungan, untuk menahan potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).   

Program andalan pemerintah, Makan Bergizi Gratis (MBG), menjadi studi kasus paling konkret dari pendekatan taktis Purbaya. Untuk tahun anggaran 2025, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 71 triliun untuk mendanai program ini, yang menargetkan 19,47 juta penerima manfaat. Program ini bukan sekadar bantuan sosial, tetapi juga investasi strategis dengan potensi efek pengganda fiskal yang tinggi. 

Secara mikro, program ini dapat memberikan penghematan pengeluaran rumah tangga hingga Rp 300.000–Rp 500.000 per anak per bulan, yang secara agregat akan meningkatkan daya beli masyarakat. Secara makro, program ini diharapkan dapat menstimulasi sektor pertanian, logistik, dan UMKM, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada peningkatan basis pajak dan penerimaan negara. Keberhasilan MBG akan menjadi barometer penting bagi keberhasilan keseluruhan strategi fiskal Purbaya.   

Meski demikian, jalan yang ditempuh Purbaya tidak tanpa rintangan. Selain respons negatif dari pasar finansial, ia juga harus menghadapi tantangan internal dan eksternal lainnya. Ia mengakui ekonomi Indonesia sedang "agak melambat". Ia menanggapi gejolak pasar dengan optimisme, mengatakan “Dalam seminggu-dua minggu pasti akan balik”. 

Kepercayaan dirinya bersumber dari pengalaman panjangnya di pasar finansial, di mana ia mengatakan, “Saya 15 tahun lebih di pasar. Jadi saya tahu betul bagaimana memperbaiki ekonomi”. Secara politik, ia juga harus menghadapi dinamika sosial, termasuk tuntutan dari kelompok masyarakat yang menyerukan reformasi perpajakan yang lebih adil. Purbaya perlu membuktikan bahwa strategi yang berfokus pada pertumbuhan dapat mengatasi tantangan ini tanpa mengorbankan prinsip kehati-hatian.   

Untuk memastikan keberhasilan strategi ini dan mengatasi risiko yang ada, Purbaya dapat mengadopsi beberapa hal. Pertama, pemerintah harus mempercepat implementasi penuh sistem perpajakan digital seperti Core Tax dan mengintensifkan pengawasan untuk menutup celah kebocoran penerimaan yang diperkirakan masih besar. Dengan cara ini, pemerintah dapat mengoptimalkan penerimaan dari basis pajak yang ada tanpa harus membebani masyarakat dengan pajak baru. Kedua, program-program strategis berskala besar seperti MBG harus dijalankan dengan sistem pilot project dan evaluasi yang ketat dan transparan. 

Pendekatan ini akan memastikan dana Rp 71 triliun yang dialokasikan benar-benar menciptakan efek pengganda yang diharapkan, bukan sekadar memicu "gelembung konsumsi". Terakhir, Purbaya perlu membangun kredibilitas dan kepercayaan publik melalui komunikasi kebijakan yang lebih proaktif dan berbasis data, mengikis sentimen wait-and-see yang masih menyelimuti pasar. Dengan memitigasi risiko-risiko ini, Purbaya dapat mengubah paradoks yang mengawali jabatannya menjadi warisan kebijakan fiskal yang berani dan berhasil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement