
Oleh : Barid Hardiyanto, Peneliti Senior di Lembaga Penelitian Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH) dan Dosen di UIN Prof. Saifuddin Zuhri dan UNU Purwokerto.
REPUBLIKA.CO.ID, Kemiskinan bukan hanya soal kurangnya penghasilan, tetapi juga menyangkut ketidakadilan struktural dalam sistem sosial dan ekonomi. Selama puluhan tahun, berbagai program penanggulangan kemiskinan telah dijalankan—dari bantuan sosial bersyarat hingga program padat karya—namun hasilnya seringkali bersifat tambal-sulam dan belum menyentuh akar persoalan: ketimpangan akses terhadap sumber daya dan jaminan dasar kehidupan.
Kini, saatnya Indonesia menjajaki sebuah pendekatan yang radikal namun realistis: Affirmative Basic Income, atau UniversalBasic Income (UBI)/ Pendapatan Dasar Universal (PDU), yang diberikan secara khusus kepada kelompok rentan sebagai hak, bukan belas kasihan.
Affirmative Basic Income
Basic Income adalah bentuk jaminan hidup minimum berupa sejumlah uang tunai yang diberikan secara rutin dan tanpa syarat kepada warga. Ini bukan sekadar bantuan sosial, tetapi pengakuan negara atas hak ekonomi setiap orang. Dalam konteks Indonesia, penerapan skema ini secara afirmatif diarahkan kepada kelompok-kelompok paling rentan seperti: petani gurem, buruh, pekerja informal, perempuan kepala keluarga, difable, lansia miskin, dan masyarakat adat.
Pendekatan afirmatif ini penting bukan karena mereka harus dikasihani, melainkan karena negara wajib menegakkan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Affirmative Basic Income menjadi jembatan menuju sistem jaminan sosial yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Berbagai studi dan program percontohan di negara lain—dari Finlandia hingga Kenya dan India—telah membuktikan dampak positif dari Basic Income: peningkatan kesehatan mental, motivasi kerja, hingga penguatan investasi keluarga pada pendidikan (Schjoedt: 2016, Kangas: 2019, Aizenman: 2023).
Basic Income bukanlah “uang gratis” yang membuat orang malas. Justru sebaliknya, pendapatan dasar memberikan ruang aman bagi masyarakat miskin untuk mengambil risiko produktif: membuka usaha kecil, mengikuti pelatihan, atau menyekolahkan anak tanpa rasa cemas akan kebutuhan dasar. Ini adalah dorongan kemandirian dan inovasi sosial, bukan bentuk ketergantungan.
Pertanyaan paling umum soal Basic Income tentu adalah: dari mana anggarannya? Jawabannya bukan sekadar dari APBN, tetapi dari reformasi cara kita mengelola keuangan publik dan membangun partisipasi masyarakat.
Berikut ini sumber potensial pendanaan: pertama, Efisiensi Anggaran dan Reformasi Belanja Publik. Banyak anggaran terserap dalam belanja rutin birokrasi dan program tumpang tindih. Penyederhanaan birokrasi dan digitalisasi layanan publik dapat menghemat triliunan rupiah yang dapat dialihkan untuk program Basic Income.
Kedua, Pemberantasan Kebocoran dan Korupsi. Indonesia kehilangan ratusan bahkan ribuan triliun rupiah setiap tahunnya akibat korupsi, dari bansos hingga proyek infrastruktur. Jika pemerintah serius menindak dan memulihkan dana korupsi, maka sumber dana untuk Basic Income sesungguhnya sudah tersedia.
Ketiga, Filantropi dan CSR untuk Keadilan Sosial. Dunia usaha dan kelompok dermawan memiliki potensi besar. Dengan transparansi dan akuntabilitas, dana CSR dan filantropi dapat disalurkan untuk mendukung keberlanjutan skema Basic Income. Keempat, Gerakan Rakyat dan Gotong Royong Digital.
Teknologi memungkinkan penggalangan dana secara partisipatif melalui crowdfunding sosial. Ini memperkuat kepemilikan masyarakat atas program dan memperluas basis pendukungnya. Kelima, Penguatan Peran Pemerintah Daerah dan Skema Percontohan. Pemerintah daerah dapat menjadi pelopor dengan mengalokasikan sebagian Dana Desa, PAD, atau hibah sosial untuk uji coba Basic Income lokal. Jika sukses, skema ini bisa direplikasi secara nasional.
Penutup
Pemerintah pusat dapat memulai dengan proyek percontohan di wilayah dengan tingkat kemiskinan ekstrem tertinggi. Integrasi dengan sistem identitas tunggal digital, rekening inklusif, dan pemantauan partisipatif berbasis teknologi akan memastikan transparansi dan efektivitas implementasi.
Kolaborasi lintas sektor—antara pemerintah, masyarakat sipil, swasta, dan warga—merupakan kunci utama untuk menjadikan Basic Income sebagai gerakan bersama, bukan hanya kebijakan negara.
Akhirnya, Affirmative Basic Income bukan sekadar skema bantuan atau kebijakan teknokratis. Ia adalah transformasi paradigma dalam memandang kemiskinan dan keadilan ekonomi. Ini adalah bentuk keberpihakan nyata terhadap mereka yang selama ini tercecer dari arus pembangunan.
Dengan mengalihkan dana dari kebocoran anggaran, memperbaiki prioritas pengeluaran negara, dan melibatkan publik dalam semangat gotong royong, Indonesia dapat melangkah lebih cepat dan lebih adil dalam pengentasan kemiskinan