Ahad 07 Sep 2025 07:51 WIB

Kata yang Membunuh, Kata yang Menyelamatkan

Mengapa komunikasi adalah soal hidup dan mati.

Sejumlah influencer dan aktivis yang tergabung dalam kelompok Kolektif 17+8 Indonesia Berbenah melakukan aksi simbolis di Gerbang Pancasila, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (4/9/2025).
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah influencer dan aktivis yang tergabung dalam kelompok Kolektif 17+8 Indonesia Berbenah melakukan aksi simbolis di Gerbang Pancasila, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (4/9/2025).

Oleh : Dr Devie Rahmawati Peneliti dan Pengajar Tetap Vokasi UI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Apakah kita pernah berpikir, bahwa satu kalimat bisa menjadi pembeda antara hidup dan mati? Sejarah dunia menyajikan jawaban yang getir. Tahun 1977, di Bandara Tenerife, Spanyol, dua pesawat Boeing 747 bertabrakan karena instruksi radio yang ambigu. Kapten KLM mengira ia sudah mendapat izin lepas landas, padahal masih ada pesawat Pan Am di landasan. Dalam hitungan detik, 583 orang tewas. Semua berawal dari komunikasi yang tidak diverifikasi.

Kasus lain datang dari dunia medis. Seorang ibu penderita radang sendi di Nepal diberi resep methotrexate 15 mg “sekali seminggu”. Karena instruksi dokter tidak jelas, ia menelan obat itu setiap hari. Dalam 11 hari, ginjal dan hatinya rusak parah. Satu kata yang hilang yaitu “mingguan”, ujungnya, nyaris merenggut nyawa.

Riset medis di Amerika Serikat bahkan lebih menghentakkan. Laporan Institute of Medicine (1999) “To Err is Human” mengungkap bahwa 44.000–98.000 orang meninggal setiap tahun di rumah sakit AS akibat kesalahan medis yang bisa dicegah. Studi lanjutan menunjukkan 70 persen dari kesalahan itu berakar pada kegagalan komunikasi antar tenaga kesehatan . Jadi bukan karena kurang obat, bukan karena mesin rusak, tetapi karena pesan yang tidak tersampaikan dengan benar.

Komunikasi sebagai Penentu Kesehatan Publik

Dalam dunia kesehatan, komunikasi bukan sekadar etika, tapi determinant of health. Artikel ilmiah di Patient Safety and Quality Healthcare menegaskan bahwa kesalahan komunikasi dalam proses handover, penggunaan istilah medis yang tidak konsisten, atau kegagalan memastikan pemahaman pasien dapat memicu efek domino yang fatal .

Komunikasi yang buruk terbukti menambah biaya sistem kesehatan miliaran dolar setiap tahun, memperpanjang masa rawat pasien, hingga memperburuk kondisi psikologis keluarga. 

Sebaliknya, komunikasi yang baik terbukti meningkatkan patient adherence (kepatuhan pasien terhadap pengobatan), mempercepat penyembuhan, dan menurunkan angka kematian.

Komunikasi Buruk dalam Krisis Publik

Bahaya komunikasi yang buruk tidak berhenti di rumah sakit. Ia juga membunuh dalam skala masyarakat. Sebut saja Bhopal Disaster 1984 (India): kebocoran gas metil isosianat menewaskan lebih dari 15.000 orang. Salah satu penyebab utamanya ialah alarm tidak dipahami warga karena tidak ada sistem komunikasi risiko yang efektif. Pesannya ada, tetapi tidak pernah sampai.

Demikian halnya yang terjadi dengan Exxon Valdez Oil Spill di AS. lambatnya respons komunikasi membuat publik menilai Exxon defensif dan tidak peduli. Butuh puluhan tahun bagi perusahaan untuk memulihkan reputasinya.

Krisis bencana Hurricane Katrina di AS juga demikian, dimana ratusan orang terjebak karena tidak ada instruksi evakuasi yang jelas. Krisis berubah jadi tragedi sosial akibat komunikasi yang tidak koordinatif.

Studi Coombs dalam teori Situational Crisis Communication menegaskan bahwa krisis bukan hanya soal apa yang terjadi, tapi bagaimana organisasi berkomunikasi tentang apa yang terjadi. Dalam krisis, publik menilai kepekaan dan kepedulian lebih penting daripada data.

Bagaimana dengan Indonesia?

Akhir Agustus 2025, publik geger dengan video anggota DPR berjoget sambil membicarakan “gaji naik”, di tengah rakyat yang tercekik harga pangan. Ditambah berbagai pernyataan yang menggunakan pilihan kata yang tidak beretika. Komunikasi verbal berupa kata dan komunikasi non verbal berupa joget, flexing dan rancangan berbagai kebijakan, kemudian menjadi simbol disonansi komunikasi antara elite dan rakyat. Rakyat tidak mendengar candaan, mereka mendengar penghinaan. 

Fenomena ini sejalan dengan sebuah riset 2025 yang menyebutkan: kepercayaan publik tidak lagi otomatis diberikan, ia harus dibuktikan melalui komunikasi yang empatik, konsisten, dan terbuka. Jika elite gagal berkomunikasi, rakyat mengisi ruang dengan amarah, sinisme, atau bahkan disinformasi.

Kita melihat pola yang sama dalam berbagai komunikasi kebijakan negara lainnya. Bukannya menghadirkan pesan yang jelas, seringkali pejabat saling menyalahkan, memberi informasi kontradiktif, atau menyampaikan pesan tanpa kepekaan dan kepedulian. Akibatnya,  publik kehilangan kepercayaan. Dan ketika kepercayaan hilang, legitimasi pemerintahan berpotensi ikut tergerus.

Mengapa Komunikasi Gagal?

Riset akademik mengidentifikasi beberapa penyebab utama kegagalan komunikasi ialah Ambiguitas Bahasa : istilah teknis yang tidak dipahami publik; 

Defensif : pernyataan yang fokus membela diri, bukan menyelesaikan masalah; 

Kurang Peka (empati) : pesan yang dingin, birokratis, dan tidak mengakui penderitaan orang; 

Fragmentasi Informasi : instansi berbeda mengirim pesan berbeda, publik semakin bingung; 

Ketiadaan Gatekeeper Lokal : tidak ada tokoh lokal yang dipercaya untuk menjembatani pesan. Kombinasi faktor ini menjadikan komunikasi krisis di Indonesia sering kali gagal.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Berdasarkan best practices global (OECD, Johnson & Johnson, WHO), ada beberapa rekomendasi strategis: Peka Dulu, Data Kemudian, dimana setiap pesan krisis harus dimulai dengan kepedulian yang jelas: “Kami memahami penderitaan Anda”. Data teknis penting, tapi baru efektif setelah hati masyarakat ditenangkan.

Satu Suara, Banyak Kanal. Buat joint information center yang memastikan semua instansi bicara dengan bahasa yang sama. Gunakan berbagai kanal: media massa, media sosial, posko lokal, hingga tokoh agama/adat.

Gatekeeper Lokal. Libatkan sosok-sosok individu yang dihormati, didengar dan dipatuhi di komunitas, seperti tokoh masyarakat (tomas), tokoh adat (toda), tokoh pemuda (toda). Mereka adalah penghubung paling dipercaya masyarakat.

Gunakan Bahasa yang Sederhana dan  Aktif. Hindari jargon teknokratik, teknis yang rumit, agar terkesan cerdas dan canggih. Gunakan kalimat aktif: “Kami sudah menyalurkan 20 tangki air bersih” alih-alih “Telah dilakukan distribusi air”.

Transparansi Progresif. Jika data belum lengkap, katakan terus terang: “Kami belum tahu semua jawabannya, tapi kami sedang meneliti, dan akan laporkan tiap 24 jam.” Kejujuran tentang ketidakpastian justru meningkatkan kredibilitas.

Crisis Playbook (kitab panduan krisis komunikasi). Semua organisasi publik maupun privat harus memiliki manual komunikasi krisis yang diuji lewat simulasi. Tanpa playbook, organisasi akan gagap, dan publik kehilangan kepercayaan.

Kata sebagai Penjaga Kepercayaan

Mari kita renungkan bersama, Satu kata yang tidak diverifikasi bisa menjatuhkan pesawat. Satu kata yang tidak dijelaskan bisa membunuh pasien. Satu kata yang sembrono bisa mengguncang legitimasi parlemen. Komunikasi bukan sekadar tambahan, ia adalah inti dari tata kelola bangsa.

Sebagaimana petuah para leluhur bahwa: Lidah bisa lebih tajam dari pedang. Namun lidah yang bijak bisa lebih menenangkan dari seribu doa

Indonesia hari ini membutuhkan komunikasi yang menenangkan, transparan, dan peka. Sebab tanpa komunikasi yang dikelola dengan baik, bukan hanya nyawa yang hilang, tapi juga kepercayaan, dan tanpa kepercayaan, tidak ada pemerintahan yang bisa bertahan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement