Jumat 05 Sep 2025 12:02 WIB

Maulid dan Ekspresi Cinta Umat Muhammad

Maulid pertama kali dirayakan di Mesir pada era Dinasti Fatimiyah.

Warga mengikuti kirab perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di kawasan Pisangan Timur, Pulo Gadung, Jakarta Timur, Ahad (15/9/2024).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Warga mengikuti kirab perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di kawasan Pisangan Timur, Pulo Gadung, Jakarta Timur, Ahad (15/9/2024).

Oleh : Mauluddin Anwar, Forum Mubahatsah Lembaga Kaligrafi Alquran (Lemka)

Malam kala Muhammad lahir

Sungguh serupa dengan lailatul qadar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi seorang Muslim, paruh kedua kalimat syahadat -- “dan Muhammad adalah utusan Allah”, adalah pengakuan atas kerasulan Muhammad sekaligus kesaksian mengenai Tuhan dalam aktivitas-Nya di bumi. Dengan mengutus Nabi yang menyebarkan Firman-Nya, Tuhan sejatinya mengungkapkan diri-Nya kepada alam nyata. Meminjam istilah Nathan Soderblom, Nabi adalah salah satu aspek dari aktivitas Tuhan.

Lebih jauh, Ibnu 'Arabi -- seperti dikutip Frithjof Schuon, menganggap Nabi sebagai "barzah", alias penengah atau jembatan antara Allah dan manusia. Peran Nabi sebagai prinsip penengah ini tergambar jelas dalam kata kesaksian iman tersebut: Muhammad Rasulullah. Muhammad adalah "prinsip yang mewujud", Rasul adalah "perwujudan prinsip", dan Allah adalah "prinsip itu sendiri".

Seabad kemudian, Ibnu 'Ammar -- seperti dikutip Annemarie Schimmel, mencuatkan pernyataan serupa dengan tiga alasan rasional. Pertama, Maulid telah mempersembahkan Nabi kepada seluruh dunia, sedangkan Lailatul Qadar hanya dikhususkan baginya.

Kedua, kelahiran Nabi Muhammad lebih penting bagi umat ketimbang turunnya para malaikat yang digambarkan Alquran dalam surat Al-Qadr. Pasalnya, manusia baik saja sudah lebih mulia dari malaikat, apalagi Nabi Muhammad sebagai manusia termulia. Ketiga, Maulid adalah hari penting bagi segenap alam, sementara pewahyuan pertama Al-Quran hanya dikhususkan bagi umat Muslim.

Kedua tokoh ini tentu tidak bermaksud menafikan pentingnya turunnya Alquran dan Lailatul Qadar yang selalu "dikejar" umat Muslim untuk memperoleh berkahnya di 10 malam terakhir Ramadhan. Namun dalam pandangan mereka, kepada siapa kitab pedoman itu akan diturunkan, dan lewat siapa kemuliaan Lailatul Qadr akan dikabarkan, jika sang Mustafa (manusia pilihan) itu tidak dilahirkan?

Dari Mesir Hingga Mendunia

Terlepas dari benar tidaknya pandangan tersebut, Maulid senantiasa diperingati dengan penuh semangat dan kemewahan. Bahkan ketika kritik tajam dilontarkan, antara lain oleh Ibnu Taimiyah yang menganggapnya bid'ah karena Nabi sendiri tidak mengisyaratkannya, peringatan Maulid justru kian populer. Hampir tidak ada wilayah Islam yang melewatkannya.

photo
Anak-anak muda berpakaian tradisional mengikuti aksi unjuk rasa merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, di Karachi, Pakistan, Jumat, 29 September 2023. - (AP Photo/Fareed Khan)

Dalam catatan Al-Maqrizi disebutkan, perayaan besar-besaran Maulid pertama kali berlangsung di Mesir pada era Dinasti Fatimiyah (969-1171 M). Namun sebelumnya, sekitar awal abad ke-8 M, peringatan serupa telah dilangsungkan setiap tahun. Ibu Khalifah Harun Ar-Rasyid biasanya menghias rumah tempat kelahiran Nabi dan mengubahnya menjadi ruang shalat. Para jamaah haji mengunjunginya dengan penuh khusyuk.

Abad-abad berikutnya, Maulid makin populer dan perayaannya menjadi aspek penting keagamaan. Terutama di Afrika Utara, ketika para penguasa dinasti-dinastinya mengklaim sebagai syarif (keturunan Nabi). Hal ini wajar saja. Seperti yang berlangsung pada masa Dinasti Fatimiyah, peringatan Maulid bukan sekadar ekspresi kecintaan kepada Nabi atau cara menggugah semangat pasukan Muslim menghadapi desakan Perang Salib. Lebih dari itu, peringatan ini menjadi wahana untuk memperkuat legitimasi politik dinasti.

Memang, sepanjang sejarah Islam awal dan pertengahan, penghormatan kepada Nabi bukan hanya penting dari sudut pandang religiusitas. Hal ini berkembang menjadi faktor penentu dalam sejarah politik Islam. Kelompok Syiah, Khawarij, atau Ahlussunnah misalnya, meskipun dengan argumentasi berbeda, sama-sama mengklaim kelompoknya sebagai pengikut dan pelindung ajaran Nabi. Demikian pula dinasti-dinasti atau partai-partai politik dan keagamaan yang mengadopsi paham tersebut sebagai ideologi resmi. Karenanya, dalam peringatan-peringatan seperti Maulid, emosi religius, politik, dan kebangsaan bersatu padu.

Ketika Para Seniman Melukis Cinta

Namun rupanya, para seniman dan penulis lah, terutama penyair sufi, yang paling berperan dalam mengembangkan Maulid dan mewarnai kemeriahan peringatannya. Setiap dimensi yang mengiringi kelahiran "manusia penggerak dunia" ini tidak lepas dari perhatian mereka dan senantiasa menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering.

photo
Seorang wanita menawarkan permen saat ribuan orang berkumpul di sekitar makam tokoh sufi Abdul-Qadir al-Jailani untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad di Bagdad, Irak, Selasa, 26 September 2023. - (AP Photo/Hadi Mizban)

Detail-detail kisahnya diungkap dalam penggambaran fantastis dan agung, diperdalam dengan cinta dan kerinduan yang menambah imajinasi. Bahkan banyak pula yang melampaui realitas sesungguhnya, lantas "terperosok" ke dalam penonjolan legenda atau mitos.

Seperti percakapan antar ternak Quraisy, hamparan sutra putih antara langit dan bumi, runtuhnya dinding-dinding istana Persia, luapan air sungai Tigris dan Eufrat yang menggenangi ibu kota Irak, atau proses kelahiran Nabi yang dibidani Asiyah istri Firaun dan Maryam ibunda Isa. Semua ini sangat khas dalam epik-epik dan syair-syair pujian di hampir seluruh wilayah Arab, Persia, Turki, India, dan Afrika Utara sejak sebelum abad ke-13 Masehi.

Pada abad-abad berikutnya, persaingan para penyair dalam penggambaran yang memukau tentang kualitas-kualitas dan keajaiban sekitar kelahiran Nabi makin marak. Hal ini hampir mematikan perhatian pada aspek yang lebih substantif. Mereka hanya menonjolkan artifisialitas dengan gaya yang terlalu dibebani alat-alat retorika dan gambaran-gambaran yang dicari-cari, atau kata-kata yang berlebihan.

Namun tentu saja, hal ini harus ditafsirkan sebagai "persembahan puitis",  ekspresi cinta mereka untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar layak bagi manusia terkasih, sebagai penjalin tali spiritual antara pecinta dan yang dicinta.

Dalam barisan ini, Qasidah Burdah Muhammad Al-Bushiri (wafat 1298 M) tampaknya menempati posisi terdepan syair-syair pujian. Burdah yang aslinya berjudul Al-Kawakib Ad-Dhuriyyah Fi Madh Khoir Al-Barriyyah ini populer bukan hanya karena bahasa ungkapnya yang puitis, ekspresif, dan indah. Karya ini layak dianggap sebagai ringkasan profetologi abad pertengahan, juga dipuji karena berkah dan daya sembuhnya yang diyakini ampuh. Al-Bushiri sendiri, konon sembuh dari stroke berkepanjangan setelah menulis syair pujian itu. Sayang, dalam mengurai dimensi kelahiran Nabi, ia hanya mengungkapkannya secara "sambil lalu".

Karya tentang Maulid yang cukup komprehensif dan populer hingga kini ditulis pada abad ke-18 M oleh Al-Barzanji, qadhi mazhab Maliki di kota Madinah. Teks aslinya dalam bahasa Arab sebenarnya berbentuk prosa, namun para penyair kemudian menggubahnya dalam bentuk puisi. Hingga kini, bahkan di beberapa pelosok negeri kita, syair-syair Al-Barzanji dilantunkan dalam nada-nada yang variatif, mewarnai setiap peringatan Maulid Nabi.

photo
Umat Islam mengikuti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 H di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (4/9/2025). - (ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin)

Kontroversi Lukisan dan Lahirnya Hilyah

Kecenderungan untuk mengangkat setiap dimensi kehidupan Nabi, termasuk saat-saat kelahirannya, juga tak dilewatkan beberapa seniman lukis abad pertengahan. Terlepas dari adanya larangan penggambaran makhluk hidup,  apalagi tokoh-tokoh suci, gambar-gambar Nabi bahkan dengan wajah tanpa selubung ditemukan dalam lukisan miniatur Persia, Turki, dan India. Bukti tertua yang tersimpan di Royal Asiatic Society, London, dan perpustakaan Edinburgh University, Skotlandia, adalah karya Rasyiduddin Hamadani (1247–1318); Jami' At-Tawarikh.

Thomas W Arnold yang mengkategorikan lukisan-lukisan itu sebagai "the religious art in Islam", menyimpulkan bahwa kecenderungan tersebut sangat dipengaruhi tradisi lukis Kristen dan Cina. Selain itu, lukisan-lukisan tersebut hanyalah pesanan perorangan untuk koleksi pribadi. Sebab, menurut hasil kajian Arnold, tidak ada penguasa dinasti-dinasti Islam, bahkan yang paling sekuler sekalipun, yang mengizinkan pelukis-pelukis istananya untuk menjadikan Nabi sebagai objek lukisan.

Bukti besarnya pengaruh tradisi Cina itu misalnya dapat dilihat dalam buku Arnold, Painting in Islam, yang memuat beberapa lukisan miniatur abad pertengahan. Setiap sosok yang ditampilkan menunjukkan bahwa penggambaran itu semata ekspresi petualangan imajinatif, dan sama sekali menyimpang dari kenyataan sesungguhnya. Wajah Nabi misalnya dilukis persis seperti kebanyakan wajah Asia Timur. Buku Arnold (1965) langsung memicu kritik tajam, disusul pelarangan izin peredarannya di beberapa negara Muslim.

Masa-masa berikutnya, lukisan miniatur Nabi masih ditemukan, namun dengan wajah tertutup atau dibiarkan kosong tanpa sapuan warna. Tindakan ini tetap mendapat serangan keras pihak ulama. Dan ketika tradisi lukisan meredup, para seniman telah menemukan cara lain untuk membuat Nabi "hadir", yakni melalui hilyah. Hilyah yang secara harfiah berarti ornamen, terdiri dari penggambaran-penggambaran pendek tentang sifat-sifat lahiriah dan batiniah Nabi, yang diambil dari sumber-sumber Arab awal.

photo
Peserta menggotong gunungan berisi makanan ringan saat tradisi Ngarak Perahu di Pusat Pemerintahan Kota Tangerang, Banten, Kamis (4/9/2025). Tradisi mengarak perahu dan pembagian hasil bumi yang telah dilakukan sejak 1939 tersebut dalam rangka jelang peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. - (ANTARA FOTO/Putra M. Akbar)

Era Modern: Dari Mistis Menuju Rasional

Seiring munculnya gerakan pembaruan di negeri-negeri Islam, muncul kecenderungan merayakan Maulid untuk mengungkap gagasan-gagasan pembaruan. Didalamnya terjadi perubahan dari orientasi mistis dan mitis ke arah penekanan praktis dan konseptual. Perayaan Maulid dijadikan ajang penyampaian pesan-pesan perubahan dan dinamisme, keadilan sosial, demokrasi, atau kesadaran intelektual. Kecenderungan ini benar-benar selaras dengan interpretasi yang lebih modern atas personalitas Nabi.

Seperti disebut Schimmel, ketertarikan kaum modernis untuk menekankan gambaran rasional tentang Nabi Islam ketimbang sekadar detail-detail teologis dan skolastik, tentunya melahirkan nilai tambah. Pertama, agar umat sanggup menangkis pembalikan fakta yang kerap dilakukan kaum orientalis dalam karya mereka tentang biografi Nabi.

Kedua, agar mereka dapat mengarahkan kembali kehidupan mereka selaras dengan model praktis yang dicontohkan Nabi. Dan ketiga, supaya mereka menyadari sekaligus memberantas ketertinggalan yang tengah dialami dunia Islam sesuai semangat dan dinamika perubahan yang dicontohkan Nabi.

Seperti yang dilakukan Syekh Kidwai (1906) ketika mengkaji dimensi mukjizat Rasul. Bahwa mukjizat-mukjizat terbesar Nabi Muhammad bukanlah seperti yang dipercaya kebanyakan orang. Misalnya kisah pembelahan bulan, batang palem yang mengeluh, atau domba-domba yang berbicara. Melainkan terletak pada perubahan spiritual, sosial, moral, dan religius atas masyarakat Jazirah Arab dan sekitarnya.

Cinta yang tak Terbantahkan

Namun, di balik berbagai upaya modernisasi perayaan Maulid, syair-syair pujian yang lembut dan beraneka warna tentang keajaiban kelahiran Nabi tetap dilantunkan. Perayaan-perayaan serupa yang bernuansa mitis, bahkan kadang menjurus pada syirik, pun masih berlangsung. Namun bagaimanapun, perayaan Maulid senantiasa mengekspresikan kecintaan umat atas Nabi, dan menjadi bagian integral kehidupan religius mereka.

Benar kata WC Smith: "Kaum Muslimin masih dapat membiarkan serangan terhadap Allah. Tetapi penghinaan terhadap Nabi Muhammad akan menyulut bahkan dari kalangan yang paling liberal dari umat itu, fanatisme yang menyala-nyala." Muhammad Iqbal mengungkap dalam syairnya:

"Tuhan dapat kau ingkari, namun Nabi tidak!"

Kasus tabloid Monitor ("Ini Dia: 50 Tokoh Yang Dikagumi Pembaca Kita", edisi Nomor 225/IV, 15 Oktober 1990) di tanah air, atau kasus-kasus kekerasan yang dipicu penistaan atas Nabi Muhammad di sejumlah negara Muslim dan Barat, adalah beberapa contoh dari ungkapan Smith dan Iqbal tersebut.

Marhaban ya khoiro kholqihi

Marhaban ya nurul alamin

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement