Oleh ROCHMATULLOH ALAIKA; Asisten Peneliti INDEF
REPUBLIKA.CO.ID, Peluncuran bullion bank nasional oleh Presiden Prabowo Subianto pada awal 2025 menandai tonggak penting dalam transformasi sistem keuangan Indonesia menuju pendekatan berbasis aset riil. Disokong kerangka regulasi seperti Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) serta Peraturan OJK No. 17 Tahun 2024, inisiatif ini diharapkan mampu memperkuat rantai nilai emas nasional, mengurangi ketergantungan terhadap devisa, dan menyediakan alternatif investasi yang lebih stabil, khususnya bagi umat Islam.
Namun, di balik narasi optimistis tersebut terdapat pertanyaan mendasar yang perlu dicermati secara hati-hati yaitu apakah bullion bank benar-benar mendekatkan sistem keuangan syariah kepada tujuan utamanya yakni keadilan, keberkahan, dan kebermanfaatan ekonomi riil? Di sinilah letak persoalan yang luput dari euforia kebijakan, ketika stabilitas emas yang bersifat menyimpan nilai justru bisa menjebak bank syariah dalam pasivitas ekonomi dan menjauhkan diri dari peran sejatinya sebagai agen transformasi sosial.
Sebagai aset fisik, emas memang memiliki keunggulan dalam menyimpan nilai dan tahan terhadap gejolak moneter. Tak heran jika bank sentral di berbagai negara menjadikannya sebagai cadangan devisa. Indonesia sendiri tercatat sebagai produsen emas kedelapan terbesar di dunia dan memiliki cadangan yang sangat signifikan. Namun, emas bukanlah instrumen yang menciptakan nilai tambah secara langsung. Tidak seperti saham atau sukuk yang menghasilkan dividen atau imbal hasil dari aktivitas ekonomi produktif, emas hanya memberi keuntungan jika harga jualnya naik dan bersifat pasif.
Dalam konteks bullion bank, akumulasi emas dalam jumlah besar oleh lembaga keuangan dapat menciptakan jebakan sistemik, yakni penguatan fungsi penyimpanan semata dan bukan fungsi intermediasi. Hal ini menjadi ironi tersendiri bagi sistem keuangan syariah yang seharusnya menjadi jembatan antara dana masyarakat dan sektor riil. Jika bank syariah hanya menjadi tempat penitipan emas, lantas apa bedanya dengan lembaga penyimpanan biasa?
Jika ditelusuri lebih jauh, ini menyentuh problem yang sudah mengakar dalam industri keuangan syariah yakni dominasi akad murabahah. Lebih dari 70 persen pembiayaan bank syariah masih bergantung pada akad jual beli dengan margin tetap ini. Padahal, murabahah telah lama dikritik karena cenderung mereplikasi praktik kredit konvensional. Akad ini tidak merepresentasikan semangat risk-sharing yang menjadi karakter khas ekonomi Islam. Bahkan, dalam praktiknya, murabahah rentan menjadi instrumen komersial murni, berorientasi margin, dan kurang mencerminkan prinsip keadilan dalam distribusi risiko.
Jika bullion bank hadir dan berkembang dalam lanskap sistem keuangan syariah yang masih belum berhasil keluar dari bayang-bayang kapitalisme struktural, maka risiko penambahan lapisan pasivitas ekonomi menjadi semakin nyata. Bukannya membebaskan umat dari ketimpangan ekonomi, sistem ini justru berpotensi memperkuat eksklusivitas keuangan yang hanya menguntungkan kelompok berdaya beli tinggi.
Survei BRIDS dan Pegadaian pada 2021 menunjukkan bahwa 83,3 persen masyarakat tertarik berinvestasi emas. Namun, hanya sebagian kecil yang mampu merealisasikannya. Kebutuhan saldo minimum, biaya penyimpanan, serta volatilitas harga menjadi penghalang nyata bagi akses masyarakat kecil. Jika akses terhadap bullion bank hanya dinikmati segmen menengah ke atas, maka kita tidak sedang membangun keuangan Islam yang substantif, melainkan hanya simbolik.
Di sinilah pentingnya kehati-hatian dalam merancang sistem bullion bank. Regulasi seperti POJK No. 17/2024 memang telah mengatur aspek tata kelola, manajemen risiko, hingga perlindungan konsumen. Namun, tantangan praktik masih besar. Di tingkat global, transaksi emas digital kerap tergelincir pada spekulasi dan ketidaksesuaian akad. Tanpa fondasi standar syariah internasional yang kuat, produk-produk ini berisiko mengalami sharia-washing (tampak Islami secara istilah), namun menyimpan ketidakjelasan (gharar) dalam kontrak dan pelaksanaannya.
Menurut Antaranews (2025), dalam waktu singkat setelah peluncurannya Pegadaian telah menyalurkan 1,1 ton deposito emas kepada 31.000 nasabah dan mencatat transaksi perdagangan emas digital sebesar 1,2 ton. Angka ini menunjukkan antusiasme yang besar. Namun, keberhasilan jangka panjang ditentukan oleh sejauh mana institusi keuangan mampu mengintegrasikan bullion bank ke dalam ekosistem pembiayaan produktif, bukan sekadar menjadi pusat penitipan emas.
Bullion bank harus diarahkan untuk mendukung pembiayaan sektor riil seperti industri halal, manufaktur perhiasan, atau pembiayaan UMKM berbasis emas. Jika tidak, bank syariah justru semakin kehilangan distingsi etis dan moralnya. Fungsi intermediasi melemah, distribusi manfaat menyempit, dan keuangan Islam terjebak dalam kemilau emas yang hanya menyimpan, bukan menggerakkan.
Kita tidak menolak bullion bank sebagai inovasi. Tetapi inovasi ini harus dilandasi prinsip kehati-hatian dan kerangka tujuan (maqashid) syariah yang kokoh. Bank syariah tetap harus menempatkan prioritas pada pembiayaan berbasis kerja sama (mudharabah-musyarakah), optimalisasi instrumen sosial seperti zakat, wakaf, dan pinjaman kebajikan (qardhul hasan), serta memperkuat peran dalam mendorong inklusi dan keadilan ekonomi.
Keuangan syariah tidak boleh terjebak dalam pesona kosmetik religius semata. Sebab, yang dibutuhkan adalah sistem keuangan Islam yang membumi, menciptakan nilai, dan mentransformasikan kehidupan. Emas memang bersinar, tetapi jangan sampai silau itu membuat kita kehilangan arah bahwa orientasi akhir dari ekonomi syariah bukanlah akumulasi, melainkan keberkahan dan kemaslahatan bersama.