Kamis 28 Aug 2025 15:49 WIB

Potensi Besar, Dampak Kecil? Zakat: Dari Seremonial Menuju Solusi Sosial

Filantropi Islam berperan menangkap kebutuhan nyata masyarakat.

Ilustrasi Zakat. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ilustrasi Zakat. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Citra Widuri*

Zakat di Indonesia bukan sekadar kewajiban agama, melainkan instrumen sosial-ekonomi yang strategis untuk memberdayakan masyarakat miskin dan memperkuat pemerataan kesejahteraan. Seiring terbentuknya Panitia Seleksi (Pansel) untuk memilih komisioner BAZNAS periode 2025–2030, calon pemimpin zakat di Indonesia menghadapi tantangan strategis yang besar.

Baca Juga

Masyarakat Indonesia secara konsisten menyalurkan zakat dan kedermawanannya untuk berbagai kebutuhan penerima manfaat/mustahik, namun World Giving Index 2025 mencatat penurunan peringkat Indonesia dari posisi pertama selama 7 tahun berturut-turut, ke urutan ke-21. Penurunan ini menjadi salah satu alarm bahwa boleh jadi pengelolaan zakat nasional belum optimal dalam menciptakan dampak sosial.

Survei IDEAS menegaskan bahwa 69,2% masyarakat menyalurkan zakat langsung kepada penerima manfaat, karena terdorong keinginan melihat bantuan tepat sasaran dan kepuasan batin dari interaksi langsung dengan mustahik. Hal tersebut sejalan dengan fakta Laporan Zakat Nasional 2024 yang menunjukkan tantangan struktural dimana 68,6% dari Rp 41.6M dana terhimpun adalah off balance sheet. Kondisi ini memperlihatkan bahwa potensi zakat belum sepenuhnya dikelola untuk menghasilkan dampak sosial yang optimal.

Dualitas Ekonomi dan Sosial

Fenomena dualitas ekonomi dan sosial di Indonesia terlihat jelas dalam data BPS dan World Bank. Data BPS menunjukkan pertumbuhan ekonomi di atas 5% per tahun, kemiskinan nasional turun menjadi 9–10%, dan pengangguran formal menurun. Dari perspektif ini, Indonesia tampak berada di jalur negara berpendapatan menengah-tinggi. Namun, data World Bank menawarkan cerita berbeda.

Dengan standar internasional US$3,65/hari PPP untuk lower-middle-income countries dan US$6,85/hari PPP untuk upper-middle-income countries, banyak rumah tangga yang dianggap “tidak miskin” menurut BPS tetap hidup di bawah standar internasional, sehingga persentase yang rentan miskin dan miskin melampaui 60%.

Perbedaan metodologi juga terlihat pada statistik tenaga kerja. BPS menghitung pengangguran formal, sementara pekerja paruh waktu, informal, atau subsisten tidak termasuk. Jika dimasukkan underemployment dan pekerjaan informal, ketidakamanan ekonomi terlihat jauh lebih tinggi.

Ini adalah paradoks pembangunan, dimana pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan formal terjadi bersamaan dengan kerentanan sosial yang meluas diikuti kelas menengah yang rapuh. Di sinilah peran filantropi Islam dan Organisasi Pengelola Zakat (OPZ, baik itu BAZNAS maupun LAZ) menjadi sangat strategis.

Fenomena dualisme ekonomi ini seakan-akan telah diprediksi 15 abad lalu, kita simak apa pesan Rasulullah SAW kepada Mu’adz bin Jabal ketika diutus ke Yaman: "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat dari harta mereka, diambil dari orang kaya di antara mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin di antara mereka." (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas). Hadits tersebut menghubungkan nash Al-Quran tentang zakat di At-Taubah ayat 60 dan 103, yang menekankan distribusi harta bagi kelompok mustahik yang tidak hanya fakir miskin (8 asnaf) dan kepentingan umat, dengan prinsip fai sebagaimana tertuang dalam Al-Hasyr ayat 7 ”…(Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”.

Pengelolaan harta umat demi kemaslahatan sosial dan pemberdayaan komunitas juga memperhatikan kelompok yang mungkin setara dengan kelas menengah saat ini. Dengan kerangka tersebut, jelas bahwa pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan formal saja tidak cukup, distribusi kesejahteraan juga harus diperkuat tanpa memandang status kelas ekonomi. Zakat dalam perspektif tata kelola saat ini dapat berperan sebagai instrumen pemerataan sosial dan pemberdayaan ekonomi, menjembatani kesenjangan antara statistik resmi dan realitas kehidupan masyarakat rentan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement