
Oleh : Fathurrochman Karyadi*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua abad telah berlalu sejak Perang Jawa (1825-1830) meletus. Namun, bagi banyak orang, sosok Pangeran Diponegoro dan perjuangannya seringkali hanya terpatri dalam ingatan kolektif sebagai nama jalan, lukisan "naik kuda membawa keris", atau anekdot "Perang Bakda Magrib" yang hanya lima menit.
Lantas, apa sebenarnya esensi dari peristiwa monumental yang mengguncang Hindia Belanda ini? Untuk menjawab ini, KISWAH (Kajian, Siniar, dan Dakwah) Episode 56 Soul Pesantren menghadirkan naratamu Dr. Aditia Gunawan, seorang filolog dan kurator dari Perpustakaan Nasional RI.
Menurut Kang Adit, demikian ia akrab disapa, intisari dari perlawanan Pangeran Diponegoro dapat dirangkum dalam satu kata: martabat (respect). "Yang diperjuangkan Diponegoro itu adalah martabat, respect. Harga diri yang tidak bisa direndahkan oleh orang lain," jelas Kang Adit.
Perang ini bukanlah pemberontakan untuk merebut takhta keraton, melainkan sebuah perlawanan terhadap penindasan kolonial yang menghina dan memiskinkan rakyat. Diponegoro, yang menyandang gelar "Khalifatullah Panatagama ing Tanah Jawi", membawa semangat perlawanan yang menyatukan identitas kebangsaan dan keagamaan.
Yang menarik, perang ini bukanlah konflik etnis Jawa semata. Perang Jawa bersifat multi-etnik, melibatkan berbagai elemen masyarakat. Ada keturunan Bima, orang Arab, komunitas Tionghoa, serta prajurit dari Makassar dan Bugis yang terlibat, baik sebagai kawan maupun lawan. Ini menunjukkan bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan mampu melampaui sekat-sekat suku.
Pejuang setelahnya, seperti Imam Bonjol, menolak berunding karena takut dikhianati seperti nasib Diponegoro. Perlawanan berikutnya pun menjadi lebih frontal.
Jejak Perlawanan dan Warisan Pangeran
Pangeran Diponegoro terlahir dengan nama Bendara Raden Mas Mustahar pada 11 November 1785. Statusnya sebagai putra dari selir, R.A. Mangkarawati, justru memberikannya perspektif unik terhadap kekuasaan; ia mampu mengambil jarak dari intrik keraton dan lebih dekat dengan penderitaan rakyat. Penolakannya terhadap campur tangan dan keserakahan Belanda membuatnya menjadi simbol perlawanan. Atas saran pamannya, GPH Mangkubumi, ia pun meninggalkan Istana Tegalrejo dan membangun markasnya di Gua Selarong. Dari sanalah semangat Perang Sabil dikobarkan, menarik dukungan luas dari berbagai kalangan, mulai dari tokoh agama seperti Kiai Mojo, bangsawan seperti Sunan Pakubuwono VI, hingga ribuan kiai, haji, dan santri.