REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Edius Pratama SH, Advokat Publik Pusat Advokasi Hukum & Hak Asasi Manusia Indonesia (PAHAM INDONESIA)
Perkembangan teknologi digital dalam satu dekade terakhir telah melahirkan jutaan pekerjaan baru berbasis platform, salah satunya pengemudi dan kurir layanan angkutan berbasis aplikasi. Dua tahun lalu saja dari data laporan tahunan GoTo 2023 mencatat, jumlah mitra pengemudi sudah mencapai 3,1 juta orang. Itu belum termasuk dari Grab, Maxim, Lalamove, hingga InDrive. Jumlah yang sangat besar ini menjadikan mereka bagian penting dari denyut ekonomi digital Indonesia.
Namun, di balik pesatnya pertumbuhan lapangan kerja baru tersebut, terselip persoalan serius, yaitu lemahnya perlindungan hukum, khususnya dalam jaminan sosial ketenagakerjaan.
Hingga kini, tidak ada aturan yang jelas mengatur soal status hubungan kerja antara pengemudi dan kurir online dengan perusahaan aplikasi. Perusahaan digital lebih memilih menyebut hubungan mereka sebagai “kemitraan”, bukan hubungan kerja. Alasannya, unsur “perintah” dan “upah” sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dianggap tidak terpenuhi. Akibatnya, para pengemudi dan kurir online tidak dianggap pekerja formal.
Implikasinya fatal. Mereka tidak memiliki hak atas upah minimum, jam kerja wajar, cuti, pesangon, hingga perlindungan jaminan sosial. Perusahaan aplikasi bisa bebas melakukan suspend bahkan pemutusan kemitraan sepihak tanpa kewajiban memberikan kompensasi.