
Oleh : Hari Eko Purwanto, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP – Universitas Muhammadiyah Jakarta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa hari terakhir, dunia maya Indonesia heboh gara-gara satu hal yang kalau dipikir-pikir sebenarnya agak unik, sebuah bendera bajak laut Jolly Roger dari anime One Piece berkibar di mana-mana. Dari pojok gang, belakang Truk, sampai pinggir jalan, simbol tengkorak itu berkibar santai, tapi aparat justru turun tangan dengan serius, menurunkan bendera-bendera itu satu per satu.
Videonya beredar cepat, memantik komentar yang sama panasnya dengan cuaca akhir-akhir ini. Ada yang menganggap ini “makar visual”, semacam ancaman terhadap simbol negara. Tapi di sisi lain, netizen malah membalas dengan meme, bercanda, bahkan ada yang bilang, “Yah, ini cuma anime doang, ngapain baper?”
Dua reaksi itu beradu keras di media sosial, seperti dua kapal bajak laut yang tidak sepakat soal arah angin. Lucunya, ruang diskusi yang sehat malah makin sulit ditemukan, semua berlomba paling keras, paling lucu, atau paling patriotik.
Padahal, kalau ditarik mundur, kebanyakan orang yang memasang bendera One Piece tadi tidak punya niat memberontak. Rata-rata cuma ingin ikut-ikutan tren, cari engagement buat TikTok atau Instagram, atau sekadar ingin “nobar” seru bareng sesama fans anime.
Di zaman di mana viral itu mata uang baru, siapa sih yang tidak tergoda cari perhatian cepat?
Tapi dari sisi pemerintah, reaksinya justru tegas, bisa dibilang, agak sedikit berlebihan. Turun tangan aparat, pengawasan ketat, hingga komentar pejabat yang mengaitkan aksi ini dengan ancaman persatuan bangsa. Ini persis seperti yang dijelaskan Stanley Cohen dalam teori Moral Panic (1972), otoritas merasa fenomena kecil bisa mengganggu nilai-nilai besar, sehingga responsnya seringkali terlalu keras. Ironisnya, masalah remeh yang bisa saja diselesaikan dengan obrolan dan diskusi, jadi makin panas karena respons yang ‘wah’.
Sebaliknya, publik digital justru menganggapnya main-main. Meme bermunculan, video diedit jadi hiburan, dan pembicaraan serius tenggelam di balik gelak tawa. Tapi, jika dilihat lebih dalam, tren ini muncul dari kegelisahan sosial yang butuh tempat pelampiasan, simbol sederhana seperti bendera bajak laut malah jadi media protes yang tak terucap.
Bandwagon Effect, istilah yang diperkenalkan dunia politik Amerika pada abad ke-19, pas sekali menggambarkan situasi ini, begitu satu opini atau tren kelihatan ramai, banyak orang buru-buru ikut, takut ketinggalan arus. Bendera One Piece viral, orang lain ikut pasang, tanpa mikir panjang. Algoritma media sosial pun memperkuat efek ini, menciptakan gelombang massal yang makin susah dikontrol.
Teori Stuart Hall tentang Encoding/Decoding (1980) juga bisa dipakai membaca fenomena ini. Bisa jadi, para pemasang bendera bermaksud mengirimkan pesan “seru-seruan” atau “kritik halus”, sedangkan pemerintah menangkapnya sebagai ancaman serius, dan netizen lain melihatnya sekadar hiburan. Seringkali, ruang untuk negosiasi makna malah nyaris tak ada, semua terjebak di tafsirnya sendiri.
Fenomena ini, mau tak mau, membuka borok komunikasi publik kita yang gampang latah. KBBI mendefinisikan latah sebagai kebiasaan meniru secara spontan apa yang dilihat atau didengar. Di dunia digital, latah berkembang jadi fenomena massal, satu unggahan bisa menimbulkan reaksi berantai, satu komentar bisa memicu debat kusir tanpa ujung. Bahkan, budaya latah ini sangat terlihat ketika ada tren joget-joget TikTok misalnya, dari pelajar sampai bapak-ibu pejabat, semua nggak mau kalah ikut gaya. Kadang, bukan soal makna, tapi lebih ke takut ketinggalan kereta viral. Pemerintah latah dalam keseriusan, publik latah dalam kelucuan, dan akhirnya, kegaduhan jadi lebih dominan daripada percakapan bermakna.
Kasus mural di Sragen yang dihapus atau bendera bajak laut di Pati yang diturunkan, semuanya cuma gejala dari persoalan yang lebih besar: hilangnya ruang tengah, tempat dialog seharusnya tumbuh. Di satu sisi negara jadi terlalu sensitif, di sisi lain masyarakat malah meledek. Padahal, demokrasi butuh ruang aman buat berbeda pendapat, bukan saling membungkam lewat tindakan ekstrem.
Menjelang HUT ke-80 RI, semestinya kita ingat: kemerdekaan bukan cuma urusan simbolik atau perayaan satu hari, tapi juga ruang untuk berpikir kritis, bertanya, bahkan bercanda tanpa takut berlebihan. Demokrasi tidak cukup cuma ramai oleh “jempol cepat”, tapi juga harus diisi oleh telinga yang mau mendengar, dan hati yang mau mengerti.
Bendera naik sekadar konten,
Turun paksa disaksikan ramai.
HUT ke-80 jadi momen penting nan keren,
Untuk bangsa yang dewasa, tenang, dan damai.
Selamat ulang tahun ke-80, Indonesia ku. Semoga di usia yang sudah tidak muda lagi ini, kita belajar menahan jempol dan menahar riuh sejenak, memberikan ruang pada percakapan jernih, dan bertumbuh jadi bangsa yang tidak gampang latah oleh tren, tapi kokoh dalam dialog yang menyehatkan