
Oleh : Setiawan Budi Utomo, Pemerhati Ekonomi Syariah dan Kebijakan Publik
REPUBLIKA.CO.ID Laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2024/25 yang baru-baru ini diluncurkan, menjadi panggung penting bagi Indonesia untuk menunjukkan kelasnya dalam kancah ekonomi Islam dunia. Peringkat ketiga dalam Global Islamic Economy Indicator (GIEI) di bawah Malaysia dan Arab Saudi bukan sekadar angka, melainkan tanda tanya besar: sudahkah Indonesia dalam kerangka Visi Indonesia Emas 2045 memanfaatkan seluruh potensinya untuk menjadi imam ekonomi syariah dunia?
Indonesia tidak lagi sekadar pasar konsumsi produk halal global, tetapi kini menjadi pemain aktif. Di sektor modest fashion, Indonesia meraih posisi pertama dunia, melampaui Turki dan Uni Emirat Arab. Merek lokal seperti Zoya dan Buttonscarves telah menembus pasar global, didukung ekosistem gaya hidup halal yang berkembang pesat.
Indonesia juga mencatat rekor sebagai negara dengan nilai investasi halal terbesar pada 2023/24, sebesar USD 1,6 miliar dalam 40 kesepakatan. Di tengah tren peningkatan konsumsi etis secara global, hal ini menandai tumbuhnya kepercayaan investor terhadap potensi ekonomi halal Indonesia. Peluncuran super-app halal oleh pemerintah menunjukkan langkah progresif dalam digitalisasi layanan sertifikasi dan penguatan tata kelola.
Namun prestasi ini belum cukup. Malaysia, dengan sistem sertifikasi halal JAKIM yang telah menjadi rujukan internasional, tetap bertahan di posisi puncak GIEI selama 11 tahun berturut-turut. Negeri jiran ini bukan hanya proaktif dalam sertifikasi, tetapi juga piawai menjadikan ekonomi halal sebagai instrumen diplomasi dan industrialisasi yang didukung oleh keuangan syariahnya dengan pangsa pasar yang lebih dari 40% dari total industri keuangan nasional (BNM 2024). Bandingkan dengan Indonesia, yang masih terseok dalam harmonisasi standar dan akselerasi sertifikasi halal serta penetrasi keuangan syariah dengan pangsa pasar yang masih di bawah 11% per akhir 2024 (OJK) terutama ke sektor UMKM halal.
Malaysia bukan hanya unggul dalam strategi, tetapi juga dalam keberanian berinovasi. Laporan SGIE mencatat dominasi Malaysia dalam keuangan syariah, makanan halal, dan pariwisata Muslim-friendly. Saudi Arabia pun tampil agresif lewat Vision 2030 dan dana abadi PIF-nya, yang menyuntik investasi ke berbagai sektor halal global. Bahkan Senegal negara Afrika yang selama ini diabaikan naik 18 peringkat dengan reformasi regulasi dan klaster ekspor halal. Lantas, mengapa Indonesia masih tertinggal dalam ekspor produk halal?
KNEKS Arsitek Strategi
Di balik capaian Indonesia, peran Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) tak bisa diabaikan. Sebagai policy orchestrator di bawah kendali langsung Presiden, KNEKS telah membangun ekosistem lintas sektor: dari industri halal, keuangan syariah, dana sosial syariah (zakat, Infaq, Wakaf), hingga sektor riil. Tetapi tantangannya kini adalah memperkuat fungsi eksekusi bukan berhenti di perumusan rekomendasi kebijakan. Dibutuhkan lompatan dalam integrasi lintas kementerian dan digitalisasi layanan agar ekosistem halal Indonesia tidak terjebak dalam silo dan ego sektoral.
Dengan populasi Muslim terbesar di dunia, yakni lebih dari 230 juta jiwa, dan menjadi kontributor utama dari proyeksi 540 juta pemuda Muslim global pada 2030, Indonesia memegang aset demografis strategis. Pemuda Muslim Indonesia bukan hanya konsumen, melainkan inovator dan kreator konten halal. Inilah kekuatan sosial-budaya yang dapat mendongkrak Indonesia sebagai pusat produksi, bukan sekadar pasar.
Namun, sejumlah tantangan masih membayangi. Sertifikasi halal Indonesia melalui BPJPH belum sepenuhnya terintegrasi secara internasional, menyulitkan ekspor ke pasar Timur Tengah dan Eropa. Di sektor pembiayaan, meskipun aset keuangan syariah global mencapai USD 4,93 triliun, penetrasi pembiayaan syariah untuk UMKM di Indonesia masih rendah. Sementara itu, nilai ekspor produk halal Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia, Brasil, dan India, terutama akibat lemahnya logistik, promosi, dan standarisasi mutu.
Dari Ambisi ke Aksi
Reposisi Indonesia sebagai imam ekonomi syariah dunia perlu menjawab tantangan ini. Membangun ekosistem ekonomi syariah yang terintegrasi menjadi keniscayaan yang penting dan mendesak: menghubungkan industri halal, pembiayaan syariah, dana sosial syariah, dan sektor riil dalam satu ekosistem yang saling menopang. KNEKS dapat mendorong integrasi data antar-sektor serta mendukung skema fiskal yang kondusif bagi pelaku usaha halal.
Indonesia juga bisa memimpin halal diplomacy di kawasan ASEAN dengan mendorong harmonisasi standar halal negara OKI, sekaligus memfasilitasi koridor dagang halal intra-regional. Dengan inovasi seperti halal super app, pendekatan serupa bisa diperluas ke sektor pembiayaan syariah, pariwisata halal, hingga pendidikan dan media digital. Untuk itu, tiga langkah strategis perlu segera diimplementasikan:
Pertama, Indonesia harus memperkuat dirinya sebagai hub investasi halal Asia, dengan meniru agresivitas promosi seperti yang dilakukan UAE dan Arab Saudi. Kawasan industri halal berbasis ekspor dan insentif fiskal menjadi keharusan.
Kedua, reformasi pembiayaan syariah diperlukan untuk menjangkau sektor produktif dan UMKM secara lebih luas. Ini melibatkan sinergi antara lembaga keuangan dan sekuritas syariah yang dikolaborasikan dalam ekosistem dengan program dana sosial syariah berbasis digital.
Ketiga, penguatan riset dan inovasi di bidang kosmetik, farmasi, dan makanan halal disamping pendalaman dan inovasi produk keuangan syariah harus menjadi prioritas. Kolaborasi antara universitas, industri, dan regulator perlu dimasifkan untuk mendorong daya saing produk halal Indonesia di pasar global.
Indonesia telah memiliki fondasi yang kuat untuk menapaki peran global dalam ekonomi syariah. Dengan orkestrasi KNEKS yang jika perlu dapat diperkuat perannya menjadi badan Pengembangan Ekonomi Syariah (BPES) dan semangat integrasi antar-aktor, Indonesia bukan hanya bisa menjadi pusat halal dunia, tetapi juga imam ekonomi syariah global yang membawa nilai-nilai inklusif, etis, dan berkelanjutan ke dalam arus utama pembangunan global. Inilah saatnya Indonesia tidak hanya berbicara dalam angka, tetapi dalam kepemimpinan nilai.