
Oleh : Nasihin Masha, Wartawan Senior
REPUBLIKA.CO.ID,
Pablo Escobar nama singkatnya. Nama lengkapnya adalah Pablo Emilio Escobar Gaviria. Ia anak seorang petani kecil dan ibunya seorang guru. Ia anak ketiga dari tujuh bersaudara dan tumbuh dalam kemiskinan. Sebelum berusia 17 tahun, pada 1966, ia keluar dari SMA. Namun dua tahun kemudian ia balik sekolah lagi. Saat itu ia hidup di jalanan, sehingga satu tahun kemudian ia putus sekolah lagi. Namun akhirnya ia berhasil mendapat ijazah SMA. Dengan cita-cita ingin menjadi politisi dan presiden, Escobar kuliah. Karena kemiskinan, ia pun berhenti kuliah. Jadilah ia sebagai seorang kriminal.
Perawakan Escobar tinggi besar, gagah, dan senyumnya menawan. Mungkin titisan dari darah Spanyol dan sedikit darah Italia yang mengalir pada dirinya. Ia seorang yang persuasif dan flamboyan. Ia menyelundupkan rokok, tiket lotere palsu, pencurian kendaraan, dan menyelundupkan barang-barang elektronik. Ia hanya kriminal kelas kecil. Bahkan di awal karier kriminalnya ia memulai dengan mencuri batu nisan. Namun kemudian ada pria tua pembuat bubuk kokain di Peru yang terusir dari Chile oleh rezim Pinochet membutuhkan mitra yang bisa diandalkan. Ia melihat ada tiga alternatif pilihan penyelundup dari Kolombia. Yang satu orangnya emosional dan impulsif serta mudah membunuh, yang satu orangnya terlalu suka pamer kekayaan dan hidup hedonis. Maka pilihan jatuh pada Escobar yang berjejaring kuat, mengenali dengan detil banyak orang di pemerintahan, tenang, dan taktis. Setelah membesar, dua penyelundup lain ingin bergabung. Escobar yang cerdik tak serakah. Ia pun berbagi dengan keduanya. Escobar kemudian dikenal sebagai raja kartel Medellin. Sekitar 80 persen kokain di Amerika Serikat adalah hasil selundupan yang ia lakukan. Ia menjadi gembong narkoba terkaya, dan salah satu orang terkaya di dunia.
Escobar membangun kerajaan bisnisnya di atas tumpukan mayat. Ada sekitar empat ribu orang yang telah ia bunuh. Ia menguasai banyak pejabat di pemerintahan. Ia dikenal dengan doktrin “plata o plomo”. Makna harfiahnya adalah “perak atau timah”, yang bermakna “duit atau peluru”, alias pilih terima uang atau pilih jadi mayat, hidup [kaya] atau mati. Ia mengutamakan plata daripada plomo. Itulah kecerdikan dan ketaktisannya. Jika suap tak mempan, maka membunuh adalah senjata pamungkasnya.
Pada dekade 1970an dan 1980an, negara-negara Amerika Latin didera kemiskinan akut. Kemiskinan adalah ladang subur bagi tumbuhnya kartel kejahatan. Kemiskinan telah membuat sebagian manusia memilih mengabaikan malaikat dan kemudian bersekutu dengan setan; memilih menjual jiwanya untuk kenikmatan sesaat. Kartel narkoba tumbuh di mana-mana, pemberontakan dan darderdor bermunculan. Para warlord lahir di mana-mana. Dan itu bermula bukan dari ibukota, tapi dari daerah, yang pemerintah pusat memiliki kontrol yang lemah. Bubuk kokain dibuat di tengah hutan di Peru. Pusat operasi perdagangannya dikendalikan dari Medellin, bukan dari Bogota yang ibukota Kolombia. Escobar menampilkan dua wajah, lazimnya bandit di kubangan kemiskinan. Satu wajah bak Robin Hood, menyantuni orang-orang miskin. Namun wajah lainnya adalah wajah iblis. Seperti mimpi di awalnya, namun akhirnya Escobar bergabung ke partai politik dan berhasil duduk di parlemen. Kini ia memiliki imunitas dan sekaligus hak paspor diplomatik.
Gorontalo
Provinsi Gorontalo adalah provinsi termiskin ke-9 di Indonesia, yaitu setelah Papua Pegunungan, Papua Tengah, Papua Barat, NTT, Papua Barat Daya, Papua Selatan, Papua, Maluku. Garis kemiskinan per kapita di Gorontalo adalah Rp 473 ribu per bulan. Artinya hanya Rp 15 ribu per hari. Angka yang sangat rendah. Saingan Gorontalo hanya seluruh provinsi di Papua, lalu NTT dan Maluku. Artinya, Gorontalo adalah provinsi termiskin di Sulawesi dan lebih miskin dari seluruh provinsi di Kalimantan. Sepuluh tahun terakhir ini, Gorontalo tak ada kemajuan berarti. Persentase penduduk miskin Gorontalo pada 2012 adalah 17,33 persen dan pada 2022 menjadi 15,51 persen. Dalam sepuluh tahun hanya turun 1,82 persen. Bandingkan di masa 10 tahun sebelumnya. Pada tahun 2002 persentase penduduk miskin Gorontalo 33 persen. Sehingga dalam 10 tahun dari 2002 ke 2012 persentase penduduk miskin turun 15,67 persen. Namun uniknya, gubernur masa itu (2012-2022) pernah menjadi gubernur terkaya nomor dua di Indonesia, seperti tercantum dalam laporan kekayaannya ke KPK. Kekayaannya pada 2011 Rp 49 miliar, namun pada 2021 naik menjadi Rp 86 miliar. Sehingga dalam 10 tahun kekayaannya naik Rp 37 miliar. Kita tidak bisa serta merta menuduhnya terjadi korupsi, karena bisa dari valuasi aset, bisa pula dari bisnis. Namun ini menunjukkan bahwa untuk urusan pribadi bisa sukses berlipat-lipat, namun urusan negara berjalan beringsut. Artinya, tidak terjadi koherensi antara kesuksesan personal dan kesuksesan sebagai pemimpin rakyat. Ia gagal menyejahterakan rakyatnya, namun sukses menyejahterakan dirinya.
Kondisi kemiskinan suatu masyarakat adalah lahan subur bagi lahirnya kejahatan dan bahkan kerajaan kriminal. Di Gorontalo tak ada produksi narkoba atau dekat dengan industri narkoba. Seperti Chicago tak melahirkan mafia narkoba, tapi mafia minuman keras ilegal yang kemudian merambah ke pelacuran, perjudian, pemerasan, rentenir, korupsi, dan tentu pembunuhan. Kita mungkin masih ingat dengan tokoh Al Capone, sang mafia dari Chicago tersebut. Nah, Gorontalo kaya dengan tambang mineral, khususnya emas dan apa yang disebut sebagai batu hitam. Namun celakanya, ada istilah “kutukan tambang”. Maksudnya adalah, suatu wilayah atau negara yang memiliki kekayaan tambang maka di sana akan terjadi konflik dan kemiskinan. Terjadi konflik karena bisnis tambang itu cukup modal nyali dan selembar kertas, apalagi jika yang ilegal. Beda dengan membangun industri – industri rumahan maupun industri besar. Membangun industri membutuhkan perencanaan, pengetahuan, ketekunan, jejaring, dan keuntungan seperak demi seperak. Sedangkan usaha tambang cukup modal nyali siap bertarung demi sepetak lahan maupun secarik izin, dan keuntungannya lalu berlipat. Bisa kaya raya dalam sekejap seperti dalam dongeng. Dan, orang miskin sangat menyukai mimpi, karena cuma itu yang bisa dilamunkan, seperti menyukai sinetron-sinetron di televisi yang menampilkan kecantikan, kegantengan, dan kemewahan.
Namun usaha tambang tak banyak menyerap tenaga kerja, sehingga aspek eksponensial terhadap pemberantasan kemiskinan dan peningkatan kemakmuran rakyat tak sebesar pengembangan pertanian, kelautan, industri manufaktur, dan tentu saja UMKM.
Nah, karena bisnis tambang membutuhkan nyali dan kertas (kuasa untuk meraih perizinan), maka bisnis tambang adalah bisnis yang keras. Contoh paling nyata adalah konflik di Timur Tengah yang tiada henti. Konflik di Kongo maupun Ukraina. Contoh teranyar dan terdekat adalah rebutan empat pulau antara Aceh dan Sumatra Utara ataupun kerusakan di Raja Ampat. Di Pohuwato bahkan sampai membakar kantor pemerintahan. Dan kini, penambang di Bone Bolango beberapa kali mendemo DPRD menuntut konsesi lahan. Tentu, tak ada asap tanpa ada api. Karena itu, bisnis tambang membutuhkan pengamanan politik. Dan investor tambang memiliki kemampuan untuk itu.
Sedangkan petani, nelayan, dan pelaku UMKM yang jumlahnya jauh lebih besar dan menjadi pelaku kemiskinan sejati, tak memiliki kuasa untuk melakukan manuver politik. Jangankan untuk mengendalikan bupati dan gubernur atau anggota dewan, untuk melakukan demonstrasi yang efektif pun tak punya daya. Termasuk untuk menjadikan aktivis dan wartawan secara konsisten, persisten, dan ideologis untuk memperjuangkan nasib mereka.
Sedang Kawin
Thomas Hobbes menulis buku berjudul Leviathan. Dalam buku ini, pada intinya Hobbes menggagas tentang pentingnya kehadiran negara untuk menciptakan dan menjaga ketertiban. Untuk bisa melaksanakan fungsi itu, negara mengambil sebagian kebebasan individu. Ini memberi kewenangan kepada negara untuk menjaga kedamaian dan ketertiban. Karena tanpa negara maka yang terjadi adalah bellum omnium contra omnes atau perang semua melawan semua. Jika hal itu terjadi maka yang tercipta adalah hukum rimba. Manusia akan hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian. Hidup menjadi kasar dan brutal, bahkan singkat. Manusia menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus), sebuah ungkapan dari Plautus dari masa Romawi yang dipopulerkan kembali oleh Hobbes.
Tentu tak semua manusia itu buruk seperti digambarkan oleh Hobbes. John Locke misalnya menilai manusia itu seperti kertas putih yang kosong, bagai tabula rasa. Karena itu, manusia harus diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya. Namun dalam praktiknya, tentu manusia ada yang memang tabiatnya buruk, ada yang memiliki tabiat baik. Dalam buku Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty, Daron Acemoglu dan James A Robinson mencatat bahwa negara-negara yang gagal adalah karena praktik bernegaranya bersifat ekstraktif. Yaitu negara hanya dikendalikan oleh elite, yang menggunakan kekuasaan untuk mengeksploitasi rakyat. Negara yang demikian akan cenderung miskin dan stagnan. Sedangkan negara yang bersifat inklusif – yang menjamin hak milik, ada supremasi hukum, dan mendorong partisipasi luas dalam kegiatan ekonomi dan politik – akan membawa pada kemakmuran. Acemoglu dan Robinson tak hanya mencontohkan negara, tapi juga wilayah. Dengan demikian, bisa berupa negara, tapi juga bisa berupa kota atau provinsi. Untuk negara keduanya mencontohkan Korea Selatan yang makmur, dan Korea Utara yang miskin. Mereka satu bangsa, namun terpecah ke dalam dua negara. Contoh lainnya adalah kota Nogales. Satu wilayah masuk Amerika Serikat (masuk Arizona), yang satu masuk Sonora (Meksiko). Yang satu makmur, yang satu lagi miskin. Mereka adalah sama namun kemudian dipecah oleh kolonialisme dan politik global. Jadi, akibat politik yang esktraktif telah membuat Korea Utara dan Sonora menjadi miskin dan tertinggal. Situasi inilah yang kini sedang mengancam Gorontalo sejak dekade kedua tahun 2000an ini. Cita-cita kemakmuran dan kemajuan seperti diimpikan para pendiri provinsi Gorontalo bisa runtuh oleh kelancungan para elitenya.
Nah, apakah Gorontalo akan terjebak pada politik yang ekstraktif? Saat ini, kecenderungan ke arah sana mulai terlihat tanda-tandanya. Kepala daerah yang menjadi boneka investor sedang sibuk membawa ke sana ke mari investornya. Ia sibuk menjalankan agenda alite penyokongnya. Dalam bukunya, Acemoglu dan Robinson, praktik politik ekstraktif itu paling nyata pada produk legislasi dan juga pada penempatan anggaran pemerintah. Legislasi akan menguntungkan siapa dan anggaran pemerintah akan mengalir ke siapa. Inilah bahaya nyata dari politik ekstraktif.
Jika pilkada ibarat proses burung mencari pohon untuk tempat pembuatan sarang, maka setelah pohon ditentukan dan sarang dibuat, maka selanjutnya proses kawin untuk bertelur dan berbiak menetaskan sepasukan burung. Jika burung yang datang di pohon Gorontalo adalah burung kutilang, tekukur, jalak, bahkan maleo maka kita akan menyaksikan irama merdu kicauannya di langit Gorontalo atau indahnya bulu dan bentuk yang elok di tanah Gorontalo. Namun jika yang datang adalah burung hering atau burung nasar maka siapapun harus bersiap untuk dibantai dan disantapnya. Burung kanibal biasanya burung penjelajah yang selalu mencari wilayah yang empuk untuk dijadikan ladang pembantaian.
Serambi Madinah
Gorontalo adalah sebuah entitas peradaban tersendiri. Walau wilayahnya kecil dan penduduknya sedikit tapi Gorontalo adalah sebuah peradaban yang kukuh dan solid. Di sini banyak tokoh-tokoh suci dan kuburannya dikeramatkan. Para leluhurnya berhasil mensintesa beragam pengaruh dari luar – Ternate, Gowa, Melayu, Islam, Belanda – ke dalam satu tata nilai yang solid tanpa ada gegar budaya. Pengaruh Ternate dan Gowa diserap dalam struktur sosial dan politik. Saat Islam datang kali pertama melalui Ternate langsung dikodifikasi ke dalam adat, juga dalam politik. Tak heran jika kemudian Buya Hamka menjuluki Gorontalo sebagai Serambi Madinah. Islam telah menjadi satu kesatuan dengan adat istiadat – hal ini bahkan berbeda dengan di Jawa maupun Bugis. Belanda yang datang kemudian, memengaruhi nama-nama orang Gorontalo serta menyerap pendidikan modern. Dengan semua kombinasi itu lahirlah peradaban Gorontalo yang kukuh. Karena itu Gorontalo banyak menyumbang para pioneer bagi kemajuan Indonesia, sebagai the land of pioneers (baca tulisan saya sebelumnya).
Hanya saja, setelah merdeka, Gorontalo hanya menjadi satelit Manado yang membuat Gorontalo susah berkembang. Karena itu, momentum reformasi dimanfaatkan para tokohnya untuk menjadikan Gorontalo sebagai daerah otonom tersendiri. Dalam 10 tahun pertama Gorontalo melejit. Jumlah penduduk miskin berkurang drastis. Pendapatan per kapita juga naik. Namun dalam 10 tahun berikutnya terjadi distraksi akibat politik esktraktif oleh elite oligarkis. Kini, Gorontalo sedang memasuki tahap yang membahayakan jika politik boneka berhasil menancapkan kukunya.
Politik oligarkis itu jelas aktornya. Karena dia tampil sendiri dan menjadi pelakunya. Sedangkan politik boneka menyembunyikan pelaku sejatinya. Ia seperti burung nasar yang menyambar sesekali untuk melahap santapannya. Seperti Al Capone dan Escobar yang mengendalikan para pejabat di Medellin dan Chicago dari balik layar.
Kejahatan paling parah adalah kejahatan kekuasaan. Karena ia akan merusak semua sendi kehidupan. Karena itu dalam ajaran agama, bagi penguasa yang bijak balasannya adalah surga terbaik. Namun bagi penguasa khianat akan berbalas di kerak neraka. Apakah yang lainnya cuma menjadi buih? Semestinya tidak. Olongia tak akan bisa mewujudkan gagasannya tanpa ada wali-wali, jogugu, katibia, bate-bate, bobato, tuwango lipu, bahkan jika tanpa wato. Struktur kekuasaan Gorontalo di masa lalu mengajarkan tentang kesetaraan yang cukup baik. Apakah generasi abad ke-21 Gorontalo menyadari kebesaran para pendahulunya?