Rabu 09 Jul 2025 15:41 WIB

Belajar Menyebut Perasaan: Langkah Kecil untuk Mengerti Diri Sendiri

Kita tumbuh di budaya yang cepat menuntut ketenangan tapi lambat beri ruang pengakuan

Cara menghindari rasa marah (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Cara menghindari rasa marah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Suci Marini Novianty, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya (UPJ)

Suatu sore, anak saya berkata dengan nada kesal, “Aku lagi sebel banget!” Tapi saat saya tanya, “Sebelnya kenapa?”, ia hanya mengangkat bahu. Mungkin ia belum menemukan kata yang tepat untuk menjelaskan. Atau mungkin, ia sendiri belum yakin apa yang sebenarnya ia rasakan.

Momen kecil itu membuat saya berpikir cukup lama—karena sesungguhnya, hal semacam ini tidak hanya terjadi pada anak-anak. Berapa banyak dari kita, bahkan sebagai orang dewasa, yang mengalami hal serupa? Perasaan datang berjejal, tapi tak ada satu pun yang bisa kita sebut dengan jelas. Kita tahu ada yang mengganggu, tapi kita tidak tahu namanya. Lalu kita diam. Menyimpan. Mengabaikan. Mengalihkan.

Kita tumbuh dalam budaya yang cepat menuntut ketenangan, tapi lambat memberi ruang untuk pengakuan. Akibatnya, kita sering memusuhi emosi kita sendiri. 

Emosi Seharusnya Dihadapi

Emosi bukan sesuatu yang perlu disembunyikan atau dilawan. Ia bukan musuh yang datang mengacaukan hari, melainkan bagian dari sistem hidup yang sedang bekerja. Dalam psikologi, emosi dipahami sebagai bentuk adaptasi: respons tubuh dan pikiran terhadap apa yang terjadi di sekitar maupun di dalam diri. Marah bisa menjadi reaksi terhadap ketidakadilan. Sedih mungkin hadir karena kehilangan. Takut muncul saat rasa aman terganggu. Dan senang—sering kali muncul saat kita merasa diterima, diakui, atau dipahami.

Tapi dalam kehidupan sehari-hari, kita terbiasa memperkecil keberadaan emosi. Anak yang menangis sering dianggap manja. Remaja yang murung dianggap terlalu sensitif. Orang dewasa yang marah dituding kekanak-kanakan. Kita dibesarkan dalam budaya yang cepat menuntut ketenangan, tapi lambat memberi ruang untuk pengakuan. Akibatnya, banyak dari kita dewasa secara usia, tapi tertinggal dalam hal mengenali emosi sendiri. Kita tahu kapan harus tenang, tapi tidak tahu bagaimana cara menjelaskan kenapa hati terasa sesak.

Menamai Perasaan: Cara Lembut Merawat Diri

Langkah awal yang paling penting adalah ini: menyebutnya. Bukan sekadar bilang “Nggak enak hati”, tapi benar-benar mencoba mengurai dan mengucap, “Aku kecewa karena ucapanku tidak didengarkan.” Bukan sekadar berkata “Lagi bad mood”, tapi mengenali bahwa sesungguhnya, “Aku gugup karena harus tampil besok dan aku takut tidak cukup baik.”

Inilah yang disebut sebagai emotion labeling—kebiasaan menamai emosi secara spesifik dan sadar. Tidak untuk mendramatisasi, tapi justru untuk menenangkan. Psikolog Susan David menyebut bahwa “Emosi itu data, bukan arahan.” Kita tidak harus mengikuti setiap emosi, tapi kita perlu mendengarnya. Dan proses mendengar itu dimulai dari menyebutnya.

Penelitian dalam neurosains menunjukkan bahwa menyebut emosi secara jelas dapat memengaruhi cara kerja otak. Saat kita mampu memberi nama yang tepat pada emosi, bagian otak yang bertugas mengenali ancaman—amigdala—akan menurunkan aktivitasnya. Sebaliknya, korteks prefrontal—bagian otak yang mengatur logika dan pengambilan keputusan—justru menjadi lebih aktif. Hasilnya, kita jadi lebih tenang, tidak meledak, dan bisa lebih memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam diri.

 
Kita tumbuh dalam budaya yang cepat menuntut ketenangan, tapi lambat memberi ruang untuk pengakuan.

Memperkaya Kosakata dengan Roda Emosi

Untuk membantu proses ini, salah satu alat yang bisa digunakan adalah roda emosi. Di dalamnya terdapat empat emosi dasar—marah, sedih, takut, dan senang—yang kemudian bercabang menjadi bentuk-bentuk emosi yang lebih spesifik.

•    Marah → jengkel, frustasi, tersinggung, cemburu

•    Sedih → kecewa, kehilangan, merasa hampa, putus asa

•    Takut → gugup, khawatir, tidak aman, panik

•    Senang → lega, bangga, diperhatikan, bahagia

Dengan menyebut perasaan secara lebih akurat, kita tidak hanya mengenali diri sendiri, tetapi juga memberi kesempatan kepada orang lain untuk benar-benar memahami kita. Dan di sinilah emosi menjadi bukan sekadar reaksi, melainkan jembatan komunikasi.

Anak Bukan Labil, Mereka Sedang Belajar

Anak-anak dan remaja sering dilabeli "labil", “baperan”, atau “drama”. Padahal mereka bukan sedang mencari perhatian. Mereka sedang belajar. Belajar mengenali dunia luar, sekaligus menavigasi dunia dalam diri mereka yang masih asing dan terus berubah.

Di fase ini, emosi datang seperti ombak—ada yang halus, ada yang menghantam. Dan bukan karena mereka lemah, tapi karena mereka belum punya bahasa untuk menjelaskannya.

Sebagai orang tua, pendamping, atau guru, peran kita bukan memaksa mereka untuk tenang, tapi menemani mereka agar bisa menyebut perasaannya dengan utuh. Mengajarkan anak mengenali emosi bukan berarti melemahkan mereka. Justru itulah cara kita membangun ketangguhan dari dalam. Anak yang tahu ia sedang marah, tapi bisa menyampaikan tanpa menyakiti. Anak yang sedih, tapi tidak merasa harus menutupinya.

Anak yang bisa berkata, “Aku butuh waktu,” adalah anak yang tahu bagaimana menjaga dirinya sendiri. Karena kekuatan sejati bukan soal menahan air mata atau mengabaikan perasaan, tapi tentang keberanian untuk berkata jujur: “Aku tahu apa yang aku rasakan, dan aku sedang mencoba memahami itu.”

Dari Menyebut, Muncul Hubungan yang Lebih Sehat

Inilah alasan mengapa pengenalan emosi sejak dini begitu penting. Ia bukan hanya membantu anak mengatur perasaannya, tapi juga membentuk cara mereka membangun hubungan. Ketika seseorang tahu cara menyebutkan apa yang ia rasakan, ia lebih mungkin berbicara tanpa menyakiti, mendengar tanpa menghakimi, dan hadir tanpa harus selalu tahu jawabannya.

Karena komunikasi yang sehat tidak selalu dimulai dari banyak bicara. Kadang, ia bermula dari satu hal yang sangat sederhana: menyebut perasaan dengan jujur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement