REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Edius Pratama, Advokat Muslim Pusat Advokasi Hukum dan HAM Indonesia
Tahun Baru Islam 1 Muharram kembali datang. Di berbagai negara muslim didunia seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Yordania, Turki, Mesir dan negara-negara muslim di Asia Afrika serta negara muslim di belahan dunia lainnya, ummat islam berkumpul dalam majelis-majelis yang berisi kegiatan khutbah, pengajian, dzikir, dan/atau doa bersama dalam rangka merefleksi diri dan mengenang peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah tahun 622 Masehi. Peristiwa hijrah tersebut adalah sebuah langkah berani dari Rasulullah untuk membangun tatanan baru yang lebih adil dan bermartabat. Namun, di belahan bumi lain, tepatnya di Gaza, Palestina, anak-anak terus mengungsi, rumah-rumah hancur lebur, dan jumlah kematian terus bertambah. Di tengah penderitaan itu semua, organisasi negara-negara Islam, Organisation of Islamic Cooperation (OIC) atau di Indonesia dikenal dengan sebutan OKI (Organisasi Kerja Sama Islam), justru lemah tak bertaring.
Serangan berutal Israel sejak Oktober 2023 telah menjadikan Gaza, Palestina sebagai wilayah bencana kemanusiaan paling memperihatinkan di dunia. Data terakhir pada tanggal 24 Juni 2025 yang dikemukakan oleh pihak Kementerian Kesehatan Palestina, sekitar 56.077 warga Palestina telah tewas dalam serangan berutal Israel sejak Oktober 2023, sedangkan jumlah korban luka mencapai 131.848 jiwa, banyak di antaranya tak sempat mendapat perawatan medis karena rumah sakit di Gaza juga dihancurkan oleh Israel seperti rumah sakit Indonesia di Gaza Utara, Palestina.
Data luka dan kematian warga Palestina bukan hanya sekedar angka statistik. Di balik setiap angka ada wajah, ada nama, ada keluarga yang ditinggalkan. Namun, tragedi ini terus berlangsung tanpa ada perlawanan berarti dari negara-negara Islam dan/atau negara-negara dengan penduduk mayoritas islam.
OKI, organisasi negara-negara Islam terbesar yang lahir di Rabat, Maroko pada 22-25 September 1969 setelah pembakaran Masjid Al-Aqsa yang seharusnya jadi tempat mengadu dan berlindung utama bagi negara mayoritas Muslim seperti Palestina, justru hanya memberikan pernyataan-pernyataan pembelaan normatif yang tidak menghasilkan perubahan di lapangan.
Sebanyak 57 negara tergabung dalam OKI. Beberapa di antaranya seperti Arab Saudi, Maroko, Qatar, Mesir, Turki, Uni Emirat Arab, hingga Indonesia memiliki pengaruh besar, baik dari segi ekonomi, politik, maupun jumlah populasi Muslim. Namun dalam menghadapi agresi Israel yang berkepanjangan di Gaza, Palestina, tak satu pun langkah kolektif berskala besar ditempuh.
Tidak ada embargo ekonomi terhadap Israel, tidak ada pemutusan hubungan diplomatik yang solid oleh negara-negara yang tergabung di OKI. Negara-negara Muslim seperti Mesir, Yordania, Bahrain, Uni Emirat Arab, Maroko, dan Sudan sampai hari ini masih menjalin persahabatan dengan Israel, tidak ada upaya kolektif menuntut Israel di Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dan menuntut Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu ke Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) seperti yang dilakukan oleh Afrika Selatan yg justru bukan bagian dari OKI.
Sementara itu, negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan sekutunya Inggris dan Prancis terus menggunakan hak vetonya di Dewan Keamanan PBB untuk melindungi Israel dari kecaman internasional. Ini membuat jalur hukum formal “terblok”. Lalu di mana alternatif diplomasi dunia Islam? Mengapa tidak ada gerakan solidaritas politik berskala global yang lahir dari OKI?
Sebagian negara anggota OKI terus menjalin hubungan dagang seperti biasa dengan negara Israel seperti Mesir, Uni Emirat Arab, Yordania, Bahrain, Sudan dan Maroko. Bahkan negara kita Indonesia yang merupakan negara muslim terbesar di dunia, yaitu berdasarkan laporan Global Muslim Population yang diterbitkan Times of Prayer pada tahun 2022 berjumlah 244,69 juta Muslim dari total penduduk 281,2 juta jiwa ternyata juga menjalin kerjasama perdagangan dengan Israel, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) impor Indonesia dari Israel pada Oktober 2023 mencapai US$ 2.532.695. Di sinilah krisis moral itu terjadi, solidaritas terhadap Palestina hanya berhenti pada pidato dan/atau pernyataan di media.
Padahal tekanan ekonomi dapat menjadi instrumen diplomasi yang efektif. Pemutusan hubungan dagang atau pengurangan suplai energi kepada Israel dan negara yg mendukungnya bisa saja menjadi alat negosiasi politik. Tapi upaya ke sana seperti jauh dari para pemimpin negara Muslim. Mungkin karena terlalu banyak kepentingan yang saling mengikat, atau mungkin karena nyali kolektif itu memang tidak pernah ada.
Situasi semakin menyedihkan ketika wartawan dan relawan juga ikut menjadi korban. Berdasarkan data dari Committee to Protect Journalists (CPJ) pada tanggal 12 Februari 2025, sejak 7 Oktober 2023 sampai dengan 11 Februari 2025, setidaknya ada 169 jurnalis dan/atau pekerja media telah terbunuh dalam liputan di Palestina. Sebuah angka yang mencerminkan betapa jalur informasi dan kebenaran pun ikut dihancurkan. Ini bukan hanya serangan berutal terhadap warga sipil Palestina, tapi juga terhadap fakta dan saksi mata.
Sementara itu, distribusi bantuan kemanusiaan ke Palestina, khususnya jalur Gaza, saat ini amat sulit akibat blokade total yang diberlakukan oleh Israel. Penutupan jalur utama seperti Rafah dan Kerem Shalom sejak Mei 2024 telah melumpuhkan jalur distribusi logistik seperti obat-obatan dan makanan.
Selain itu, serangan militer yang terus menyasar wilayah sipil dan infrastruktur kemanusiaan memperburuk situasi, membuat badan-badan bantuan kemanusiaan internasional seperti United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA) tidak dapat menjalankan tugasnya. Akibatnya, jutaan warga Palestina terjebak dalam krisis kemanusiaan yang semakin hari semakin terpuruk tanpa diberikan akses terhadap bantuan yang sangat dibutuhkan.