
Oleh : Fathurrochman Karyadi*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Kajian, Siniar, dan Dakwah (Kiswah) episode ke-35 yang digagas oleh Soul Pesantren di Jakarta, ada perbincangan seru seputar tambang dalam sudut pandang sains dan agama. Dr. Eng. Indarta Kuncoro Aji mewakili saintis dan Ahmad Rizal ALF melihat dalam kajian fikih.
Mereka berdua, dengan latar belakang yang berbeda namun saling melengkapi, membedah persoalan ini dari berbagai sudut pandang, mulai dari sains, agama, hingga kebijakan publik, tanpa kehilangan kedalaman analisis maupun kelugasan penyampaian.
Indonesia, sebagai salah satu produsen nikel terbesar di dunia, menghadapi dilema besar. Di satu sisi, nikel adalah komoditas strategis yang dibutuhkan untuk industri baterai kendaraan listrik, stainless steel, dan berbagai produk teknologi masa depan. Namun di sisi lain, eksploitasi besar-besaran tanpa pertimbangan matang justru mengancam kelestarian lingkungan, terutama di tempat-tempat seperti Raja Ampat yang dikenal sebagai surga keanekaragaman hayati laut.
Mas Aji dengan gamblang menjelaskan bahwa meski Indonesia kaya akan nikel, pengelolaannya sering kali tidak optimal. Bahan mentah lebih banyak diekspor begitu saja tanpa diolah menjadi produk bernilai tinggi, sementara smelter-smelter yang ada hanya memproduksi nikel berkualitas rendah untuk keperluan seperti peralatan rumah tangga, bukan untuk industri baterai yang membutuhkan kemurnian tinggi.
Mas Rizal kemudian menambahkan perspektif agama dalam melihat persoalan ini. Ia mengingatkan prinsip kullu wasrabu wa la tushrifu dalam Islam, yang mengajarkan untuk memanfaatkan alam tanpa berlebihan.
"Alam boleh dimanfaatkan, tetapi harus ada pemulihan. Jika tambang merusak, harus ada rencana restorasi yang jelas," tegasnya.
Ia juga mengkritik kebijakan-kebijakan yang lebih mengutamakan keuntungan jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang, baik bagi lingkungan maupun masyarakat.