
Oleh : Setiawan Budi Utomo, Pemerhati Ekonomi Syariah dan Kebijakan Publik
REPUBLIKA.CO.ID, Indonesia kembali masuk jajaran lima besar negara dengan industri keuangan syariah paling berkembang versi Islamic Finance Development Indicator (IFDI) 2024 yang dirilis ICD dan LSEG bulan lalu. Tapi jangan dulu bertepuk tangan: posisi kita justru melorot. Skor Indonesia turun dari 95 (2022) menjadi 85 (2024), dan kini di bawah Malaysia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Ini bukan sekadar soal ranking ini alarm keras bahwa ekosistem kita perlu dilakukan transformasi dan pembenahan serius.
Penurunan skor IFDI Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor struktural. IFDI mengukur lima pilar: kuantitas, kualitas tata kelola (governance), keberlanjutan (sustainability), kinerja finansial, dan SDM. Pertama, aspek Sustainability. Skor Indonesia hanya 33, jauh dari Malaysia (128) dan Saudi (96). Ini mencerminkan lemahnya pelaporan berkelanjutan/ESG (Environmental, Social, and Governance), minimnya Sukuk ESG, rendahnya kontribusi keuangan syariah terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan minimnya keterlibatan fungsi sosial di sektor keuangan syariah.
Kedua, aspek Governance. Skor Indonesia hanya 79, kalah dari Malaysia (101) dan UAE (85). Hal itu disebabkan oleh implementasi regulasi yang belum sepenuhnya terintegrasi lintas sektor dan lebih cenderung parsial. Ketiga, aspek Financial Performance. Sementara pada kinerja finansial, dominasi perbankan syariah masih terlalu besar dibandingkan sektor keuangan syariah lainnya.
Faktor mendasar yang mendukung pelemahan keuangan syariah adalah aspek Human Capital. Banyak institusi pendidikan keuangan syariah tumbuh, tetapi kualitas SDM masih menjadi masalah besar. Mayoritas praktisi industri berasal dari latar belakang non-keuangan syariah. Berdasarkan data Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), lebih dari 80% tenaga profesional di sektor ini tidak memiliki basis pendidikan ekonomi syariah yang memadai. Kurikulum kampus terlalu normatif, minim riset aplikatif, serta kurang sinkron dengan kebutuhan industri.
Belajar dari Kompetitor
Malaysia sangat atraktif bukan hanya unggul di sisi kuantitas, tapi juga kualitas tata kelola, ekosistem, dan SDM. Kunci utamanya ada pada harmonisasi antara fatwa, regulasi, dan insentif fiskal. Malaysia memiliki Shariah Advisory Council yang terpusat di Bank Negara Malaysia (BNM) yang mengeluarkan shariah resolutions sebagai dasar dan payung operasional bagi seluruh industri jasa keuangan, smentara BNM sigap dengan kerangka regulasi adaptif, serta insentif fiskal maupun non fiskal bagi keuangan syariah.
Arab Saudi tak kalah cerdik. Mereka menjadikan keuangan syariah sebagai bagian integral dari Vision 2030, menyatu dengan pembangunan ekonomi nasional. Saudi aktif mendorong pengembangan ESG sukuk, sektor wakaf produktif, dan integrasi fintech syariah dalam sistem keuangan formal. Mirip dengan Saudi, Uni Emirat Arab dari awal mengambil posisi ambisius dengan menjadikan Dubai sebagai pusat halal hub terintegrasi dengan layanan keuangan syariah yang didukung Islamic digital finance.
Semua negara kompetitor tersebut umumnya tidak terpaku pada ‘label syariah’ dan berkutat pada nomenklatur syariah semata, tapi memastikan nilai dan kebermanfaatannya melalui produk yang inklusif dan berbasis impact investment.
Bandingkan dengan Indonesia. Kita punya potensi demografis, literasi syariah yang tinggi, dan dukungan kebijakan. Tapi potensi tak akan pernah menjadi prestasi tanpa eksekusi yang rapi, efektif dan sistemik.
KPKS: Harapan Baru untuk Harmonisasi Nasional
Sebagai bentuk pelaksanaan amanat UU P2SK Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 1 Mei 2025 akhirnya membuka babak baru dengan membentuk Komite Pengembangan Keuangan Syariah (KPKS) yang beranggotakan OJK, Dewan Syariah Nasional MUI, serta para akademisi dan pakar independen.
Inilah langkah strategis solutif menuju harmonisasi antara regulasi dan fatwa DSN-MUI, yang selama ini menjadi masalah krusial dalam percepatan industry. Pemicunya masih adanya fatwa yang lambat terimplementasi secara regulatif, atau sebaliknya, aturan yang lambat didukung kesiapan fatwa. Fragmentasi seperti inilah yang membuat inovasi produk syariah sering ‘tersandera’. Kehadiran KPKS diharapkan menjadi jembatan strategis yang mengintegrasikan kecepatan pasar, prinsip syariah, dan kepastian hukum.
Paradox Inklusi Keuangan Syariah
Yang lebih mencemaskan adalah temuan riset OJK tahun 2023: terjadi paradoks literasi dan inklusi di wilayah kantong Muslim Indonesia. Di daerah seperti Sumatera Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DIY, tingkat literasi keuangan syariah relatif tinggi. Namun ironis, tingkat inklusinya berupa penggunaan produk keuangan syariah justru sangat rendah, bahkan kalah jauh dibanding keuangan konvensional.
Penyebab utamanya ada empat faktor: 1. Produk yang kurang kompetitif dan inovatif, terutama di sektor non-bank seperti asuransi, reksadana, dan fintech. 2. Distribusi dan jangkauan layanan yang terbatas, masih terpusat di kota besar dan belum menjangkau daerah rural. 3. Edukasi belum berjalan efektif, tidak menyentuh pemahaman aplikatif dan keunggulan produk syariah dibandingkan konvensional. 4. Kurangnya orkestrasi lintas sektor, terutama antara dunia pendidikan, otoritas keuangan, dan pelaku industri.
Menjadi lima besar itu penting, tapi tidak cukup. Kita tidak sedang mengejar posisi, tapi membangun kepemimpinan. Sudah saatnya Indonesia membuat quantum leap dalam pengembangan keuangan syariah yang tak bisa ditunda lagi.
Pertama, bangun grand design ekonomi syariah nasional lintas kementerian dan lembaga, dari Kemenkeu, OJK, BI, KNEKS, Kemenkop UKM, Bappenas hingga Kemendikbud dan Kemenag. Kedua, percepat link and match antara pendidikan tinggi dengan dunia industri. Jangan biarkan kampus terus mengajarkan teori tanpa koneksi ke praktik dan inovasi pasar. Ketiga, perluas insentif fiskal dan nonfiskal untuk keuangan syariah terutama fintech syariah, ESG sukuk, dan produk-produk berdampak sosial. Keempat, transformasikan KPKS dan KNEKS bukan sekadar forum harmonisasi dan koordinasi, tapi pusat policy innovation keuangan syariah nasional.
Jika Indonesia ingin menjadi pusat ekonomi syariah dunia, maka tak cukup hanya bangga jadi pasar terbesar. Kita harus jadi produsen nilai, inovator sistem, trend setter dan pemimpin tren global.
Menembus lima besar itu penting, Tapi memimpin dunia itu panggilan. Saatnya Indonesia menjawabnya dengan visi, strategi, dan keberanian melompat, bukan sekadar berjalan santai. Kalau bukan sekarang kapan lagi.