Senin 23 Jun 2025 16:08 WIB

'Jiwa' dan Ajaran-Ajaran Luhur Soekarno yang Abadi

Soekarno mewariskan gagasan yang abadi.

Warga melihat foto arsip Bung Karno yang dipajang pada pameran buku Bung Karno di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung, Rabu (8/6/2022). Pengelola bangunan cagar budaya Gedung Indonesia Menggugat bersama sejumlah komunitas menggelar pameran buku Bung Karno bagi masyarakat untuk menambah wawasan tentang riwayat hidup, perjuangan dan ideologi bapak proklamator sekaligus presiden pertama Republik Indonesia Ir Soekarno. Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Warga melihat foto arsip Bung Karno yang dipajang pada pameran buku Bung Karno di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung, Rabu (8/6/2022). Pengelola bangunan cagar budaya Gedung Indonesia Menggugat bersama sejumlah komunitas menggelar pameran buku Bung Karno bagi masyarakat untuk menambah wawasan tentang riwayat hidup, perjuangan dan ideologi bapak proklamator sekaligus presiden pertama Republik Indonesia Ir Soekarno. Foto: Republika/Abdan Syakura

Oleh : Dr I Wayan Sudirta, SH, MH, anggota Komisi III DPR dan Anggota Badan Pengkajian MPR Fraksi PDI Perjuangan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Dalam kisah Sutasoma digambarkan bahwa para dewa seperti Brahma, Wisnu, dan Iswara sering menjelma menjadi raja-raja di dunia. Kini, di zaman Kaliyuga, Sri Jinapati (Buddha) turun ke bumi untuk meredakan kemarahan Kala.

Sutasoma—putra Raja Mahaketu dari Hastina dan keturunan Pandawa, yang juga merupakan titisan Sri Jinapati—memilih meninggalkan kehidupan istana. Ia menjadi seorang pertapa dan menjalani hidup spiritual.

Baca Juga

Suatu hari, para pertapa diganggu oleh Porusada, raja raksasa pemakan daging manusia. Mereka memohon bantuan Sutasoma untuk membunuh raksasa itu, tetapi ia menolak. Setelah mencapai kemanunggalan dengan Buddha Wairocana melalui olah spiritualnya, Sutasoma akhirnya kembali ke istana dan dinobatkan sebagai Raja Hastina.

Sementara itu, Porusada yang menderita sakit parah di kakinya, bernazar akan mempersembahkan seratus raja sebagai santapan Batara Kala jika ia sembuh. Namun, Sutasoma bersedia mengorbankan dirinya untuk disantap Kala, asalkan seratus raja itu dibebaskan. Kerelaan ini sangat menyentuh hati Kala, dan bahkan Porusada pun terharu.

Dewa Siwa, yang selama ini menitis dalam tubuh Porusada, akhirnya meninggalkan raksasa itu. Ia menyadari bahwa Sutasoma adalah Buddha sendiri.

Dari sinilah lahir filosofi: "Mangka Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa" yang berarti Hakikat Buddha dan hakikat Siwa adalah satu, berbeda dalam perwujudan luarnya (eksoteris) tetapi secara mendalam (esoteris) adalah sama. Tidak ada dualisme dalam kebenaran agama.

Istilah Pancasila yang juga ditemukan dalam karya Mpu Tantular ini, sejatinya berakar pada lima hukum moral ajaran Buddhis. Seperti yang diungkapkan, "Pancasila ya gegen den teki away lupa" yang berarti "Pancasila harus dipegang teguh jangan sampai dilupakan."Salah satu sila dari Pancasila Buddhis adalah larangan untuk membunuh sesama makhluk hidup ("Panapati vermanai sikkapadam samadiyami").

BACA JUGA: Standar Ganda Barat, Negara Muslim Pemilik Nuklir Ini Target Israel Berikutnya Setelah Iran? 

Prinsip inilah yang kiranya menjiwai kisah pengorbanan Sutasoma dan, di kemudian hari, menginspirasi pilihan moral Bung Karno untuk rela dirinya sendiri "tenggelam" demi menjaga keutuhan bangsa dan negara yang sangat dicintainya.

Spiritualitas Bung Karno

Meskipun Bung Karno mengambil inspirasi konsep nasionalisme dari pemikiran Ernest Renan, nasionalisme Indonesia sesungguhnya memiliki pijakan historis yang jauh lebih kokoh.

photo
Sang proklamator RI, Sukarno, beserta Fatmawati berbincang dengan rakyat. - (dok wiki)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement