
Oleh : Dr Ramadhan Pohan, Pengamat, Pengajar, Mantan Pimpinan Komisi I DPR RI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komunikasi adalah modal penting dalam upaya merawat demokrasi. keterbukaan informasi dan komunikasi antara pemerintah dan warga negara menjadi sebuah ikon demokrasi yang tidak bisa dilepaskan. Scott M Cutlip, dalam bukunya berjudul “Effective Public Relations” menjelaskan bahwa komunikasi politik yang persuasif antara pemerintah dengan warga negara merupakan kebutuhan mendasar untuk mendapatkan dukungan warga negara terhadap jalannya pemerintahan.
Hal yang perlu digarisbawahi dari penjelasan Cutlip di atas adalah “persuasif.” Persuasif sederhananya adalah sebuah ajakan dari komunikator kepada komunikan untuk meyakinkan orang lain. Dalam konteks ini, maka pemerintah harus mampu meyakinkan rakyatnya untuk yakin bahwa keputusan untuk memilih mereka di pemilihan umum (lalu) itu sudah benar. Pemerintah harus meyakinkan bahwa nasib negara ini, setidaknya untuk lima tahun ke depan, berada di tangan yang tepat. Itu yang seharusnya menjadi tugas dari Kantor Komunikasi Kepresidenan.
Sebagai catatan, lembaga ini dibentuk oleh Joko Widodo ketika masih menjabat menjadi presiden, lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2024 tentang pembentukan Kantor Komunikasi Presiden. Dalam peraturan tersebut, maka tugas dari kantor komunikasi presiden adalah menyelenggarakan pemberian dukungan kepada Presiden dalam melaksanakan komunikasi dan informasi kebijakan strategis dan program prioritas Presiden.
Dari tugas tersebut, sudah tepat untuk menyematkan bahwa Kantor Komunikasi Presiden adalah humasnya presiden. Ia bertanggung jawab untuk melaksanakan program komunikasi kebijakan presiden kepada masyarakat dan memberikan laporan terkait dengan isu-isu yang berkembang dari kebijakan yang diambil.
Bicara mengenai kantor kepala presiden, kabar terbaru menyatakan bahwa Hasan Nasbi sebagai kepala Kantor Komunikasi Presiden tidak jadi mengundurkan diri dari jabatannya. Masih segar dalam ingatan kita komentarnya entang terror pengiriman kepala babi ke kantor media nasional, Tempo.
Nasbi berkomentar, “"Sudah dimasak saja, dimasak saja.” Banyak yang tertegun mendengar komentar tersebut. Apalagi komentar tersebut disampaikan oleh orang nomor satu di Kepala Kantor Komunikasi orang nomor satu di Indonesia. Ada beberapa hal yang bisa disoroti dari ”drama” yang terjadi di Kantor Komunikasi Presiden Tersebut. Bukan dari drama maju mundurnya Hasan Hasbi, tapi lebih kepada konten dan konteks dari komunikasi yang disampaikan. Pertama, kemampuan membangun persuasi dari tim kantor komunikasi presiden.
Seperti yang penulis tuliskan di awal, kunci komunikasi politik pemerintahan adalah membangun persuasi. Salah satu tokoh komunikasi di Indonesia, Prof Onong Uchiana Effendy, menyebut bahwa salah satu hal penting dalam komunikasi persuasi adalah teknik integrasi. Komunikator harus mengintegrasikan dirinya ke dalam experience dan reference komunikan. Dalam kasus Tempo, Kantor Komunkasi Presiden gagal dalam membaca kondisi pikiran publik yang kemudian berdampak pada kegagalan memberikan respon. Kator Komunikasi Presiden yang seharusnya mendinginkan suasana, malah memicu perdebatan baru karena responnya yang out of the box.
Alih-alih memberikan pernyataan yang mengandung empati kepada pers, malah memberikan pernyataan yang menyulut emosi publik. Hal kedua, terkait posisi Hasan Nasbi dan juga Kantor Komunikasi Presiden. Kantor Komunikasi Presiden yang berperan sebagai humasnya presiden, jelas harus berada dalam koalisi dominan. James E.Grunig dalam bukunya Excellent Public Relations and Effective Organizations: A Study of Communication Management in Three Countries, menjelaskan bahwa humas harus masuk ke koalisi dominan agar dapat berfungsi secara efektif. Koalisi dominan berarti orang-orang yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan.
Jika dilihat dari posisnya, Kantor Komunikasi Kepresidenan sudah berada dalam koalisi dominan. Dari dasar hukum pembentukannya, sudah diamanatkan bahwa Kantor Komunikasi Presiden berada langsung di bawah presiden. Jalur koordinasinya langsung di bawah Presiden, tidak menginduk ke Kementerian apapun. Namun, yang tidak dominan justru adalah Kepala Kantor Komunikasi Presidennya.
Bukan maksud penulis untuk mendiskreditkan Hasan Nasbi sebagai individu. Tidak sama sekali. Ia sudah terbiasa dengan media massa dan wartawan. Seringnya frekuensi Nasbi tampil di media massa sejak Pilkada DKI Jakarta 2012, membuktikan pengalamannya dengan media massa. Sebelum menjadi Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi juga sudah dikenal sebagai bos lembaga survey Hasan Nasbi adalah Kepala Kantor Komunikasi Presiden semenjak zaman Presiden Joko Widodo.
Presiden Joko Widodo yang mengangkat Hasan Nasbi lewat Keputusan Presiden RI Nomor 93P Tahun 2024 Tentang Pengangkatan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan. Artinya, yang bersangkutan adalah orang yang dipercaya lekat namanya dengan Joko Widodo. Secara historis, mereka juga dekat, karena dirinya sudah membersamai Presiden Joko Widodo semenjak tahun 2012, sejak Joko Widodo berpasangan dengan Basuki Tjahya Purnama di Pilkada DKI Jakarta.
Seharusnya, Presiden Prabowo bisa lebih seksama lagi menempatkan orang-orang yang membersamainya semenjak Pemilu 2024 kemarin di dalam kabinet, termasuk mengelaborasi pemain lama era Joko Widodo yang masih dirasa punya kompetensi untuk masuk ke dalam kabinet. Di posisi Kantor Komunikasi Presiden, seharusnya Presiden Prabowo menempatkan orang kepercayaannya, individu yang selalu ada di dekatnya selama 24 jam untuk bisa menyerap pemikiran, visi, dan pesan dari Presiden. Pengalaman penulis di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dulu juga demikian.
Saat itu, Andi Alifian Malaranggeng yang bertugas sebagai Juru Bicara Presiden adalah orang yang dekat dengan SBY, begitu juga dengan tim yang menyertainya. Seluruh pernyataan jubir presiden berasal dari presiden dan tidak mungkin jubir mengeluarkan pernyataan tanpa persetujuan dan sepengetahuan Presiden. Tidak ada itu namanya improvisasi Sang Jubir atau mengada-adakan yang tidak ada.
Jubir Mallarangeng kala itu sangat memahami Presiden, bahkan gesture nya sekalipun. Harus begitu memang. Maka dari itu, harusnya lebih baik jika Hasan Nasbi bijak meninjau kembali posisi dari jabatannya yang tak pas menjadi jubir Presiden, yang tidak dekat dengannya. Mungkin beliau lupa, bahwa saat ini Presiden sudah berganti dan gaya komunikasi presiden sekarang tentu berbeda dengan presiden pendahulunya. Satu lagi, Posisinya adalah Kepala Kantor Komunikasi Presiden, bukan Kantor Komunikasi Mantan Presiden. Ouch...