Senin 09 Jun 2025 23:44 WIB

HIPMI 53 Tahun: Saatnya Wirausaha Jadi Arus Utama Pembangunan Nasional

Indonesia tengah berada dalam momen krusial yang menentukan arah ekonomi ke depan.

Dr. Anggawira, Sekretaris Jenderal BPP HIPMI
Foto: Dok Istimewa
Dr. Anggawira, Sekretaris Jenderal BPP HIPMI

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Anggawira, Sekretaris Jenderal BPP HIPMI

Tanggal 10 Juni 2025 merupakan tonggak bersejarah bagi dunia kewirausahaan nasional. Pemerintah telah menetapkan hari lahir Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) sebagai Hari Kewirausahaan Nasional. Penetapan ini bukan sekadar simbolis, melainkan bentuk penghormatan negara terhadap kontribusi HIPMI selama 53 tahun dalam membentuk ekosistem pengusaha nasionalis, tangguh, dan berjiwa Pancasila.

Namun, peringatan ini juga menjadi panggilan sejarah. Indonesia tengah berada dalam momen krusial yang menentukan arah ekonomi ke depan—bonus demografi, transformasi industri, dan tantangan sistem demokrasi liberal yang semakin transaksional. HIPMI sebagai organisasi pengusaha muda terbesar di Indonesia, memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi penggerak utama solusi.

Tantangan Bonus Demografi dan Ketimpangan Kewirausahaan

Indonesia akan memasuki puncak bonus demografi pada 2030, dengan lebih dari 191 juta penduduk usia produktif pada 2025. Sayangnya, angka kewirausahaan nasional masih rendah—baru sekitar 3,47 persen dari total populasi, menurut data BPS 2024. Bandingkan dengan Malaysia (4,74 persen) atau Thailand (4,5 persen).

Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka per Februari 2025 masih sebesar 4,76 persen atau sekitar 7,28 juta orang. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang stabil tidak cukup. Kita butuh pertumbuhan yang berkualitas—yang membuka lapangan kerja, mendorong mobilitas sosial, dan memperluas basis pajak.

HIPMI menilai peningkatan rasio wirausaha minimal menjadi 5 persen pada 2030 adalah keharusan strategis. Ini akan membuka ruang penciptaan 5–10 juta pekerjaan baru, sekaligus mengurangi ketergantungan pada penyerapan kerja oleh sektor publik.

Usulan: Kredit Usaha Menengah (KUM) untuk Naik Kelas ke Industri

Dalam konteks inilah, HIPMI mengusulkan peluncuran program Kredit Usaha Menengah (KUM) sebagai skema pembiayaan transisi bagi UKM yang ingin masuk ke sektor industri bernilai tambah. KUM dirancang untuk:

 • Memberi pembiayaan Rp 500 juta hingga Rp 5 miliar bagi usaha mikro dan kecil di sektor agroindustri, peternakan, perikanan, dan pengolahan pangan.

 • Menyediakan tenor panjang (7–10 tahun), bunga ringan, dan insentif fiskal bagi pelaku usaha yang menyerap tenaga kerja dan meningkatkan ekspor.

 • Terintegrasi dengan pelatihan teknologi industri dan pendampingan akses pasar, termasuk kemitraan dengan BUMN dan swasta besar.

Program ini bertujuan mendorong pengusaha kecil naik kelas secara struktural, dari sekadar berdagang atau produksi primer menjadi pelaku industri olahan dan manufaktur yang berdaya saing tinggi. Apresiasi Program Swasembada, Perluas ke Hilirisasi Agroindustri

Kami mengapresiasi langkah pemerintah dalam mengembalikan swasembada beras, serta penguatan sektor pangan dan energi rakyat. 

Namun keberhasilan ini perlu segera diperluas ke swasembada nilai tambah, terutama di sektor:

 • Agroindustri (pangan olahan, herbal, tepung lokal),

 • Peternakan (pengolahan susu, daging, pakan mandiri),

 • Perikanan (ikan olahan, tepung ikan, logistik dingin).

Perkuat Industri Baja: Ibu dari Semua Industri

HIPMI juga menyerukan perhatian khusus kepada sektor baja nasional. Industri baja bukan sekadar komoditas, tetapi fondasi dari seluruh pembangunan ekonomi. Sudah waktunya kita perkuat industri baja nasional sebagai mother of industry, sebagaimana pernah dicetuskan Bung Karno dan Prof. Sumitro Djojohadikusumo saat mendirikan Krakatau Steel sebagai simbol kemandirian ekonomi Indonesia.

Langkah strategis yang perlu dilakukan:

 • Reformasi tata niaga baja dan pengendalian impor dumping.

 • Insentif fiskal untuk investasi hilirisasi baja.

 • Preferensi TKDN untuk proyek strategis nasional.

Demokrasi Butuh Reformasi: Produktif, Bukan Transaksional

HIPMI menilai demokrasi kita terlalu liberal secara prosedural, namun miskin institusi. Biaya politik mahal dan lemahnya kaderisasi partai membuat demokrasi rentan dikendalikan kekuatan uang.

HIPMI mengusulkan:

 1. Penyederhanaan UU Partai Politik dan Pemilu.

 2. Transparansi pendanaan politik.

 3. Penguatan kaderisasi berbasis profesionalisme.

Peringatan 53 tahun HIPMI dan Hari Kewirausahaan Nasional adalah momentum strategis. Indonesia memiliki semua modal untuk menjadi kekuatan ekonomi baru dunia—demografi, SDA, dan pasar domestik. Namun itu hanya akan terwujud jika wirausaha menjadi arus utama pembangunan, demokrasi produktif, dan industri kita dibangun dengan visi panjang.

Selamat Hari Kewirausahaan Nasional dan Dirgahayu HIPMI ke-53. Mari tumbuh bersama, berjuang bersama, dan menang bersama—untuk Indonesia Emas 2045.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement