Senin 02 Jun 2025 21:19 WIB

Kesadaran Lingkungan dari Meja Makan hingga Meja Kebijakan

Kesadaran lingkungan diperlukan untuk keberlanjutan.

Pengajian online Kiswah.
Foto: Erdy Nasrul/Republika
Pengajian online Kiswah.

Oleh : Fathurrochman Karyadi*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suara Ranitya Nurlita terdengar tegas saat bercerita tentang penyelamannya di Raja Ampat. "Saya mengambil sepatu yang tersangkut di karang. Saya sadar bahwa sampah kita sedang membunuh bumi secara perlahan."

Aktivis lingkungan yang akrab disapa Lita ini bukan sekadar bicara teori. Sejak 2010, ia bergerak dari pendampingan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) hijau di United Nations Environment Programme (UNEP) hingga mendirikan yayasan pengelola sampah Waste Hub di Jakarta dan Bali.

Baca Juga

Dalam Kajian, Siniar, dan Dakwah (Kiswah) episode ke-30, Lita membeberkan paradoks memilukan, Indonesia punya 343 TPA dengan sistem open dumping, fatwa MUI tentang lingkungan terbit 2014, tapi spanduk "Dilarang Buang Sampah" justru dikelilingi tumpukan plastik. "Kita terjebak mental kumpul-angkut-buang," ujarnya. Padahal, solusinya sederhana: mulai dari memilah sampah rumah tangga.

Di ruang kerjanya yang minimalis, Lita memberlakukan tiga tong sampah: organik (untuk kompos), daur ulang (dibawa ke bank sampah), dan residu (hanya 10% yang dibuang). "Ini implementasi hifdzul bi'ah dalam fikih," tambah Ahmad Rizal, yang mengingatkan QS. Ar-Rum: 41 tentang kerusakan lingkungan akibat ulah manusia. Lita menekankan, "Agama mengajarkan kita menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi, bukan perusak."

Ia menceritakan pengalaman mendampingi desa di Bali dengan 2.200 KK. "Kami door-to-door mengajak warga memilah. Hasilnya? Sampah residu turun drastis." Tapi tantangan terbesar justru datang dari pejabat. "Saat kami usulkan retribusi sampah, mereka menolak karena takut tak dipilih di tahun politik."

Kearifan Lokal

Berbicara soal Lingkungan hidup, tak hanya bicara kebijakan tapi juga kembali ke kearifan lokal. Dahulu nenek moyang kita membungkus makanan pakai daun pisang, sekarang bergantung plastik. Bagi kaum perempuan pun, pembalut pakai kain yang bisa dicuci kembali.

Dalam tataran keluarga, kita bisa menerapkan gaya hidup rendah sampah dengan misalnya, sisa makanan jadi kompos, belanja pakai wadah sendiri, prioritaskan angkutan umum untuk kurangi emisi, minyak jelantah bisa diolah jadi sabun pel, dan lain sebagainya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement