Selasa 20 May 2025 13:16 WIB

Tersangka Korupsi Sakit Stroke, Parkinson, atau Gagal Ginjal, Apakah Bisa Lepas dari Pengadilan?

Msyarakat tampaknya skeptis dengan alasan sakit tersangka yang diajukan pengacara.

Pengadilan (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pengadilan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Zubairi Djoerban dan Agus Purwadianto, Ketua dan Wakil Ketua Tim Second Opinion IDI-KPK, Guru Besar FKUI

Cukup sering kita membaca di media tentang tersangka suatu kasus kejahatan —kebanyakan kasus korupsi—yang mendadak sakit ketika akan diajukan ke pengadilan. Mengamati respon di media sosial, masyarakat tampaknya skeptis dengan alasan sakit yang diajukan tim pengacara.

Masyarakat berpendapat itu adalah akal-akalan pengacara untuk buying time, mengulur waktu, guna menyusun strategi menghadapi pertanyaan tim penyidik dan jaksa penuntut. Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan apa sebenarnya yang disebut “fit for trial dan unfit for trial”, dan bagaimana pengadilan menentukan apakah seorang tersangka cukup sehat atau tidak untuk disidang.

Sudah banyak referensi mengenai definisi dan batasan-batasan “fit for trial” ini. Banyak Negara mempunyai UU Disabilitas yang melindungi hak tersangka dari pengadilan, bila yang bersangkutan sakit berat, dengan disabilitas tertentu. Salah satu yang memudahkan pemahaman berasal dari Schizophrenia Society of Ontario (www.schizophrenia.on.ca/getattachment/Resources/Educational-Resources/Printable-Resources/3-Fitness-to-Stand-Trial-FINAL-EN.pdf.aspx). Disebutkan dalam artikel itu bahwa seseorang yang diduga melakukan tindak kejahatan mungkin saja urung atau ditunda diajukan ke pengadilan jika secara medis dinyatakan tidak mampu atau punya masalah kesehatan yang serius.

Kanada adalah salah satu negara yang sudah sangat maju dalam mengatur peran medis dalam lingkup pengadilan. Criminal Code of Canada, misalnya, sudah menyebutkan bahwa ada tiga kondisi yang jika satu saja terpenuhi menjadikan seseorang dikategorikan tidak mampu secara mental untuk mengikuti jalannya persidangan. Ketiga kondisi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Tidak mampu memahami – termasuk menyatakan keberatan – terhadap tuntutan yang diajukan terhadapnya; tidak mengenali orang-orang yang hadir di ruang sidang seperti hakim, jaksa penuntut, juri, dan pengacaranya sendiri; dan juga tidak tahu mengapa mereka berada di ruang (sidang) tersebut. Misalnya orang dengan sakit jiwa schizophrenia yang berat.

b. Tidak memahami konsekuensi dari tuntutan yang dikenakan kepada mereka. Termasuk di dalamnya tidak paham apa yang dituduhkan, tidak paham hak untuk mengajukan pembelaan, dan tidak paham apa yang akan terjadi jika pengadilan memutus mereka bersalah. Juga tidak memahami apa konsekuensinya jika mereka menutupi kebenaran. Contohnya orang dengan penyakit Parkinson stadium lanjut.

c. Tidak mampu berkomunikasi dengan tim pengacaranya. Dengan kata lain, tidak bisa berpartisipasi dalam menyusun argumen pembelaan, atau menjelaskan kepada pengacaranya perspektifnya sebagai tertuduh, serta langkah apa yang ingin diambil berkenaan dengan tuduhan tersebut. Contoh orang dengan stroke berat dengan kelumpuhan setengah badan yang disertai aphasia sensorik/motoric yang berat.

Sekarang kita lihat apa yang sering terjadi di lapangan. Kita ambil contoh kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketika KPK akan melakukan investigasi terhadap seseorang, baik sudah berstatus tersangka atau masih saksi, lazimnya yang bersangkutan akan meminta bantuan hukum dari pengacara.

Sering terjadi, pengacara akan menyatakan ke KPK bahwa kliennya sakit: diabetes mellitus (DM), hipertensi, sakit jantung, sakit ginjal, dan sebagainya. Pengacara akan melampirkan surat keterangan dokter praktisi dan karena itu secara hukum klien mempunyai hak untuk tidak diperiksa. Menghadapi situasi ini penyidik KPK yang berlatar belakang non-medis akan “bingung”. Bahkan dokter pegawai KPK sekali pun “kalah awu” dari dokter spesialis dan konsultan yang ditunjuk pengacara atau pasiennya.

Selalu ada dilemma: bagaimana jika sampai “terjadi apa-apa” di ruang sidang nanti? Misalnya pasien mendadak kolaps karena penyakitnya, atau malah lebih dari itu. Bukankah hak pasien dengan disabilitas berat  itu memang diobati, bukan disidang? Kira-kira seperti itu kebingungan penyidik atau jaksa menghadapi surat sakit tersebut.

Untuk itu KPK sejak belasan tahun lalu meminta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyusun tim Second Opinion KPK-IDI. Disebut Tim Second Opinion karena tugas utamanya adalah memberikan pendapat banding dari diagnosis yang dibuat oleh dokter pribadi —yang ditetapkan oleh pengacara— tersangka. Sebelum membahas lebih jauh, kita perlu pahami perbedaan peran dari dokter. Dokter yang bertugas mengobati pasien biasa disebut “treating doctors”. Sementara dokter tim Second Opinion —yang komposisinya ditentukan oleh KPK dan IDI-- disebut “assessing doctors”. Jadi tugasnya adalah melakukan asesmen dan penilaian, tidak mengobati.

Selama 13 tahun penulis dipercaya sebagai ketua Tim Second Opinion KPK-IDI dan sebagai wakil ketuanya adalah Prof DR Agus Purwadianto SH.

Kami Tim Second Opinion lalu menyusun tim dengan anggota para spesialis yang terkait dengan penyakit tersangka. Tetapi yang pasti di dalam tim ini selalu ada psikiater dan neurolog (ahli neuro-behaviour).

Untuk diketahui, tim Second Opinion atau tim assessing doctors dibentuk berdasarkan diagnosis yang ditetapkan oleh tim treating doctors yang mengobati pasien. Jika ditemukan masalahnya di jantung misalnya, maka yang ditunjuk oleh tim Second Opinion adalah spesialis jantung. Jadi tidak asal tunjuk atau berdasarkan kesediaan seorang dokter. Profesionalisme tetap harus dijaga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement