Jumat 23 Feb 2018 12:07 WIB

Dalih Sakit Menghindari Pengadilan, Mungkinkah?

Alasan sakit sering menjadi pembenaran untuk hindari pengadilan.

Tersangka ditahan polisi.   (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Tersangka ditahan polisi. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Zubairi Djoerban dan Agus Purwadianto, Ketua dan Wakil Ketua Tim Second Opinion IDI-KPK, Guru Besar FKUI

Cukup sering kita baca di media tentang tersangka korupsi, yang mendadak sakit ketika akan diajukan ke pengadilan. Pada beberapa kasus terakhir, ketika masyarakat sudah “gemas”, yang terjadi adalah masyarakat tidak percaya dengan alasan sakit yang diajukan tim pengacara.

Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan apa sebenarnya yang disebut “fit (unfit) for trial”, dan bagaimana pengadilan menentukan apakah seseorang cukup sehat atau tidak untuk di investigasi untuk disidang. Referensi mengenai definisi dan batasan “fit for trial” ini antara lain bisa didapatkan dari Schizophrenia Society of Ontario, Kanada.

Kanada memang salah satu negara yang sudah sangat maju dalam mengatur peran medis di lingkup pengadilan. Criminal Code of Canada, misalnya, sudah menyebutkan bahwa ada tiga kondisi yang jika satu saja terpenuhi menjadikan seseorang dikategorikan tidak mampu untuk mengikuti jalannya persidangan, yaitu (1) Tidak mampu memahami apalagi menyatakan keberatan terhadap tuntutan yang diajukan terhadapnya; tidak mengenali orang-orang yang hadir di ruang sidang seperti hakim, jaksa penuntut, juri, dan pengacaranya sendiri; dan juga tidak tahu mengapa berada di ruang sidang tersebut.

(2) Tidak memahami konsekuensi dari tuntutan yang dikenakan kepada mereka. Termasuk di dalamnya tidak paham apa yang dituduhkan, tidak paham hak untuk mengajukan pembelaan, tidak paham artinya jika pengadilan memutus bersalah, atau apa konsekuensinya jika menutupi kebenaran.

(3) Tidak mampu berkomunikasi dengan tim pengacaranya. Dengan kata lain, tidak bisa berpartisipasi dalam menyusun argumen pembelaan, atau menjelaskan kepada pengacaranya perspekif serta langkah apa yang mereka ingin ambil berkenaan dengan kasusnya tersebut.

Sekarang kita lihat apa yang biasa, dan sering, terjadi dalam praktik medikolegal sejauh yang penulis lihat dan alami selama ini. Kita ambil contoh kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan lembaga penegak hukum pelopor diterapkannya ajaran “fit to stand trial”menggunakan dokumen atau keterangan dokter sebagai ahli.

Ketika KPK akan melakukan investigasi terhadap seseorang, baik sudah berstatus tersangka atau masih saksi, lazimnya ia akan meminta bantuan hukum dari pengacara. Sering terjadi pengacara akan menyatakan ke KPK bahwa kliennya sakit. Misalnya, sakit diabetes, hipertensi, jantung, ginjal, dan sebagainya. Secara hukum klien mempunyai hakuntuk tidak menjalani proses hukum karena sakit. Apalagi bila yang bersangkutan dirawat di rumah sakit.

Menghadapi situasi ini penyidik KPK yang berlatar belakang non-medisakan bingung. Bahkan dokter pegawai KPK sekali pun “kalah angin” dari dokter spesialis dan konsultan yang ditunjuk pengacara. Dalih sakitnya berlanjut. Bagaimana jika sampai “terjadi apa-apa” di ruang sidang nanti?

Karena itu KPK meminta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyusun tim Second Opinion. Kerjasama KPK-IDI ini sudah berjalan lebih dari 6 tahun. Disebut Tim Second Opinion karena tugas utama tim ini adalah memberikan pendapat banding dari diagnosis yang dibuat oleh dokter atau tim dokter pribadi terdakwa.

Treating Doctors dan Assessing Doctors

Di sini kita melihat perbedaan peran dari dokter. Tim dokter yang tugasnya mengobati pasien biasa disebut treating doctors. Sederhananya dokter praktik yang dikenal masyarakat. Salah satu kewenangannya adalah menentukan sakit pasien,termasuk pasien yang memiliki masalah hukum, melalui penerbitan surat keterangan medis.

Tim Second Opinion yang komposisinya ditentukan oleh IDI memenuhi permintaan KPK atau instansi penegak hukum lainnya disebut assessing doctors.  Tugas dan kewenangannya adalah melakukan asesmen atau penilaian medis untuk kepentingan hukum, atau disebut kewenangan medikolegal, dan tidak mengobati. 

Dalam praktiknya, Tim Second Opinion menyusun keanggotaan tim (yang susunannya berbeda di setiap kasus) dengan merekrut para spesialis yang relevan dengan diagnosis penyakit terdakwa.

Mengingat yang dinilai disabilitas-medik secara fisik dan mental untuk kemampuan pertanggungjawaban hukum, hampir pasti di dalam tim selalu ada spesialis forensik dan medikolegal, ahli penyakit dalam, psikiater dan atau neurolog (ahli neuro-behaviour). Secara bersama-sama, tim Second Opinion ini akan memeriksa kesehatan terdakwa.

Untuk diketahui, susunan timassessing doctorsatau tim Second Opinion selain berdasarkan diagnosis yang ditetapkan oleh tim treating doctors, juga memperhatikan kesetaraan keahlian medis atau jenis spesialisasi dokter yang mengobati pasien. Jika ditemukan masalahnya di jantung, maka yang ditunjuk adalah spesialis jantung. Atau ginjal, paru, dan sebagainya.

Jadi tidak asal tunjuk. Profesionalisme tetap harus dijaga. Untuk menghindari konflik kepentingan, dokter yang pernah mengobati atau sedang mengobati, atau diduga kemudian akan mengobati terdakwa, tidak boleh menjadi anggota Tim Second Opinion IDI.Biasanya pemeriksaan dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo sebagai rumah sakit rujukan tertinggi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement