REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Nasihin Masha, Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Bangsa
Ada sunggingan kecil di sudut mulut. Ada senyum kecut. Ada rasa geli. Namun di dasar hati ada rasa pedih dan sakit. Namun juga, ada rasa biasa, lazim, dan mengakuinya. Itulah saat mengucap kalimat ini: “Kita sudah lama jadi orang Indonesia….” Kata-kata itu diucapkan beberapa kali oleh Presiden Prabowo Subianto.
Presiden menyampaikan hal itu saat berbicara dalam Sarasehan Ekonomi pada 8 April 2025. Acara itu dihadiri para ekonom, pelaku usaha, dan perwakilan asosiasi pengusaha. Hadir pula para menteri. Acara dimulai dengan presentasi para menteri dan pejabat terkait tentang program pemerintah dan situasi ekonomi. Lalu dilanjutkan dengan tanya-jawab. Nah, Presiden menanggapi pernyataan maupun pertanyaan dari peserta. Acara berlangsung hingga empat jam dan disiarkan secara live di Youtube. Jadi siapapun bisa menyaksikan dan tetap terpasang di kanal Youtube Sekretariat Presiden.
Acara ini semacam jawaban terhadap apa yang disebut sebagai kekacauan komunikasi publik pemerintah, karena dalam waktu berdekatan, Presiden juga diwawancara oleh enam pemimpin redaksi secara bersamaan dan bebas bertanya apa saja tanpa sensor. Upaya terbuka dan berani ini patut diapresiasi, setelah 10 tahun kita disuguhi panggung yang sangat terkendali.
Presiden menyampaikan semua pikirannya apa adanya, termasuk perasaannya yang terdalam. Nah, salah satunya adalah keluar kalimat, “Kita sudah lama jadi orang Indonesia.…” Kalimat ini seolah biasa saja. Pers pun tak menjadikan itu sebagai “sesuatu”, publik pun sama. Memang pers menjadikan kalimat itu sebagai quote, tapi bukan sesuatu yang untuk diulas.
Bagi Presiden, kalimat itu juga bukan hal baru, tapi sudah diucapkan di tempat lain. Setidaknya hal itu bisa dilihat saat ia memberikan pidato pengantar pada sidang kabinet, Rabu, 22 Januari 2025. Sehingga bagi para menteri pun itu hal biasa pula. Namun pengucapan yang berulang oleh Presiden menunjukkan bahwa ia serius tentang hal itu.
Saat mengucapkan kalimat tersebut di sidang kabinet, ia mendahuluinya dengan menjelaskan bahwa mungkin baru kali ini ada Presiden yang mengecek anggaran hingga satuan kesembilan. Menurutnya, bisa jadi para menteri pun tidak tahu anggaran di satuan tingkat kesembilan. Konteks penjelasan presiden adalah tentang efisiensi anggaran dan kriteria dalam penyusunan anggaran. Soal efisiensi, semua sudah tahu bahwa Prabowo mengkorting semua anggaran yang dinilai tidak perlu, seperti perjalanan dinas, upacara perayaan, studi banding, dan seterusnya.
Nah, tentang kriteria penyusunan anggaran, ia fokus untuk mencapai empat hal: penciptaan lapangan kerja, produktivitas, swasembada pangan dan energi, dan ada terobosan teknologi. Maka pengecekan satuan anggaran hingga tingkat kesembilan adalah untuk memastikan bahwa anggaran akan tepat sasaran. Mengapa harus dicek hingga tingkat kesembilan? Karena, “kita sudah lama jadi orang Indonesia….”
Saat berbicara dalam Sarasehan Ekonomi, ia menjelaskan akan menghapus sistem kuota impor. Karena menurutnya, kuota impor hanya membatasi importir. Ujungnya adalah menunjuk siapa saja yang boleh melakukan impor. Dengan menghapus sistem kuota impor maka siapa saja boleh melakukan impor. Selain itu, impor apapun dibolehkan. Bebas. Menurutnya, biarkan rakyat yang menentukan, karena rakyat pandai untuk memilih produk apa dan produk siapa yang akan dibeli. Dengan demikian, tidak ada lagi penunjukan siapa yang boleh menjadi importir. “Enak aja…iya kan?... Udahlah… Kita sudah lama jadi orang Indonesia. Jangan pake praktek-praktek itu lagi ya,” katanya.
Masih terkait dengan kebebasan melakukan impor apa saja dan oleh siapa saja, Presiden kemudian berbicara tentang kemudahan berusaha. Menurutnya, pengusaha itu menciptakan lapangan kerja dan menjadi pelaku yang ada di depan. “Dia boleh cari untung, ga masalah. Tapi juga bayar pajak yang bener, jangan pelihara dua sampai tiga buku. Saya sudah lama jadi orang Indonesia,” katanya.
Jadi, setidaknya ada tiga contoh konteks maksud Presiden menyampaikan tentang kalimat “kita sudah lama jadi orang Indonesia”. Pertama, tentang kongkalikong dalam penyusunan anggaran. Tentu hasilnya menjadi tidak tepat sasaran, dan yang utama adalah menjadi sumber korupsi. Anggaran bisa habis untuk hal-hal yang tak jelas, anggaran diperuntukkan bagi proyek yang menguntungkan pihak-pihak tertentu, maupun anggaran hanya untuk memperkaya diri.
Kedua, administrasi publik, dalam hal ini kuasa penyelenggara negara dalam proses administratif, digunakan untuk jual-beli kebijakan: menguntungkan yang bayar dan menyingkirkan yang jujur atau yang kalah kuasa materi maupun kuasa politik. Ketiga, perilaku culas pengusaha untuk menyiasati nilai pajak dengan memiliki lebih dari satu pembukuan keuangan perusahaan. Biasanya ada buku untuk diri sendiri, ada buku untuk investor, dan ada buku untuk laporan pajak.
Untuk sementara, sebagai disclaimer, kita singkirkan dulu soal setuju atau tidak setuju dengan salah satu contohnya, yaitu soal bebas impor apa saja. Maka, kalimat Presiden Prabowo ini mengingatkan pada frasa Adam Malik, saat itu wakil presiden, yang sangat terkenal: “Semua bisa diatur”. Atau juga kalimat umum “Tau sama tau” alias “TST”. Semuanya merujuk pada makna yang sama.
Ya, sejarah kebobrokan penyelenggaraan negara Indonesia memang sudah demikian panjang. Adam Malik menjadi wakil presiden pada 1978-1983. Artinya sudah 47 tahun jika kita ambil dari tahun 1978. Namun di masa Iskaq Tjokrohadisurjo menjadi menteri, sekitar tahun 1953-1955, dikenal istilah Lisensi Iskaq. Dengan mengeluarkan lisensi tersebut maka seseorang bisa berbisnis atau mengimpor sesuatu. Dari situlah muncul kongkalikong. Pada 1958, Iskaq diajukan ke pengadilan atas tuduhan korupsi. Inilah kasus korupsi pertama yang berhasil disidangkan setelah Indonesia merdeka. Jika dihitung dari tahun 1958 maka sudah terjadi sejak 67 tahun lalu.
Isu korupsi itu sendiri sudah muncul sejak sebelum pemilu 1955. Saat itu hampir saja, jika tidak ada intervensi dari kekuasaan, Roeslan Abdulgani akan ditangkap. Pak Nas, Jenderal Abdul Haris Nasution, juga pernah melakukan Operasi Budhi pada 1963 untuk memberantas korupsi. Pada 1970, pemerintah Orde Baru membentuk Komite Empat yang dipimpin Bung Hatta dan Pak Wilopo untuk memberantas korupsi. Puncaknya adalah runtuhnya Orde Baru dengan isu utama KKN, yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme. Lahirnya reformasi bukannya menyusutkan KKN, tapi justru membuat KKN makin merata dari barat hingga timur, dari atas hingga bawah dan volume pun meraksasa. Karena itu, kalimat Presiden Prabowo “kita sudah lama jadi orang Indonesia” memiliki makna yang sangat kuat.
Manusia Indonesia
Untuk bisa memaknai kalimat Prabowo tersebut maka kita perlu menelisik tentang gagasan manusia Indonesia. Setidaknya ada dua pemikir Indonesia yang mengkonsep siapa manusia Indonesia secara konkret. Pertama adalah Koentjaraningrat, seorang antropolog, peneliti yang tekun, dan akademisi yang dedikatif. Ia telah menulis sejumlah buku akademis berdasarkan risetnya tentang hampir semua suku di Indonesia. Namun gagasannya tentang manusia kontemporer Indonesia ia tulis dalam tulisan ringkasnya yang berjudul Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Kedua adalah Mochtar Lubis, seorang sastrawan, wartawan, dan budayawan. Ia mengemukakan gagasannya dalam sebuah pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki. Pidatonya kemudian dibukukan, yang tebal bukunya hampir sama dengan buku Koentjaraningrat tersebut. Judul bukunya adalah Manusia Indonesia; Sebuah Pertanggungjawaban.
Koentjaraningrat menulis bahwa sikap mental manusia Indonesia adalah: 1. Tidak percaya diri. 2. Segan dan menghindari konflik terbuka. 3. Budaya asal bapak senang. 4. Kurang berorientasi waktu. 5. Feodalistik. 6. Cenderung menyalahgunakan kekuasaan dan jabatan. Sedangkan Mochtar lubis mencatat sifat manusia Indonesia: 1. Munafik. 2. Enggan bertanggung jawab. 3. Feodal. 4. Percaya takhayul. 5. Lemah karakter dan disiplin. 6. Artistik.
Tan Malaka, seorang pemikir dan pejuang Indonesia, mencatat manusia Indonesia berpikir mistis dan percaya takhayul serta berbudaya feodal. Semua itu adalah bentuk kritik terhadap ciri manusia Indonesia. Sedangkan hal-hal baiknya, Mochtar Lubis menyebutkan bahwa manusia Indonesia berjiwa seni. Sukarno menyebutkan bahwa manusia Indonesia itu berjiwa gotong royong dan religius. Soeharto menyatakan bahwa manusia Indonesia menyukai harmoni, bertenggang rasa, dan mencari keselarasan.
Untuk mengubah ciri-ciri negatif dan menjadi manusia modern, Koetjaraningrat menyatakan harus ada transformasi budaya melalui pendidikan dan pembangunan. Mochtar Lubis mencontohkan dengan sikap-sikap terbuka, rasional, dan setara. Sutan Takdir Alisyahbana (STA) bahkan secara ekstrem menyatakan agar Indonesia harus di-baratkan sama sekali. Tan Malaka dengan tegas menyatakan harus bersikap material, logis-rasional, dan memiliki kesadaran kelas alias ada dialektika. Sukarno mengajarkan tentang jiwa merdeka dan revolusioner. Sedangkan Soeharto mengajukan konsep manusia Indonesia seutuhnya.
Namun ternyata, hingga kini, manusia Indonesia tetap terjebak pada sikap mental seperti yang dikemukakan Koentjaraningrat dan Mochtar Lubis. Yang diringkas dalam kalimat sederhana Presiden Prabowo, “Kita sudah lama jadi orang Indonesia”. Semuanya bisa diatur, kata Si Bung Adam Malik. Tentu hal ini sangat menyedihkan. Kita belum beranjak ke mana-mana. Perdebatan Polemik Kebudayaan pada 1935 yang diawali tulisan STA hingga kini belum bisa ditemukan solusinya. Kita masih berada di pusaran yang sama.
Sukarno, dalam berbagai pidatonya, selalu menyalahkan penjajahan sebagai faktornya. 350 tahun penjajahan mengakibatkan gerak laju peradaban Indonesia terdistraksi dan terdistorsi. Soal ini tentu kita bisa berdebat panjang; setuju atau menolak. Buku Jared Diamond yang berjudul The World Until Yesterday mengajarkan bahwa ada peradaban yang tetap tertinggal karena tak berinteraksi dengan dunia luar.
Namun Sukarno juga tidak salah. Sebelum ada penjajahan, masyarakat Nusantara telah mampu mencapai kemajuan seperti ditunjukkan oleh Sriwijaya dan Majapahit. Namun tentu kemajuan tersebut masih tetap jauh tertinggal dibandingkan dengan peradaban-peradaban kuno seperti Mesir, India, Tiongkok, Mesopotamia, Yunani, Persia, Romawi. Juga jika dibandingkan dengan peradaban abad pertengahan seperti Turki-Usmani, Prusia, dan lain-lain. Apalagi jika dibandingkan dengan peradaban modern yang dipelopori Eropa, lalu Amerika, dan kemudian Jepang. Dalam konteks ini, ekspansi pejajahan justru membawa serta unsur-unsur kemajuan (sic!); sains, teknologi, dan kebiasaan.
Gunnar Myrdal menyatakan, bahwa kemampuan suatu bangsa untuk meraih kemajuan tergantung watak bangsa tersebut. Bangsa-bangsa yang tak mampu meraih kemajuan ia sebut sebagai “soft nations”, bangsa-bangsa yang berkarakter lembek. Dengan karakter lembek, tentu mudah mentoleransi korupsi, menenggang ketidakbecusan, mudah takluk dalam bersaing, dan gampang kalah oleh keculasan. Bangsa dengan karakter lembek terlalu banyak menyalahkan diri sendiri daripada bertarung menghadapi pesaing; mudah menyerah menghadapi kemalasan, keterbatasan, dan kekurangan. Bangsa berkarakter lembek juga tidak cukup memiliki stok harga diri, kebanggaan diri, dan kepercayaan diri, serta memiliki standard moral yang rendah. Bangsa berkarakter kuat adalah bangsa yang bernyali, petarung, tangguh, berdisiplin, mandiri, tegas, serta teguh memegang prinsip dan moralitas.
Kembali ke pernyataan Presiden Prabowo tentang “kita sudah lama jadi orang Indonesia”, maka pertanyaannya adalah, “Lalu bagaimana?” Inilah hal pokok yang harus dijawab. Apakah kita menerima kenyataan kebusukan kita? Apakah kita biarkan saja dan kita menjadi bagiannya? Atau kita menjadi manusia waras di tengah manusia gila sehingga kita yang dianggap gila? Saat Sukarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, dan lain-lain berteriak melawan Belanda sejatinya kebanyakan adalah nrimo sambil menggerutu, kebanyakan menjadi bagian dari penjajahan, dan kebanyakan terserah saja. Jumlah yang waras dan mau menunjukkan kewarasannya memang selalu tak banyak. Makanya jumlah pahlawan selalu sangat sedikit. Jumlah sopir selalu satu, selebihnya penumpang. Namun satu sopir sudah mencukupi untuk mengubah nasib Indonesia, dan “Kita memang orang Indonesia."