Selasa 24 Jun 2025 10:36 WIB

Kurikulum Cinta untuk Bangsa yang Toleran dan Inklusif

Kurikulum Cinta harus diterapkan dengan pendekatan yang holistik.

Menteri Agama Prof Nasaruddin Umar menggagas kurikulum cinta.
Foto: Republika/Prayogi
Menteri Agama Prof Nasaruddin Umar menggagas kurikulum cinta.

Oleh : Prof Asep Saepudin Jahar*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama Republik Indonesia pada tahun 2025 ini memperkenalkan sebuah inovasi pendidikan yang dinamakan "Kurikulum Cinta".

Kurikulum ini dirancang sebagai respons atas berbagai fenomena intoleransi dan konflik sosial yang kerap muncul di lingkungan pendidikan, khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kurikulum Cinta bertujuan menanamkan nilai-nilai cinta kepada Tuhan, sesama manusia, lingkungan, dan bangsa sejak usia dini, sebagai upaya membangun karakter anak bangsa yang ramah, humanis, dan nasionalis.

Baca Juga

Harapan Besar dari Kurikulum Cinta

Salah satu harapan utama dari Kurikulum Cinta adalah mampu menanamkan nilai cinta kasih dan toleransi sejak usia dini. Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Suyitno, menegaskan bahwa pendidikan karakter di Indonesia membutuhkan inovasi yang lebih mendalam, dan Kurikulum Cinta hadir untuk mengatasi fenomena intoleransi yang masih marak di lingkungan pendidikan. Anak-anak diharapkan tidak hanya memahami keberagaman secara kognitif, tetapi juga menginternalisasi sikap saling menghargai dan mencintai perbedaan.

Kurikulum ini menekankan empat aspek utama: cinta kepada Tuhan (hablum minallah), cinta kepada sesama manusia (hablum minannas), cinta kepada lingkungan, dan cinta kepada bangsa. Dengan pendekatan holistik ini, diharapkan peserta didik tidak hanya menjadi individu yang taat beragama, tetapi juga peduli terhadap sesama dan lingkungan, serta memiliki rasa nasionalisme yang kuat.

Kurikulum Cinta tidak hanya menambah konten baru, tetapi juga memberikan jiwa baru pada proses pembelajaran agama yang selama ini dianggap terlalu doktrinal dan rutin. Pendekatan ini diharapkan mampu menyentuh aspek spiritualitas, nilai, dan makna dalam kehidupan sehari-hari siswa. Pendidikan agama diharapkan menjadi sarana pembentukan karakter damai dan penuh cinta, bukan sumber konflik.

Keberhasilan Kurikulum Cinta tidak hanya bergantung pada sekolah dan guru, tetapi juga pada peran aktif orang tua dan masyarakat. Pendampingan orang tua dan dukungan lingkungan sosial menjadi bagian penting dalam membangun karakter cinta dan toleransi pada anak. Ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter harus menjadi usaha bersama, bukan hanya tanggung jawab satu pihak.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement