Sabtu 26 Apr 2025 10:30 WIB

Solidaritas Asia Afrika, Luka Gaza

Hari ini, nama Gaza menggema seperti Bandung dulu.

Massa dari Solidaritas Seni Palestina dan Bandung Spirit for Palestina menggelar aksi Gaza Memanggil, di Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Jumat (25/4/2025).
Foto: Edi Yusuf
Massa dari Solidaritas Seni Palestina dan Bandung Spirit for Palestina menggelar aksi Gaza Memanggil, di Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Jumat (25/4/2025).

Oleh : Anies R Baswedan, Inisiator Gerakan Turun Tangan

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Tujuh puluh tahun silam, Bandung menyala. Bukan oleh api perang, tapi oleh kobaran semangat kemerdekaan. Pemimpin-pemimpin dari Asia dan Afrika berkumpul bukan untuk memecah belah dunia, tetapi untuk menyatukannya. Mereka datang dari negeri-negeri yang baru saja melepaskan rantai kolonialisme, membawa luka yang masih basah, membawa mimpi yang belum sempat dijahit rapi. Tetapi mereka datang dengan satu kehendak, bahwa dunia harus berubah, dan perubahan itu dimulai dari Selatan, dari mereka yang pernah ditindas.

Konferensi Asia-Afrika 1955 bukan hanya peristiwa diplomatik. Ia adalah pernyataan moral bahwa bangsa-bangsa yang pernah diinjak bisa berdiri tegak, menyapa dunia dengan kepala terangkat. Di sana, kata-kata tidak digunakan untuk mengancam, tetapi untuk mengajak. Tidak untuk membungkam, tetapi untuk membebaskan.

Baca Juga

Kini, tujuh dekade telah berlalu. Dan dunia belum sepenuhnya pulih dari luka-luka ketidakadilan. Penindasan berganti rupa. Senapan digantikan embargo. Meriam digantikan veto. Tapi inti dari ketimpangan tetap sama, manusia dan tanah dijadikan angka, kemanusiaan dijadikan alat tawar.

Hari ini, nama Gaza menggema seperti Bandung dulu. Bukan karena pidato-pidato menggetarkan, tapi karena jeritan yang tak sempat diperdengarkan. Di tanah yang telah lama dikepung dan ditindas, luka yang dalam kembali menganga. Dan pertanyaan yang muncul bukan hanya untuk penjajah Israel, bukan hanya untuk Dewan Keamanan PBB, bukan hanya untuk media besar dunia, tetapi juga untuk kita bangsa Asia Afrika. Di manakah nyala api Bandung kini berpendar?

Gaza dan Wajah Penindasan Baru

Gaza hari ini adalah cermin yang membuka wajah lama kolonialisme. Sebuah wilayah kecil yang dihuni oleh lebih dari dua juta jiwa, dikepung dari udara, laut, dan darat. Anak-anak yang tak kenal rasanya bahagia, ibu-ibu yang menggendong bayi tak bernyawa, rumah-rumah yang luluh lantak sebelum sempat selesai dibangun. Menjalani hari di Gaza adalah menjalani pagi yang belum tentu bertemu malam.

Penindasan yang terjadi bukan sekadar perang antara dua pihak. Ini adalah ketimpangan struktural, ketidakadilan yang sudah diwariskan antargenerasi. Sementara satu pihak memiliki tank, rudal, sistem pertahanan canggih, dan jaringan internasional, pihak lain dibungkam bahkan dari hak untuk menyebut dirinya merdeka. Ini adalah genosida.

Gaza bukanlah semata soal agama, bukan hanya soal geopolitik, tapi mutlak soal keadilan. Soal apakah dunia ini masih memiliki keberanian untuk berkata bahwa kehidupan setiap manusia itu setara meski tanah kelahirannya dikepung.

Bila kita menyebut Konferensi Asia-Afrika sebagai tonggak perlawanan terhadap kolonialisme, maka Gaza adalah ujian terbesar dari semangat itu. Apakah kita masih berdiri bersama yang ditindas? Ataukah kita telah duduk nyaman dalam ketidakpedulian yang dibungkus diplomasi?

Bangkitnya Suara Selatan

Tidak semua diam. Tidak semua bungkam. Dunia Selatan yang dahulu bersuara di Bandung mulai menggeliat kembali. Afrika Selatan berdiri di hadapan Mahkamah Internasional, menggugat Israel atas tuduhan genosida. Bolivia, Kolombia, dan Belize memutuskan hubungan diplomatik. Di jalan-jalan Rabat, Jakarta, Kuala Lumpur, Dakar, dan Dhaka, rakyat berteriak lantang: “Bebaskan Palestina!”

Aksi negara-negara Selatan mungkin belum serempak. Tapi nyalanya sudah muncul. Ada yang melawan di panggung diplomasi. Ada yang bergerak lewat gerakan masyarakat sipil. Ada pula yang bertarung di ruang digital, menjebol narasi besar yang selama ini dikunci oleh segel media dunia arus utama.

Solidaritas kini hadir dalam berbagai rupa. Tidak lagi duduk dalam satu meja, tapi dalam jejaring global. Anak muda menggambar mural di tembok kota, menulis puisi di layar ponsel, menyebarkan data dan suara dari akun kecilnya, yang tak pernah kecil dampaknya. Kita sedang menyaksikan kebangkitan baru dari kekuatan lama, yaitu kekuatan moral bangsa-bangsa yang pernah ditindas.

Namun, solidaritas tak boleh berhenti pada simbol tapi harus menjelma jadi keberanian politik. Keberanian untuk tak sekadar mengecam, tapi juga bertindak. Memutuskan hubungan dagang yang mencederai nurani. Menekan lembaga-lembaga internasional agar berdiri untuk keadilan, bukan tunduk pada veto.

Kita harus menyadari bahwa Gaza bukan hanya soal satu negara. Gaza adalah soal martabat dunia. Suara-suara dari Selatan harus kembali menggema, agar Utara tahu bahwa dominasi tak bisa lagi dibungkus dengan legitimasi.

Tugas Moral Generasi Baru

Tantangan hari ini berbeda dengan 1955. Dulu kita menghadapi kolonialisme yang datang dengan kapal dan bendera. Kini, ketimpangan datang dalam bentuk algoritma, institusi global, dan kerjasama ekonomi yang timpang. Tapi ruh perjuangannya tetap sama, yaitu membela mereka yang tak punya suara. Menyuarakan yang selama ini dibungkam.

Generasi muda hari ini tidak lagi hanya pewaris semangat Bandung. Mereka adalah pengemban tugas baru, untuk menjahit kembali solidaritas Asia-Afrika dalam wajah baru. Solidaritas yang tak hanya hadir di ruang konferensi, tapi hidup dalam jaringan, dalam komunitas, dalam tindakan sehari-hari.

Kita tak lagi cukup hanya menjadi simpatisan. Dunia menuntut kita menjadi partisipan. Menjadi pelaku. Menjadi penentu.

Solidaritas digital harus diiringi solidaritas dunia nyata. Aksi berbagi harus disertai aksi advokasi. Dunia yang adil tak akan hadir dengan sendirinya, melainkan harus diperjuangkan, disuarakan, dan dikawal. Kita tak bisa mengandalkan pemimpin dunia untuk selalu berpihak pada kebenaran. Kadang, perubahan justru dimulai dari suara-suara kecil yang tak rela dibungkam.

Di sinilah kita semua dipanggil. Sebagai rakyat dari bangsa yang lahir dari perlawanan, tumbuh dari penderitaan, dan berdiri di atas semangat kemerdekaan. Bukan hanya negara, masing-masing dari kita punya peran untuk menyalakan kembali nyala solidaritas itu.

Para guru, ajarkan pada murid bahwa keadilan bukan hak istimewa, melainkan hak setiap insan. Para seniman, ukirlah perlawanan dalam warna dan nada. Para pelajar, bacalah lebih dalam, sebarlah kebenaran, dan jangan biarkan narasi palsu menutupi luka yang nyata.

Para pedagang, pilihlah dengan nurani, jangan biarkan harta mengalir pada mereka yang menginjak kehidupan. Para pekerja sosial, bentangkan empati hingga ke seberang lautan. Para penulis, wartawan, pembicara, pakailah kata-kata untuk menjadi jembatan bagi suara-suara yang dibungkam.

Solidaritas tak harus menunggu ataupun dimulai di ruang negara. Ia tumbuh dari hati-hati yang tak tahan melihat ketidakadilan. Dan bila bangsa ini ingin tetap setia pada warisan sejarahnya, maka rakyatnya tak boleh hanya menjadi saksi. Kita harus jadi bagian dari gerakan itu sendiri.

Jangan Biarkan Api itu Padam

Kita pernah berdiri tegak di Bandung, mengangkat kepala saat dunia memperhitungkan hanya kekuatan. Kini kita dipanggil kembali, bukan oleh undangan konferensi, tetapi oleh jeritan manusia yang terjepit dalam reruntuhan.

Jangan biarkan Gaza menjadi catatan kaki dari sejarah solidaritas Asia-Afrika. Jangan biarkan nama kita tercatat sebagai bangsa yang hanya menonton saat keadilan diminta dan nyawa dirampas.

Anak-anak Gaza tidak butuh sekadar cuitan simpati. Mereka menanti keberanian. Mereka menunggu dunia Selatan bangkit seperti dulu. Bukan sekadar mengutuk, tetapi melawan. Bukan hanya menyaksikan, tetapi membela.

Kita bisa memilih diam. Tapi sejarah tidak pernah menulis babnya untuk mereka yang diam.

Dan jika api Bandung pernah dinyalakan untuk menolak penjajahan, maka biarlah kita menjadi generasi yang meniupkan kembali nyalanya, hingga cahaya keadilan benar-benar tiba, di Gaza, dan di seluruh bumi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement