Jumat 25 Jul 2025 07:55 WIB

Fenomena Sound Horeg dan Kesombongan Kelas ‘Terdidik’ Indonesia

Ada yang salah dalam komunikasi komunal kita.

Ilustrasi sound horeg
Foto: Republika/Daan Yahya
Ilustrasi sound horeg

Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- 'Bergetar' agaknya belum cukup untuk menerjemahkan 'horeg'. 'Bergetar keras' pun rasanya belum menjadi frasa yang bisa mewakili seutuhnya. Ia lebih dari sekadar itu. Dalam konteks 'sound horeg', rasa 'horeg' itu diakibatkan volume suara tinggi oleh seperangkat komponen elektronik dalam skala relatif besar.

Pernah berada dalam situasi itu? Pernah. Belum lama, sekitar satu tahun lalu. Tubuh terasa 'ddddhhhhhrrrrrrr', lantas dibarengi tekanan dengan ritme tertentu yang sangat tidak nyaman dan terasa menekan di dada. Kuping pun pekak. Mengganggu? Bagi saya 'sangat'. Karena tidak nyaman dan mengganggu itu, saya meninggalkan sumber suara.

Baca Juga

Fenomena sound horeg yang ramai belakangan sebenarnya tidak benar-benar baru meski dalam suasana dan kemasan berbeda. Di Jawa, khususnya di Jawa Timur, sound system seperti menjadi bagian wajib dalam sebuah hajatan seperti sunatan atau nikahan. Tidak jarang saya ikut nimbrung bersama operatornya yang dia adalah tentu teman akrab.

Pernah suatu ketika, kami coba iseng menaikkan tombol volume di panel hampir mentok ke atas. Belum mentok. Itu pun kaca jendela rumah yang kami tempati untuk mengoperasikan sound system bergetar hebat. Seperti hampir pecah. Seketika itu teman saya lainnya di tempat yang sama nyelethuk, 'awakku horeg'. Hingga kemudian volume kita atur kembali ke 'mazhab moderat'. Jangan tanya jika acaranya adalah pentas musik di tanah lapang.

Perdebatan fenomena sound horeg belakangan saya lihat dan ikuti, setidaknya satu hingga dua tahun terakhir, di media sosial (medsos) wabil khusus. Video-video acara sound horeg ramai di sana. Ramai pula komentarnya. Tentu pro dan kontra. Tapi arus utamanya menolak eksistensi sound horeg.

Ingat dengan potongan video sekelompok orang merobohkan pembatas jembatan yang dinarasikan agar truk sound horeg bisa lewat? Pasti sebagian besar netizen yang berkomentar, dan tentu juga saya, tidak seutuhnya tahu latar belakang A hingga Z-nya sampai peristiwa itu terjadi.

Saya tidak sedang membenarkan apa yang mereka lakukan. Tetapi ada sisi penting yang juga tak boleh luput. Ketika cap atau label 'SDM rendah' dijadikan narasi dengan maksud merendahkan dan mempermalukan, ini menjadi persoalan. Ini menjadi diskursus yang juga fundamental dalam kehidupan manusia bermedia sosial. Karena ini tidak terjadi di satu peristiwa saja, banyak hal lainnya, seperti perbedaan pilihan politik.

Dalam konteks sound horeg, labeling 'SDM rendah' menjadikan tembok baru dalam struktur sosial di tengah masyarakat. Mereka yang melabeli 'SDM rendah' secara tidak langsung ingin menempatkan dirinya dalam wadah 'SDM tinggi' hanya karena asumsi sepihak dan pandangan berbeda.

Cap semacam ini juga hanya akan membelah kelompok masyakarat secara diametral. Buktinya apa? Mereka, penikmat sound horeg pun membuat 'perlawanan' dengan narasi '100% SDM Rendah'. Mereka cetak tulisan itu di kaosnya saat event sound horeg. Bisa dibaca bahwa ini adalah bentuk perlawanan dari mereka yang merasa direndahkan dan dilecehkan.

Apa yang terjadi seandainya mereka bertemu tatap muka? Entah. Tapi media sosial memang benar-benar pasar bebas. Siapapun dan apapun bisa dikomentari. Jika sudah berbeda pendapat ditambah perasaan tidak suka dan tidak sesuai preferensi pribadinya, sopan satun agaknya pertimbangan belakangan. Merendahkan orang lain seolah biasa dan lancar saja meluncur dari jarinya di kolom komentar.

Medsos menjadi penjebol sekat ketakutan yang dulu pernah ada. Di sisi lain, tata krama, etika berbicara, sikap menghargai orang lain, tergerus deras di ruang maya. Paduan ini bisa menjadi paket combo jika seseorang tak mampu mengendalikan diri. Seseorang akan mudah tercebur dalam kubangan benci yang sebenernya tak benar-benar dia ketahui.

Yang menjadi ironi, penilaian 'SDM rendah' ini tak jarang justru disematkan oleh mereka yang merasa diri lebih intelek dan berpendidikan hingga punya akses mapan. Alih-alih menganalisis akar masalah dan menuangkan ide untuk menyelesaikan persoalan dalam sebuah kesimpulan sebagaimana niscayanya intelektual, 'SDM tinggi' ini malah menciptakan stratifikasi sosial. Tak pernah ada tawaran solusi.

Sound horeg memang perlu diatur. Yang terganggu banyak. Tapi ada yang salah dalam komunikasi komunal kita. Mencoba 'masuk' dengan menarasikan disparitas status sosial seperti itu justru membuka diri menambah musuh. Tak akan pernah ada penyelesaian yang didapat. 

Ini bukan tentang 'SDM tinggi' atau 'SDM rendah'. Sound horeg adalah fenomena sosial yang butuh dicarikan penyelesaian. Menemukan titik tengah dalam sebuah topik yang berpotensi memicu polarisasi bukan barang gampang. Karena tidak mudah itu pula, jangan menambah luka.

Yang merasa berpendidikan tapi menempuh jalan dengan merendahkan lain orang, apa tidak merasa risih ketika 'jasa' kita tak lebih sekadar melahirkan pertikaian di antara sesama? Lepas dari benar-salah, siapa yang bakal diam jika diri direndahkan atau martabatnya dilecehkan?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement