Kamis 10 Apr 2025 11:33 WIB

Mulai dari Nol: Refleksi Lebaran dan Budaya Saling Memaafkan

Budaya saling memaafkan di hari raya sejatinya bukan sekadar basa-basi.

Sejumlah warga bersilaturahim berpelukan usai melaksanakan Sholat Idul Fitri.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah warga bersilaturahim berpelukan usai melaksanakan Sholat Idul Fitri.

Oleh : Hari Eko Purwanto, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP – Universitas Muhammadiyah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Taqaballahu minna wa minkum, Mohon Maaf lahir dan batin yaa,” begitu kalimat yang meluncur ringan dari satu orang ke orang lainnya dari sesama saudara, dari keluarga, teman, kolega di hari Lebaran dengan wajah cerah sumringah sambil berpelukan atau sekedar mengatupkan kedua tangan membalas setiap ucapan yang terdengar. Setelah sebulan penuh berpuasa, menahan lapar, dahaga, dan emosi, umat Islam di Indonesia menyambut Idul Fitri dengan hati yang (diupayakan) bersih. Tapi yang menarik bukan hanya soal baju baru atau kue Lebaran, melainkan bagaimana Lebaran di Indonesia jadi momentum komunikasi yang unik: mulai dari nol.

Budaya saling memaafkan di hari raya sejatinya bukan sekadar basa-basi. Ia menjadi bagian dari konstruksi budaya komunikasi masyarakat Indonesia, yang berakar pada nilai kekeluargaan, kolektivisme, dan harmoni sosial. Tradisi sungkem, salam-salaman, hingga ziarah ke makam orang tua atau leluhur yang telah meninggal adalah ekspresi dari komunikasi nonverbal yang kuat. Ada pesan dalam diam, ada makna dalam pelukan, ada kedekatan dalam genggaman tangan.

Dalam perspektif komunikasi antar budaya, ini masuk ke dalam praktik high context communication, istilah yang dikenalkan oleh Edward T. Hall. Dalam budaya seperti Indonesia, banyak makna disampaikan secara implisit, melalui simbol, konteks, dan isyarat. Sebaliknya, di budaya-budaya low context seperti di Barat atau sebagian wilayah Arab dan Timur Tengah, komunikasi lebih to the point, tanpa basa-basi, dan ekspresi verbal jauh lebih penting. Maka tak heran, tradisi “maaf lahir batin” yang masif di Indonesia justru terdengar asing di negara-negara Timur Tengah, meskipun sama-sama merayakan Idul Fitri.

Lebaran juga selalu identik dengan kata “bersih”. Bersihkan hati dari dendam, bersih dari dosa akibat saling memaafkan, dan kadang juga bersih isi dompet setelah pulang kampung atau bagi-bagi THR dengan sanak saudara dan para tetangga.

Di sinilah anekdot itu muncul: kita memulai segalanya dari nol, termasuk saldo atm dan e-wallet yang sempat penuh jelang Lebaran kemudian semakin menipis bahkan cenderung bersih setelah Lebaran. Tapi justru dari “bersih” itu, banyak hal bermula. Kita belajar kembali merendah, belajar berbagi, dan belajar menata ulang komunikasi dengan orang-orang di sekitar kita.

Saat ini di era digital ucapan maaf tak lagi harus selalu lewat tatap muka atau genggaman tangan. Cukup dengan satu jempol, kita bisa broadcast pesan seragam ke ratusan kontak. Memang praktis, tapi kadang terasa dingin. Alih-alih mempererat silaturahmi, komunikasi digital justru bisa memperlebar jarak makna. Dalam teori Computer Mediated Communication (CMC), disebutkan bahwa pesan yang disampaikan lewat media digital sering kehilangan nuansa emosional dan konteks budaya yang seharusnya menyertai (Walther, 1996).

Namun bukan berarti komunikasi digital tak punya nilai. Justru di era ini, kemampuan kita mengelola pesan, memilih kata yang personal, menyisipkan nada yang empatik, hingga memakai fitur seperti voice note atau video call, menjadi penentu apakah pesan itu menyentuh atau hanya sekadar numpang lewat. Bahkan, survei Pew Research (2023) menunjukkan bahwa generasi muda mulai lebih memilih ucapan Lebaran via video singkat yang lebih personal ketimbang teks panjang tapi kaku. Bentuk boleh digital, tapi ruh komunikasi tetap harus dijaga.

Di negara-negara Arab dan Timur Tengah, budaya Lebaran tetap sakral tapi dengan suasana yang jauh lebih tenang dan fokus pada keluarga inti. Tidak ada tradisi berkunjung dari rumah ke rumah secara masif. Bahkan, permintaan maaf secara eksplisit bisa dianggap berlebihan jika hubungan selama ini baik-baik saja. Sebuah kontras dengan budaya kita, di mana kalimat “maaf lahir batin” hampir wajib diucapkan, dan pertemuan tatap muka menjadi simbol rekonsiliasi sosial.

Tapi mungkin itulah seni komunikasi kita, tidak semuanya harus diucapkan secara gamblang. Kadang, cukup dengan hadir, berpelukan dan berjabat tangan, luka bisa sembuh, relasi bisa pulih, dan komunikasi bisa dimulai dari nol.

Belajar memaafkan memang bukan perkara gampang. Apalagi jika luka yang tertinggal masih berdarah dan terasa nyata. Tapi di sinilah letak kekuatan spiritual Idul Fitri: ia mengajak kita menundukkan ego, melembutkan hati, dan membuka ruang maaf bagi orang lain, bahkan bagi mereka yang mungkin tak pernah meminta maaf.

Dalam Islam, memaafkan bukan hanya soal hubungan antar manusia, tapi juga bagian dari upaya menyucikan jiwa. Maka tak heran, Lebaran sering jadi momen kita diam-diam mengetuk hati, mengingat wajah-wajah tetangga atau kawan atau sahabat yang mungkin selama ini renggang. Kadang bukan karena dendam, tapi karena jarak yang tak pernah dijembatani komunikasi.

Selamat Lebaran 1446 H. Mari kembali ke nol. Tapi jangan lupa, dari nol bukan berarti lupa belajar dari pengalaman dan kejadian di masa lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement