
Oleh : Fadhly Azhar*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemerdekaan selalu mengingatkan saya pada satu surah pendek dalam Alquran yang kerap kita baca, namun jarang kita renungkan dalam-dalam: Surah Quraisy. Hanya empat ayat, tapi ia mengandung inti peradaban. Ia bukan hanya tentang sejarah kabilah Quraisy, melainkan tentang rahasia kelestarian sebuah masyarakat: keamanan dan kecukupan.
“Yang telah memberi mereka makan ketika lapar, dan memberi mereka rasa aman dari ketakutan.” (QS. Quraisy: 4)
Ayat ini adalah pengingat abadi bahwa kemerdekaan lahir tidak akan sempurna tanpa kemerdekaan batin. Masyarakat yang lapar dan takut adalah masyarakat yang mudah dipecah, mudah diperalat, dan kehilangan arah.
Mengetuk Hakiki Kemerdekaan Batin
Kemerdekaan sering kita rayakan dengan parade, pidato, dan bendera berkibar. Tapi jauh di dalam hati, banyak warga masih terikat pada belenggu yang tak kasat mata. Ada yang takut menyuarakan pendapat karena khawatir diserang. Ada yang hidup di tengah polarisasi, curiga kepada tetangganya sendiri. Bahkan di dunia perkantoran pun, belenggu batin dari kemerderkaan kadang muncul karena tidak ditopang dengan dukungan “pasang badan” kepemimpinan. Ada yang mengeluh bukan karena lapar nasi, melainkan lapar makna—tak tahu untuk apa ia bekerja, belajar, dan bertahan.
Di sini, Surah Quraisy seperti mengetuk pintu batin kita: sudahkah kemerdekaan ini membuat kita aman dan cukup, sebagaimana nikmat yang Allah berikan kepada Quraisy? Atau kita hanya merdeka di atas kertas, tapi batin kita masih terpenjara?
Kelaparan Batin yang tak Tampak
Kata "Quraisy" dalam Alquran disebut hanya satu kali, yaitu pada Surah Quraisy (surat ke-106). Kata ini merujuk pada suku Quraisy, yaitu suku yang menjadi tempat asal Nabi Muhammad SAW serta memiliki peran penting dalam sejarah Islam, khususnya penjagaan mereka terhadap Ka’bah.