REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Syafruddin Karimi, Departemen Ekonomi Universitas Andalas
Nilai tukar rupiah kembali melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), menyentuh level Rp 16.480 per dolar AS pada 21 Maret 2025. Sementara itu, indeks dolar (DXY) menguat signifikan ke angka 103,85. Fenomena ini menandai tren yang telah berlangsung dalam beberapa pekan terakhir, yaitu menguatnya dolar di tengah pelemahan sejumlah mata uang negara berkembang. Dalam konteks ini, Indonesia menghadapi tekanan eksternal yang nyata, yang berpotensi mempengaruhi stabilitas ekonomi domestik secara menyeluruh.
Penguatan dolar mencerminkan meningkatnya kepercayaan investor terhadap ekonomi AS. Salah satu indikator yang mendukung hal ini adalah penurunan yield US Treasury (UST) 10 tahun ke level 4,237 persen. Penurunan yield menunjukkan bahwa permintaan terhadap surat utang pemerintah AS meningkat, menandakan arus modal global beralih ke aset aman (safe haven). Di sisi lain, pergeseran ini turut melemahkan permintaan terhadap aset di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Bank Indonesia tidak tinggal diam. Otoritas moneter terus memantau dinamika pasar global dan menjaga stabilitas nilai tukar melalui intervensi di pasar valas serta pengelolaan cadangan devisa. Namun demikian, tekanan terhadap rupiah tidak hanya berasal dari faktor eksternal. Pelaku pasar juga memperhatikan faktor domestik seperti ekspektasi inflasi, defisit transaksi berjalan, dan dinamika fiskal menjelang pertengahan tahun anggaran.
Pelemahan nilai tukar rupiah menimbulkan konsekuensi yang kompleks. Dari sisi perdagangan, nilai impor meningkat karena pembayaran dilakukan dalam mata uang asing, terutama dolar AS. Harga barang-barang impor seperti bahan baku industri, obat-obatan, dan pangan cenderung naik. Akibatnya, pelaku usaha menghadapi tekanan biaya yang lebih tinggi, yang berpotensi mendorong inflasi.
Di sisi konsumen, pelemahan rupiah menggerus daya beli masyarakat. Ketika harga barang impor naik, masyarakat terpaksa membayar lebih mahal untuk kebutuhan pokok yang tidak bisa dipenuhi dari dalam negeri. Hal ini menciptakan tekanan sosial-ekonomi, terutama bagi kelompok berpendapatan menengah dan rendah.
Sektor keuangan juga tidak luput dari dampak pelemahan rupiah. Investasi portofolio rentan terhadap arus keluar modal (capital outflow) ketika investor asing menjual surat berharga negara (SBN) demi memindahkan dananya ke pasar AS. Meskipun pemerintah menawarkan yield SBN 10 tahun sebesar 7,09 persen, spread terhadap yield UST hanya sekitar 2,853 persen, yang bisa dianggap kurang atraktif jika dibandingkan dengan risiko ekonomi global dan ketidakpastian domestik.
Sementara itu, sektor utang luar negeri menghadapi risiko yang signifikan. Perusahaan swasta dan pemerintah yang memiliki utang dalam mata uang asing harus membayar cicilan dengan jumlah rupiah yang lebih besar. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, hal ini bisa menekan neraca keuangan dan meningkatkan risiko gagal bayar, terutama bagi perusahaan yang tidak memiliki lindung nilai (hedging) yang memadai.
Di sisi kebijakan fiskal, pelemahan rupiah bisa memperbesar beban anggaran negara. Pembayaran utang luar negeri dan subsidi energi akan membengkak. Pemerintah harus berhati-hati dalam mengelola belanja agar tidak memperlebar defisit fiskal yang sudah tinggi. Dengan ruang fiskal yang terbatas, pemerintah berpotensi memangkas belanja sosial atau pembangunan infrastruktur, yang pada gilirannya bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Namun demikian, tidak semua sektor dirugikan oleh pelemahan rupiah. Eksportir bisa memperoleh keuntungan karena pendapatan dalam dolar meningkat ketika dikonversi ke rupiah. Hal ini bisa mendorong surplus neraca perdagangan jika volume ekspor tetap tinggi. Industri padat karya seperti tekstil, perikanan, dan pertanian bisa memanfaatkan momentum ini untuk meningkatkan daya saing di pasar global.
Bank Indonesia dan pemerintah perlu merespons kondisi ini secara terkoordinasi. Selain menjaga stabilitas moneter, pemerintah harus memperkuat sektor riil dengan mempercepat program hilirisasi, mendorong substitusi impor, serta memperluas akses pembiayaan bagi UMKM. Langkah ini akan memperkuat ketahanan ekonomi domestik terhadap guncangan eksternal.
Di tengah ketidakpastian global, komunikasi kebijakan yang jelas dan kredibel menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan pasar. Bank Indonesia harus transparan dalam menjelaskan arah kebijakan suku bunga dan intervensi pasar. Sementara itu, pemerintah perlu menyampaikan strategi fiskal yang realistis, termasuk reformasi struktural untuk meningkatkan produktivitas ekonomi.
Kondisi global yang berubah cepat menuntut kewaspadaan dan respons adaptif. Tantangan nilai tukar bukan hanya soal rupiah yang melemah, tetapi juga tentang bagaimana Indonesia membangun fondasi ekonomi yang kuat, tangguh, dan inklusif. Dengan strategi yang tepat, pelemahan rupiah bisa menjadi momentum untuk mereformasi ekonomi dan meningkatkan daya saing nasional.
Pada akhirnya, penguatan dolar dan pelemahan rupiah adalah sinyal bagi pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat untuk bersiap menghadapi dinamika global yang tidak menentu. Jika Indonesia mampu menjaga stabilitas dan melakukan penyesuaian kebijakan yang tepat, maka dampak negatifnya dapat diminimalkan, dan peluang di tengah tekanan dapat dimaksimalkan.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook