Ahad 23 Mar 2025 15:10 WIB

Dari Donasi ke Investasi Sosial, Transformasi Filantropi untuk Keberlanjutan

Indonesia telah menjadi negara paling dermawan di dunia.

Jaharuddin, Pengamat Ekonomi Syariah / Dosen FEB UMJ
Foto: Dok Pribadi
Jaharuddin, Pengamat Ekonomi Syariah / Dosen FEB UMJ

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Jaharuddin , Pengamat Ekonomi Syariah, Dosen FEB UMJ.

Setiap tahun, terutama di bulan Ramadhan, Indonesia mencatat jumlah donasi yang luar biasa besar. Riset World Giving Index mencatat bahwa Indonesia telah menjadi negara paling dermawan di dunia selama tujuh tahun berturut-turut, menegaskan tingginya kepedulian sosial masyarakat. 

Tak hanya itu, data dari Laporan Pengelolaan Zakat Nasional BAZNAS 2024 menunjukkan bahwa total dana Zakat, Infak, Sedekah (ZIS) dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya (DSKL) telah mencapai Rp26,1 triliun pada kuartal 2 tahun 2024, meningkat pesat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Namun, di balik angka yang besar ini, muncul pertanyaan fundamental, sejauh mana dana tersebut benar-benar berdampak secara jangka panjang? Apakah dana yang dikumpulkan setiap tahun hanya memberikan manfaat sesaat atau mampu menciptakan perubahan sistemik yang berkelanjutan?

Analisis terhadap penyaluran ZIS Nasional semester 1 tahun 2024 terbesar kepada fakir miskin sebesar Rp 4,78 triliun, mustahik dengan program kemanusiaan menjadi yang dominan, memberi makna peningkatan kebutuhan akibat faktor eksternal sseperti bencana alam dan konflik sosial. Model ini memang penting untuk merespons kebutuhan mendesak, tetapi belum cukup untuk menciptakan kemandirian ekonomi bagi penerima manfaat. 

Indeks Zakat Nasional (IZN) 2023 mencatat meskipun kinerja zakat tergolong “cukup baik” dengan skor makro 0,64, dampaknya masih terbatas dalam mengurangi ketimpangan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan umat secara berkelanjutan. Hal serupa terjadi dalam sektor wakaf, di mana Indeks Wakaf Nasional hanya mencapai 0,30 pada 2023, menunjukkan bahwa pemanfaatan wakaf untuk pembangunan ekonomi masih belum optimal.

Masalah utama dari sistem donasi konvensional ini adalah ketergantungan tinggi terhadap penggalangan dana baru setiap tahunnya. Dana yang terkumpul cepat habis, sehingga lembaga sosial harus kembali mencari sumber pendanaan baru. Siklus ini terus berulang, menyebabkan banyak program filantropi berjalan dalam pola yang stagnan tanpa menciptakan dampak yang lebih luas.

Data menunjukkan jumlah Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) meningkat dari 702 OPZ pada kuartal 2 tahun 2023 menjadi 711 OPZ pada kuartal 2 tahun 2024. Peningkatan ini mencerminkan semakin luasnya jangkauan distribusi zakat, memerlukan perencanaan yang lebih strategis, dana yang terkumpul hanya memberikan dampak jangka pendek tanpa mengatasi akar masalah sosial dan ekonomi.

Untuk menjawab tantangan ini, diperlukan transformasi dalam paradigma pengelolaan donasi. Pendekatan tradisional yang hanya berorientasi pada operational expenditure (OPEX), di mana dana langsung digunakan untuk kebutuhan operasional program, harus mulai bergeser menuju capital expenditure (CAPEX), yang berorientasi pada investasi sosial dan pembangunan ekonomi jangka panjang.

Dalam model donasi konvensional, dana yang terkumpul langsung dialokasikan dan dihabiskan untuk berbagai program. Tidak ada mekanisme investasi yang memastikan bahwa dana tersebut dapat terus berkembang dan menghasilkan manfaat berkelanjutan. Paradigma Lama Donasi ini hanya memberikan solusi sementara dan menciptakan ketergantungan yang berulang.

Sebaliknya, Paradigma Baru Donasi menekankan pentingnya pengelolaan dana dalam bentuk endowment fund (dana abadi). Dalam model ini, dana yang terkumpul tidak langsung digunakan, tetapi diinvestasikan terlebih dahulu dalam aset produktif. Hasil dari investasi ini kemudian digunakan untuk mendanai berbagai program sosial secara berkelanjutan tanpa mengurangi dana pokok.

Model ini telah diterapkan secara luas di berbagai institusi global. Harvard University, misalnya, memiliki dana abadi lebih dari 50 miliar dolar AS, yang diinvestasikan dalam berbagai sektor dan hasilnya digunakan untuk membiayai riset, beasiswa, serta pengembangan akademik. Universitas Islam seperti Al-Azhar di Mesir juga menggunakan sistem wakaf untuk membiayai operasional mereka, sehingga tidak bergantung pada donasi tahunan.

Di Indonesia, potensi wakaf produktif sangat besar tetapi masih belum dikelola secara maksimal. Badan Wakaf Indonesia (BWI) 2024 mencatat bahwa jumlah tanah wakaf meningkat 6% dalam beberapa tahun terakhir, mencapai total 57.263 hektar. Namun, sebagian besar tanah wakaf masih digunakan untuk pembangunan masjid, madrasah, dan fasilitas keagamaan lainnya, sementara pemanfaatannya untuk investasi produktif masih terbatas.

Selain itu, pengumpulan aset wakaf uang mencapai Rp2,56 triliun pada 2024, meningkat 212% sejak 2021, tetapi masih jauh dari potensi penuh yang diperkirakan mencapai Rp180 triliun per tahun. Jika wakaf uang dikelola secara profesional, dana ini dapat menjadi sumber pendanaan utama bagi berbagai proyek strategis seperti pembiayaan usaha mikro, pembangunan industri halal, serta layanan kesehatan berbasis wakaf.

Wakaf uang yang dikelola secara produktif memiliki efek berantai terhadap pertumbuhan ekonomi. Dana yang terkumpul diinvestasikan dalam sektor-sektor produktif, hasil investasinya digunakan untuk mendanai program sosial, dan dampak akhirnya adalah peningkatan daya beli masyarakat serta pertumbuhan ekonomi berbasis keuangan Islam.

Konsep ini telah diterapkan di beberapa negara dengan filantropi Islam yang kuat. Di Turki dan Malaysia, dana wakaf telah digunakan untuk membiayai rumah sakit, universitas, dan perumahan rakyat, di mana hasilnya terus berputar dalam sistem investasi yang dikelola secara profesional. Jika model serupa diterapkan lebih luas di Indonesia, maka lembaga filantropi tidak hanya menjadi penyalur donasi, tetapi juga menjadi pengelola aset yang mampu memberikan manfaat jangka panjang.

Untuk mempercepat implementasi model ini, Kementerian Agama bersama BWI dan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) telah merumuskan Peta Jalan Wakaf Nasional 2024-2029. Tujuan utama roadmap ini adalah mengoptimalkan wakaf sebagai sumber daya ekonomi yang mampu menopang pembangunan nasional.

Beberapa langkah strategis dalam roadmap ini meliputi, pertama, meningkatkan literasi wakaf dan dana abadi, agar masyarakat memahami bahwa donasi dapat dikelola sebagai investasi sosial. Kedua, memperkuat regulasi dan transparansi pengelolaan dana sosial, untuk meningkatkan kepercayaan donatur. 

Ketiga, mendorong sinergi antara lembaga zakat, wakaf, dan sektor swasta dalam mengelola investasi berbasis filantropi Islam. Keempat, mengembangkan instrumen keuangan syariah yang lebih luas, termasuk sukuk wakaf dan reksa dana syariah. Kelima, meningkatkan profesionalisme lembaga keuangan syariah dalam mengelola dana sosial, sehingga hasil investasi dapat dimanfaatkan secara lebih optimal.

Bagi donatur, perubahan ini berarti bahwa dana yang mereka sumbangkan tidak hanya memberikan manfaat sesaat, tetapi juga terus berkembang dan berdampak dalam jangka panjang. Bagi pengelola donasi, paradigma baru ini menuntut standar tata kelola yang lebih profesional, transparan, dan akuntabel agar dana yang dihimpun dapat berkembang dan memberikan manfaat yang semakin besar dari tahun ke tahun.

Dengan komitmen bersama dari donatur, pengelola donasi, dan pemangku kebijakan, Indonesia tidak hanya akan menjadi negara paling dermawan, tetapi juga negara yang paling inovatif dalam mengelola filantropi Islam untuk membangun ekonomi umat yang mandiri, kuat, dan berkelanjutan. Saatnya beralih dari kedermawanan berbasis konsumsi menuju filantropi berbasis investasi sosial, agar manfaatnya tidak hanya berhenti hari ini, tetapi terus berkembang untuk generasi yang akan datang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement