Sabtu 22 Mar 2025 12:20 WIB

Membaca Fenomena Mudik 2025: Tradisi, Tekanan Ekonomi, dan Tanggung Jawab Negara

Survei Kemenhub memprediksi arus mudik turun 24 persen.

Sejumlah pengendara roda dua keluar dari kapal di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (21/3/2025). Sebagian warga memilih mudik lebih awal di hari pertama libur sekolah untuk menghindari penumpukan penumpang pada puncak arus mudik yang diperkirakan menjelang penutupan pelabuhan pada perayaan Nyepi di Bali.
Foto: ANTARA FOTO/Budi Candra Setya
Sejumlah pengendara roda dua keluar dari kapal di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (21/3/2025). Sebagian warga memilih mudik lebih awal di hari pertama libur sekolah untuk menghindari penumpukan penumpang pada puncak arus mudik yang diperkirakan menjelang penutupan pelabuhan pada perayaan Nyepi di Bali.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

Mudik Lebaran telah lama menjadi ritual sosial-ekonomi yang tak terpisahkan dari identitas masyarakat Indonesia. Namun, tahun 2025 menjadi titik balik yang mengkhawatirkan.

Survei Kementerian Perhubungan memproyeksikan penurunan 24 persen jumlah pemudik—dari 193,6 juta menjadi 147,1 juta orang—yang tidak hanya mengubah pola mobilitas, tetapi juga menandakan pelemahan daya beli dan tekanan struktural ekonomi.

Di balik angka ini, terlihat bagaimana masyarakat bersiasat: menumpang kendaraan orang lain, mengutang, atau bahkan mengorbankan mudik demi bertahan hidup.

Fenomena ini bukan sekadar persoalan transportasi, melainkan cerminan krisis multidimensi yang memerlukan respons kebijakan yang lebih empatik dan holistik.

 

Kontraksi Mudik 2025

Tradisi mudik selama ini menjadi mesin penggerak ekonomi lokal. Sektor transportasi, UMKM, ritel, dan jasa logistik bergantung pada gelombang konsumsi selama Lebaran.

Namun, penurunan 46,5 juta pemudik pada 2025 berpotensi memangkas peredaran uang sebesar Rp 93–232 triliun. Angka ini bukan hanya statistik, tetapi mewakili ribuan pedagang kaki lima di terminal yang kehilangan pelanggan, pengemudi angkutan yang pendapatannya menyusut, atau pengrajin di daerah yang gagal menjual produk Lebaran.

Efek domino dari kontraksi ini lebih luas lagi. Sektor informal, yang menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat menengah bawah, paling rentan terdampak. Padahal, di tengah kenaikan harga pangan dan BBM, pendapatan dari momen Lebaran sering menjadi penyelamat bagi banyak keluarga.

Penurunan permintaan bahan baku UMKM, misalnya, tidak hanya mengurangi omset produsen, tetapi juga berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor rantai pasok.

 

Penurunan Mudik 2025 Menyebabkan Ketimpangan yang Semakin Terasa

Dampak penurunan mudik tidak merata secara geografis. Wilayah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat—yang selama ini menjadi tujuan utama pemudik—akan mengalami kontraksi ekonomi paling signifikan.

Daerah ini tidak hanya kehilangan aliran uang dari pemudik, tetapi juga pendapatan dari aktivitas belanja kebutuhan Lebaran. Di luar Jawa, wilayah seperti Sumatra Utara, Lampung, dan Sulawesi Selatan menghadapi risiko serupa.

Sementara itu, daerah yang bergantung pada remitansi THR dari perantau, seperti Nusa Tenggara Timur atau Kalimantan, akan mengalami penurunan daya beli yang parah. Di sisi lain, daerah dengan basis ekonomi lokal kuat seperti Yogyakarta atau Bali mungkin lebih resilien karena aktivitas pariwisata dan konsumsi domestik.

Ketimpangan ini mempertegas bahwa kebijakan mudik tidak bisa diseragamkan—respons pemerintah harus mempertimbangkan keragaman kondisi regional.

 

Deflasi dan Ancaman Resesi: Ketika Masyarakat Memilih Menahan Diri

Penurunan mobilitas mudik terjadi di tengah sinyal ekonomi yang suram. Deflasi dua bulan berturut-turut pada awal 2025 menunjukkan melemahnya permintaan domestik.

Masyarakat memilih menunda belanja karena ekspektasi harga lebih rendah, sementara ancaman PHK di sektor manufaktur dan jasa memperparah kehati-hatian konsumsi.

Kebijakan Bank Indonesia (BI) yang membatasi pasokan uang tunai—meski diklaim sebagai bagian dari transisi digital—justru memperburuk likuiditas di daerah dengan infrastruktur digital terbatas.

Fakta bahwa 65 persen masyarakat masih mengandalkan uang tunai untuk THR dan belanja Lebaran (Survei BI, 2024) menunjukkan bahwa digitalisasi belum mampu menggantikan peran uang fisik.

Alih-alih menjadi solusi, kebijakan ini justru mengungkap ketidaksiapan pemerintah dalam membaca realitas ekonomi masyarakat akar rumput. Ketika akses terhadap teknologi belum merata, pemaksaan transisi digital hanya akan memperlebar kesenjangan.

 

Kebijakan Setengah Hati: Ketika Negara Abai pada Akar Masalah

Pemerintah memang telah merancang sejumlah kebijakan mudik 2025, seperti program mudik gratis dan pengaturan arus lalu lintas. Namun, kebijakan ini cenderung simbolis dan tidak menyentuh akar persoalan.

Misalnya, penurunan harga tiket pesawat 13-14 persen hanya menguntungkan kalangan menengah atas, sementara mayoritas pemudik yang bergantung pada bus, kereta ekonomi, atau kapal laut tetap terbebani kenaikan tarif.

Beberapa langkah rasional justru diabaikan. Pertama, pembebasan atau subsidi tol selama mudik bisa langsung meringankan beban masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi.

Kedua, subsidi bahan bakar untuk angkutan umum akan menekan kenaikan harga tiket. Ketiga, pembatasan operasional truk di jalur mudik utama bisa mengurangi kemacetan.

Namun, pemerintah lebih memilih menjaga kepentingan operator jalan tol dan asosiasi logistik ketimbang mengambil risiko politik untuk kepentingan rakyat.

 

Pembatasan Uang Tunai Dan Mudik

Narasi digitalisasi sering dijadikan tameng untuk membenarkan kebijakan yang tidak populer, seperti pembatasan uang tunai. Padahal, di daerah pedesaan atau pasar tradisional, transaksi tunai masih dominan.

Pengurangan pasokan uang fisik oleh perbankan berisiko mengganggu rantai pasok UMKM dan pedagang kecil yang mengandalkan likuiditas harian.

Digitalisasi seharusnya menjadi pelengkap, bukan pengganti kebijakan ekonomi yang substantif. Tanpa disertai pemerataan infrastruktur internet, edukasi finansial, dan peningkatan daya beli, transisi digital hanya akan menjadi ilusi yang mengaburkan masalah struktural.

 

Lima Rekomendasi Solusi 

Untuk mencegah spiral deflasi dan ketimpangan yang lebih dalam, pemerintah perlu merancang kebijakan yang bersifat segera, tepat sasaran, dan berkelanjutan:

Pertama, subsidi transportasi inklusif, di mana  subsidi tidak boleh hanya fokus pada transportasi udara. Pemerintah harus mengalokasikan anggaran untuk menekan harga tiket bus antarkota, kereta ekonomi, dan kapal laut.

Skema diskon atau voucher mudik bagi masyarakat berpenghasilan rendah perlu diperluas, dengan verifikasi data yang akurat melalui integrasi sistem kependudukan.

Kedua, pembebasan biaya tol dan bantuan bahan bakar. Pembebasan tol selama periode mudik akan mengurangi beban ekonomi pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi. Selain itu, subsidi BBM untuk angkutan umum dapat mencegah kenaikan harga tiket yang biasanya melonjak jelang Lebaran.

Ketiga, perlindungan tenaga kerja dan UMKM. Pemerintah perlu memperkuat program perlindungan sosial bagi pekerja rentan PHK, seperti perluasan program kartu prakerja atau bantuan tunai bersyarat. Untuk UMKM, insentif pembiayaan murah dan bantuan pemasaran digital dapat membantu mereka bertahan di tengah penurunan permintaan.

Keempat, pemerataan infrastruktur digital. Transisi digital harus dibarengi dengan percepatan pembangunan infrastruktur internet di daerah tertinggal, pelatihan literasi keuangan, dan insentif bagi UMKM yang bertransaksi digital. Tanpa ini, klaim inklusi keuangan hanya akan menjadi jargon.

Kelima, koordinasi lintas sektor yang lebih efektif di mana pemerintah perlu melibatkan pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat sipil dalam merancang kebijakan mudik.

Misalnya, kerja sama dengan aplikasi navigasi untuk menyediakan informasi lalu lintas real-time atau kolaborasi dengan platform e-commerce untuk mempromosikan produk UMKM lokal.

 

Mudik dan Refleksi Keadilan Sosial

Penurunan jumlah pemudik Lebaran 2025 adalah alarm bagi pemerintah: daya beli masyarakat sedang terpuruk, dan kebijakan selama ini belum cukup melindungi mereka. Mudik bukan sekadar peristiwa tahunan, tetapi cerminan dari sejauh mana negara hadir dalam meringankan beban rakyat. Jika pemerintah terus abai, tradisi mudik lambat laun akan berubah dari ritual kebersamaan menjadi simbol ketimpangan.

Negara harus "pulang" kepada mandatnya: memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya dinikmati segelintir pihak, tetapi menjadi alat untuk membangun keadilan sosial. Dalam konteks ini, kebijakan mudik yang inklusif dan berempati bukan hanya kebutuhan, melainkan kewajiban moral negara.

Sebagai penutup, momentum Lebaran 2025 harus menjadi titik tolak bagi pemerintah untuk menggeser paradigma kebijakan—dari yang sekadar administratif menuju kebijakan yang benar-benar membela kepentingan publik.

Hanya dengan cara ini, mudik dapat kembali menjadi tradisi yang mempersatukan, bukan menguak luka ketidakadilan yang terus menganga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement