Kamis 13 Mar 2025 06:58 WIB

Defisit APBN 2025 Kian Melebar, Pemerintah Harus Jujur dan Siap Koreksi Fiskal

Audit menyeluruh Coretax sebaiknya dari awal melibatkan BPK dan KPK.

Presiden Prabowo Subianto (kiri) berjabat tangan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) usai menyampaikan keterangan pers terkait kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (31/12/2024). Pemerintah resmi menaikkan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen untuk barang dan jasa mewah yang diberlakukan mulai 1 Januari 2025.
Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Presiden Prabowo Subianto (kiri) berjabat tangan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) usai menyampaikan keterangan pers terkait kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (31/12/2024). Pemerintah resmi menaikkan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen untuk barang dan jasa mewah yang diberlakukan mulai 1 Januari 2025.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

 

Kinerja Awal Tahun yang Mengecewakan: Sinyal Awal Krisis Fiskal?

Berdasarkan pantauan situs Kemenkeu Rabu (12/03) pagi, penerimaan pajak Indonesia pada Januari 2025 mencapai Rp 88,89 triliun atau hanya 4,06 persen dari target tahunan menjadi alarm keras bagi stabilitas fiskal Indonesia.

Angka ini turun drastis hingga 41,86 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2024, dan bahkan menjadi penerimaan Januari terburuk dalam lima tahun terakhir, jika dibandingkan persentase terhadap target APBN tahunan.

Bila di tahun-tahun sebelumnya, rata-rata penerimaan pajak Januari mampu menyumbang 7,5 persen hingga 9,2 persen dari target setahun, maka posisi 2025 yang baru 4,06 persen menunjukkan potensi kekurangan penerimaan yang sangat serius. Lebih jauh, jika tren ini berlanjut, penerimaan negara bisa mengalami shortfall hingga Rp300 hingga Rp400 triliun, yang otomatis menggembungkan defisit.

Kajian internal kami bahkan memprediksi, bila tidak ada langkah koreksi fiskal yang konkret dan sistemik, defisit APBN 2025 dapat mendekati Rp800 triliun atau sekitar tiga persen PDB. Ini lebih buruk dari prediksi Goldman Sachs yang baru memperkirakan defisit 2,9 persen PDB.

Patut diketahui Goldman Sachs, lembaga investasi ternama di dunia memprediksi defisit Indonesia bisa defisit mencapai 650-750 triliun rupiah, biasanya prediksi ini mejadi baseline realistis oleh para Investor dunia.

Coretax: Antara Ambisi Modernisasi dan Realitas Kegagalan Sistem

Saya berpendapat bahwa penurunan penerimaan di Januari memiliki dua makna. Makna pertama adalah penurunan kemampuan rill ekonomi publik dan makna kedua adalah sinyal krisis administrasi perpajakan akibat Coretax.

Harus diakui bahwa salah satu biang keladi anjloknya penerimaan pajak adalah permasalahan implementasi Coretax, sistem administrasi perpajakan yang diluncurkan per 1 Januari 2025. Ironisnya, program yang digadang-gadang akan meningkatkan efisiensi dan optimalisasi penerimaan pajak justru menjadi batu sandungan besar. Banyak wajib pajak (WP) mengeluh tidak dapat menyetor, melapor, atau mengakses layanan pajak dasar akibat eror Coretax.

Penjelasan pemerintah sejauh ini justru minim dan terkesan menghindar dari persoalan utama. Padahal, Coretax terbukti mengganggu proses administrasi perpajakan, membuat penerimaan yang seharusnya dibukukan pada Januari tertunda atau bahkan gagal masuk ke kas negara. Ini bukan sekedar masalah teknis, melainkan persoalan mendasar yang mengancam kelangsungan fiskal negara.

Ketika sistem perpajakan gagal berfungsi optimal, basis penerimaan negara lumpuh, dan pemerintah tidak memiliki ruang fiskal untuk menjalankan program-program prioritas. Dalam konteks Indonesia, di mana belanja sosial seperti bansos, subsidi energi, hingga program populis seperti makan siang gratis sangat bergantung pada penerimaan pajak, maka kegagalan Coretax dapat berdampak luas pada stabilitas sosial dan ekonomi nasional.

Prediksi Kinerja APBN Februari: Makin Tertekan

Menjawab pertanyaan tentang proyeksi Kinerja APBN KiTa Edisi Februari 2025 yang akan dirilis Kamis ini, diperkirakan kinerja APBN Februari masih tertekan, bahkan bisa lebih buruk dari Januari.

Mengapa? Karena Coretax belum sepenuhnya pulih, berdasarkan berbagai laporan lapangan hingga awal Maret 2025. Dengan penerimaan pajak Januari yang hanya Rp88,89 triliun, kecil kemungkinan Februari bisa mengejar backlog pajak yang tertunda sekaligus mengejar target bulanannya.

Jika Februari kembali seret, maka dua bulan pertama 2025 akan menjadi rekor penerimaan pajak terburuk dalam dua dekade terakhir, menandai awal defisit kas negara yang dalam.

Bea Cukai Saja Tak Cukup Menopang Fiskal

Memang, penerimaan bea dan cukai Januari 2025 mencapai Rp26,29 triliun, naik dibanding tahun sebelumnya. Namun, proporsi bea cukai hanya sekitar 15 persen dari total perpajakan nasional. Artinya, meski sektor ini tumbuh, tidak akan mampu menutup lubang yang ditinggalkan sektor pajak yang anjlok.

Kita tahu bahwa rasio pajak Indonesia masih rendah, sekitar 10,4 persen PDB, yang berarti ketergantungan pada sektor pajak penghasilan, PPN, dan sektor domestik sangat tinggi. Ketika sistem administrasi seperti Coretax error, penerimaan utama negara otomatis terganggu, dan ini akan langsung menekan likuiditas APBN.

Dampak ke Defisit dan Ekonomi Makro: Realistis atau Pesimistis?

Proyeksi defisit 2,9 persen PDB oleh Goldman Sachs sebenarnya masih dalam batas optimis, jika tidak disertai pembenahan serius. Berdasarkan prediksi kami pada akhir Januari 2025 lalu, potensi defisit hingga Rp800 triliun atau hampir tiga persen PDB adalah skenario yang realistis jika situasi ini terus berlanjut tanpa solusi cepat.

Apalagi, dengan janji kampanye Presiden Prabowo-Gibran yang mengandalkan belanja tinggi, terutama belanja sosial dan pangan, ruang fiskal untuk pemotongan belanja menjadi terbatas.

Sementara di sisi lain, utang baru untuk menutup defisit akan menjadi lebih mahal, karena pasar obligasi sudah mulai bereaksi negatif melihat penerimaan negara yang anjlok. Yield obligasi negara (SUN) sudah mulai naik, menandakan pasar menuntut premi risiko lebih tinggi untuk utang pemerintah, akibat kekhawatiran fiskal.

Jika pemerintah terus memaksakan belanja tanpa disertai penerimaan yang memadai, maka risiko pembengkakan utang akan meningkat, memperbesar beban bunga utang yang sudah melebihi Rp500 triliun per tahun.

Langkah Darurat yang Harus Diambil Pemerintah

Pemerintah tidak bisa menunda lagi untuk mengakui secara jujur masalah Coretax dan penerimaan negara. Transparansi menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan pasar dan masyarakat. Ada beberapa langkah darurat yang seharusnya dilakukan:

Audit menyeluruh soal Coretax, sebaiknya dari awal melibatkan BPK, KPK, dan lembaga independen agar hasilnya objektif.

Membuka layanan darurat administrasi perpajakan, termasuk kembali membuka layanan manual untuk sementara, agar WP bisa tetap setor dan melapor.

Evaluasi ulang belanja negara, memangkas belanja tidak prioritas, termasuk menunda atau mengurangi sebagian program populis yang membebani APBN.

Menyusun ulang outlook fiskal 2025, merevisi target pajak dan defisit secara realistis, serta mengkomunikasikannya ke pasar dan publik secara terbuka.

Mengembangkan alternatif pembiayaan fiskal, seperti mendorong BUMN menghasilkan dividen lebih besar, mempercepat aset recovery, atau melakukan strategic partnership dengan swasta tanpa menambah utang.

Keterbukaan untuk Menjaga Kepercayaan Pasar dan Rakyat Adalah Hal Utama

Krisis fiskal bukan hanya soal angka, tapi soal kepercayaan (trust). Jika pemerintah terus menghindar dari fakta bahwa Coretax gagal, bahwa penerimaan pajak terancam, dan APBN 2025 menghadapi risiko defisit besar, maka pasar akan kehilangan kepercayaan, dan biaya fiskal akan semakin mahal.

Karena itu, sebelum krisis fiskal berubah menjadi krisis kepercayaan, pemerintah harus berani terbuka dan jujur, mengambil langkah koreksi fiskal, serta membangun dialog dengan publik, pasar, dan dunia usaha.

Jika tidak, proyeksi defisit 2,9 persen PDB hanya akan jadi permulaan. Seperti prediksi kami, defisit bisa tembus Rp800 triliun atau tiga persen PDB, mengancam stabilitas ekonomi jangka panjang.

Kamis ini, ketika APBN KiTa Edisi Februari 2025 dirilis, publik seharusnya mendapatkan keterbukaan yang cukup terutama soal ancaman fiskal yang dihadapi Indonesia saat ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement