Selasa 11 Mar 2025 07:45 WIB

MinyaKita Disunat, Rakyat Jadi Korban Lagi, Kok Bisa?

Negara tidak boleh kalah oleh mafia pangan!

Pedagang menunjukkan minyak goreng Minyakita di Pasar Rumput, Jakarta, Senin (10/3/2025). Satgas Pangan Polri tengah menyelidiki temuan adanya minyak goreng kemasan merek MinyaKita yang dijual di pasaran tidak sesuai dengan takaran yang tercantum pada label kemasan. Penyelidikan ini merupakan tindak lanjut setelah ditemukannya ketidaksesuaian pada produk MinyaKita dalam inspeksi yang dilakukan di Pasar Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Foto: Republika/Prayogi
Pedagang menunjukkan minyak goreng Minyakita di Pasar Rumput, Jakarta, Senin (10/3/2025). Satgas Pangan Polri tengah menyelidiki temuan adanya minyak goreng kemasan merek MinyaKita yang dijual di pasaran tidak sesuai dengan takaran yang tercantum pada label kemasan. Penyelidikan ini merupakan tindak lanjut setelah ditemukannya ketidaksesuaian pada produk MinyaKita dalam inspeksi yang dilakukan di Pasar Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

Kasus pengurangan isi kemasan Minyakita dan praktik penjualan di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) adalah ironi di tengah upaya pemerintah menghadirkan minyak goreng murah bagi rakyat.

Situasi ini mencederai hak masyarakat atas pangan yang terjangkau. Praktik curang ini tidak terjadi tanpa sebab. Salah satu faktor utama adalah kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO), bahan baku minyak goreng, yang melonjak dalam beberapa bulan terakhir dan oknum yang cari untung sendiri.

 

Ini Alasan Oknum Melakukan Kecurangan Minyakita!

Ketika harga CPO melampaui angka keekonomian, produsen Minyakita menghadapi dilema antara mengikuti ketentuan HET atau menyesuaikan harga demi keberlangsungan produksi.

Sayangnya, sebagian memilih jalan pintas: mengurangi isi kemasan atau menaikkan harga di atas HET. Ini bukti bahwa regulasi harga yang tak adaptif dengan realitas pasar membuka ruang bagi praktik nakal.

Tak kalah penting adalah rantai distribusi yang panjang dan tidak efisien.

Dari produsen, minyak goreng harus melewati banyak tangan hingga sampai ke konsumen, mulai dari distributor besar, distributor kecil, hingga pengecer.

Dalam setiap rantai ini, potensi markup harga sangat besar.

Ketika pengawasan negara lemah, celah ini dieksploitasi untuk keuntungan sepihak. Praktik ini semakin memburuk dengan lemahnya tindakan hukum. Fakta bahwa ada produsen Minyakita yang beroperasi tanpa izin edar atau SNI adalah bukti nyata lemahnya pengawasan pemerintah.

Ketidakhadiran negara dalam mengontrol rantai pasok minyak goreng rakyat menjadi penyebab utama mengapa kecurangan semacam ini bisa tumbuh subur.

 

Tata Kelola Produksi dan Distribusi Bermasalah, Tidak Ada Upaya Perbaikan

Jika ditelisik, persoalan Minyakita adalah cermin dari tata kelola pangan nasional yang rapuh.

Minyakita seharusnya menjadi jaring pengaman sosial dalam sektor pangan, memastikan rakyat kecil bisa memperoleh minyak goreng berkualitas dengan harga murah.

Namun, desain distribusi yang kompleks dan tidak efisien menjadi persoalan serius. Alih-alih mendistribusikan langsung ke pasar rakyat atau koperasi konsumen, Minyakita banyak dikendalikan oleh tangan-tangan swasta yang tidak seluruhnya berpihak kepada rakyat.

Kebijakan Minyakita yang tidak berbasis pada data distribusi riil menyebabkan produk ini sulit diawasi.

Minimnya integrasi sistem informasi logistik minyak goreng membuat distribusi tidak transparan dan sulit dilacak.

Pemerintah gagal memastikan bahwa Minyakita sampai kepada sasaran yang tepat.

Belum lagi, kebijakan penetapan HET yang kaku dan tidak memperhitungkan kenaikan bahan baku membuat produsen menghadapi tekanan biaya produksi.

Akibatnya, muncul fenomena "menyelamatkan bisnis" dengan mengorbankan konsumen, padahal tanggung jawab sosial seharusnya menjadi prioritas dalam penyediaan pangan pokok bersubsidi.

Tak kalah penting, tata kelola produksi Minyakita juga memperlihatkan ketimpangan kekuatan antar pelaku usaha.

Sebagian besar pasokan Minyakita masih diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar yang sejatinya memiliki kapasitas memenuhi standar, tetapi memilih abai. Sementara itu, pelaku kecil yang sebenarnya dapat digandeng untuk produksi berbasis koperasi tidak diberdayakan optimal. Inilah cerminan ketimpangan sistemik yang perlu dikoreksi.

 

Ini Yang Harus Diperbaiki Pemerintah

Dalam menghadapi skandal Minyakita, pemerintah tidak cukup hanya memberi sanksi kepada pelaku, tetapi harus melakukan perombakan besar-besaran dalam tata kelola produksi dan distribusi minyak goreng rakyat.

Negara harus berpihak penuh pada masyarakat, terutama kelompok miskin yang sangat bergantung pada minyak goreng murah.

Pertama, pemerintah harus segera melakukan evaluasi mendalam terhadap HET Minyakita.

Jika harga bahan baku melonjak, HET harus disesuaikan agar realistis. Namun, solusi ini harus dibarengi dengan skema subsidi langsung kepada konsumen atau pelaku usaha mikro agar mereka tetap memperoleh minyak goreng dengan harga terjangkau tanpa memberatkan produsen.

Kedua, pemerintah harus memotong rantai distribusi panjang yang membuka celah bagi praktik curang.

Minyakita harus didistribusikan melalui saluran resmi dan dikontrol negara, seperti Bulog, koperasi, atau pasar rakyat yang diawasi langsung. Sistem distribusi harus berbasis teknologi, dengan digitalisasi logistik dan pelacakan stok secara real-time.

Hal ini akan memastikan bahwa dari produsen hingga konsumen, aliran barang dan harga bisa dipantau dengan baik.

Ketiga, negara harus melakukan penegakan hukum tanpa kompromi. Produsen atau distributor yang terbukti mengurangi takaran atau menjual di atas HET harus dicabut izinnya, disita asetnya, dan diumumkan kepada publik.

Kecurangan dalam penyediaan pangan rakyat tidak bisa ditoleransi. Aparat penegak hukum, khususnya Satgas Pangan, perlu diberikan kewenangan lebih luas dan sumber daya yang memadai untuk melakukan pengawasan ketat di seluruh wilayah distribusi Minyakita.

Keempat, perlu penguatan kapasitas produksi Minyakita yang berbasis koperasi atau usaha mikro lokal.

Negara harus mendorong pelibatan koperasi dan UMKM dalam produksi minyak goreng rakyat, agar distribusi tidak dimonopoli segelintir perusahaan besar. Keterlibatan koperasi juga bisa menjadi solusi jangka panjang untuk menjaga harga stabil sekaligus memberdayakan ekonomi rakyat.

Kelima, pemerintah harus membuka kanal pengaduan publik yang responsif dan berbasis data.

Masyarakat harus dapat dengan mudah melaporkan praktik kecurangan di pasar dan mendapatkan respons cepat. Transparansi harga dan volume Minyakita di pasar harus menjadi informasi publik yang bisa diakses semua orang. Ini adalah bentuk kontrol sosial yang bisa memperkuat pengawasan negara.

Pada akhirnya, Minyakita adalah hak publik. Kegagalan negara dalam menjaga kualitas, kuantitas, dan harga minyak goreng rakyat berarti pengkhianatan terhadap tanggung jawab konstitusional untuk menjamin pangan rakyat.

Negara tidak boleh kalah oleh mafia pangan yang hanya mementingkan keuntungan semata. Saatnya pemerintah berdiri tegak membela rakyat, memperbaiki tata kelola Minyakita, dan memastikan bahwa setiap tetes minyak goreng bersubsidi benar-benar menjadi berkah bagi rakyat, bukan alat permainan segelintir pengusaha rakus.

Jika pemerintah tidak segera bertindak, maka dampaknya bukan hanya kerugian ekonomi, tetapi juga kerusakan kepercayaan publik terhadap negara. Oleh karena itu, pembenahan Minyakita adalah ujian nyata keberpihakan negara pada rakyatnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement