
Oleh : Muhammad Muchlas Rowi*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat kecil, Thomas Alva Edison sama seperti anak-anak pada umumnya. Dunia masih sederhana baginya, tak banyak yang ia pikirkan selain makanan dan waktu bermain. Pun jelang ia mengalami titik balik dalam hidup.
Siang itu, selepas pulang sekolah Edison kecil pulang seperti biasa. "Makan siang apa ya di rumah?" pikir Thomas sambil mengayunkan langkahnya. Ia menggenggam secarik kertas, tanpa peduli apa isinya.
Saat ibunya, Nancy Elliot Edison, menerima surat itu, ia hanya melihat sekilas sebelum membuka lipatannya. Matanya bergerak cepat mengikuti deretan kata. Sesaat, wajahnya berubah. Tapi ia menelan kekhawatiran itu dalam-dalam.
"Sekolah bilang anakku ini jenius," katanya lembut. "Mereka tak punya guru yang cukup pintar untuk mengajarmu. Jadi, mulai sekarang, Ibu sendiri yang akan mendidikmu di rumah."
Edison tidak bertanya. Ia tidak curiga bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Ia hanya anak kecil yang percaya pada ibunya. Jika ibunya berkata ia jenius, maka begitu adanya. Ia menerima kenyataan barunya tanpa banyak pikir. Yang ia tahu, sejak hari itu, rumahnya berubah menjadi ruang kelas. Nancy Edison berjibaku meningkatkan rasa ingin tahu Thomas Alva Edison [curiosity], memberinya rangsangan agar tertarik mengeksplore apa pun yang belum diketahuinya.
Bertahun-tahun kemudian, saat Edison telah dikenal dunia sebagai salah satu ilmuwan terbesar sepanjang sejarah, ia menemukan kembali surat itu. Tangannya bergetar saat membacanya. Kali ini, tak ada senyum di wajahnya. "Anakmu terlalu bodoh untuk belajar di sekolah. Kami menyarankan agar ia dikeluarkan dan mencari pendidikan di tempat lain."
Matanya berkaca-kaca. Ibunya telah berbohong. Bukan untuk menipunya, tetapi untuk menyelamatkannya. Karena pendidikan bukan hanya soal sekolah. Pendidikan adalah ekosistem. Pendidikan adalah dorongan tanpa henti untuk berkembang. Pendidikan adalah membangun kebiasaan. Pendidikan adalah ‘Gerakan.’