
Oleh : Hari Eko Purwanto, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UMJ
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Senin lalu, ratusan pengemudi ojek online (ojol) turun ke jalan di beberapa titik di Jabodetabek, menuntut kejelasan mengenai Tunjangan Hari Raya (THR) yang menurut mereka adalah hak, bukan sekadar bonus. Teriakan mereka mencerminkan lebih dari sekadar tuntutan ekonomi, tetapi juga kekecewaan mendalam atas harapan yang tak terpenuhi. Namun, apakah ini murni miskomunikasi atau kegagalan dalam mengelola ekspektasi publik?
Sebagai pengamat komunikasi dan krisis public relations (PR), saya melihat peristiwa ini dari tiga perspektif utama: pengemudi, perusahaan aplikasi, dan pemerintah.
Bagi pengemudi, meskipun mereka berstatus sebagai "mitra," mereka merasa layak mendapatkan THR sebagai bentuk apresiasi atas kerja keras mereka selama setahun. Ini bukan hanya soal uang, tetapi juga soal pengakuan terhadap profesi mereka yang penuh risiko. Dalam teori Stakeholder Theory yang dikemukakan oleh R Edward Freeman, setiap pemangku kepentingan, termasuk pengemudi, harus didengar dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Namun, ketika mereka merasa diabaikan, ketidakpuasan dengan mudah meluas melalui media sosial dan akhirnya menciptakan tekanan besar terhadap perusahaan aplikasi.
Di sisi lain, perusahaan aplikasi seperti Gojek dan Grab berdalih bahwa para pengemudi bukan karyawan tetap, sehingga tidak berhak atas THR seperti pekerja formal. Sebagai gantinya, mereka menawarkan Insentif Hari Raya, yang diklaim sebagai bentuk apresiasi atas kinerja para mitra. Sayangnya, pendekatan yang terlalu legalistik dalam menjelaskan hal ini justru memperparah persepsi negatif di kalangan pengemudi. Dalam teori Image Repair Theory yang dikembangkan oleh William Benoit, ketika organisasi menghadapi krisis, mereka harus membangun narasi yang dapat meredakan konflik, bukan sekadar berpegang pada peraturan. Ketika komunikasi yang dilakukan minim empati dan lebih condong ke bahasa hukum, maka kesenjangan dengan pengemudi semakin lebar, memperburuk krisis yang terjadi.
Sementara itu, pemerintah berupaya menjadi mediator di tengah polemik ini. Namun, regulasi mengenai status pekerja gig economy di Indonesia masih belum jelas. Dalam Situational Crisis Communication Theory (SCCT) yang dikembangkan oleh W Timothy Coombs, respons terhadap krisis harus disesuaikan dengan situasi dan dampaknya. Sayangnya, respons pemerintah sejauh ini masih bersifat normatif dan tidak memberikan solusi konkret. Jika kondisi ini dibiarkan, konflik antara pengemudi dan perusahaan aplikasi akan terus berulang dan kepercayaan publik terhadap kebijakan tenaga kerja di era digital semakin menurun.
Dari ketiga perspektif di atas, ada dua permasalahan utama: gagal paham dan gagal kelola. Gagal paham terjadi karena ada ketidaksesuaian antara harapan pengemudi dan cara perusahaan menyampaikan kebijakan. Bahasa hukum yang digunakan dalam komunikasi Insentif Hari Raya tidak mampu menjembatani ekspektasi pengemudi.
Gagal kelola terjadi ketika perusahaan dan pemerintah tidak mampu mengelola komunikasi secara efektif, sehingga memunculkan narasi yang kontradiktif dan memperburuk krisis.
Agar krisis ini bisa diatasi, ada tiga langkah utama yang perlu diambil. Transparansi, dengan menjelaskan secara gamblang mengapa Insentif Hari Raya berbeda dari THR menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Dialog terbuka, dengan mengadakan forum diskusi antara pengemudi, perusahaan, dan pemerintah agar ada keselarasan dalam ekspektasi. Konsistensi pesan, agar informasi yang disampaikan kepada publik tidak bertentangan di berbagai kanal komunikasi.
Sebagai pengamat komunikasi, saya melihat bahwa polemik ini lebih dari sekadar persoalan hukum dan kebijakan. Ini adalah refleksi dari bagaimana komunikasi yang tidak tepat bisa memperburuk krisis dan memperuncing konflik. Dengan pendekatan yang lebih transparan, dialog yang lebih inklusif, dan konsistensi dalam penyampaian informasi, kepercayaan publik dapat dipulihkan dan ekosistem kerja digital di Indonesia bisa menjadi lebih adil serta berkelanjutan.
Lalu, apakah ini hanya soal regulasi atau justru krisis kepercayaan akibat komunikasi yang kurang efektif? Apakah kita hanya akan melihat ini sebagai dinamika biasa, atau ini pertanda bahwa sistem kerja gig economy perlu reformasi mendasar? Jika semua pihak tetap bersikeras dengan posisi masing-masing tanpa mencari jalan tengah, maka kita hanya akan menyaksikan konflik yang terus berulang tanpa ada solusi nyata.